PortalMadura.com- Indonesia resmi masuk dalam daftar 10 besar negara dengan aktivitas penambangan Bitcoin (BTC) terbesar di dunia, menurut laporan terbaru Hashrate Index berjudul Global Hashrate Heatmap Update: Q4 2025*, yang dirilis awal Oktober 2025.
Dengan kekuatan komputasi sebesar 17 exa-hash per detik (EH/s) atau sekitar 1,6% dari total hashrate global, Indonesia menduduki peringkat ke-10—menggeser Norwegia yang turun akibat kebijakan penghematan energi.
Laporan tersebut menempatkan Amerika Serikat di puncak daftar dengan 389 EH/s (37,8% pangsa global), diikuti Rusia (160 EH/s), China (145 EH/s), Paraguay (40 EH/s), dan Uni Emirat Arab (33 EH/s).
Di bawahnya, Oman dan Kanada masing-masing mencatat sekitar 30 EH/s, disusul Kazakhstan (22 EH/s) dan Ethiopia (20 EH/s).
Faktor Pendukung Kenaikan Indonesia
Kenaikan Indonesia ke jajaran elit penambang Bitcoin global tidak terjadi secara kebetulan.
Menurut analis industri, tiga faktor utama menjadi pendorong: ketersediaan pasokan listrik yang relatif stabil, tarif energi yang kompetitif, serta perkembangan infrastruktur teknologi digital di sejumlah wilayah seperti Jawa, Sumatra, dan Bali.
“Negara dengan surplus energi dan regulasi yang terbuka terhadap inovasi digital kini menjadi magnet baru bagi industri penambangan,” tulis Hashrate Index, sebagaimana dikutip portalmadura Minggu (26/10/2025).
Penambangan Bitcoin sendiri merupakan proses validasi transaksi di jaringan blockchain melalui pemecahan teka-teki kriptografi. Proses ini membutuhkan daya komputasi tinggi, yang diukur dalam satuan hashrate.
Semakin tinggi hashrate suatu negara, semakin besar pula kontribusinya terhadap keamanan dan stabilitas jaringan Bitcoin.
Dampak Kebijakan Energi Global
Masuknya Indonesia juga dipengaruhi oleh penurunan aktivitas di negara lain. Norwegia, yang sebelumnya berada di posisi ke-10, kini hanya menyumbang 1,45% hashrate global setelah pemerintahnya memberlakukan larangan sementara terhadap penambangan kripto pada pertengahan 2025.
Menteri Digitalisasi Norwegia, Karianne Tung, menyatakan kebijakan itu diambil karena penambangan dianggap boros energi dan minim dampak ekonomi langsung, seperti penciptaan lapangan kerja.
Langkah serupa sebelumnya telah diambil oleh China, Kosovo, dan Angola. Sebaliknya, negara-negara dengan kelebihan pasokan listrik—seperti AS, Paraguay, Oman, dan kini Indonesia—justru membuka pintu bagi investasi di sektor ini.
Laporan Hashrate juga mencatat pertumbuhan signifikan di negara berkembang lain, seperti Laos (naik dari 0,55% ke 0,78%), Bolivia (0,29%), dan Georgia (1,16%).
Tren ini menunjukkan pergeseran geografis aktivitas penambangan ke wilayah dengan biaya operasional rendah dan kebijakan yang mendukung teknologi blockchain.
Di tengah kritik terhadap konsumsi energi—satu transaksi Bitcoin rata-rata menghabiskan 1.066 kWh listrik, setara konsumsi rumah tangga AS selama sebulan—Indonesia memiliki peluang untuk mengembangkan penambangan berbasis energi terbarukan, seperti panas bumi dan hidro, yang melimpah di berbagai daerah.
Dengan posisi strategis di Asia Tenggara dan komitmen pemerintah terhadap transformasi digital, Indonesia diprediksi akan terus memperkuat perannya dalam ekosistem kripto global—asalkan diimbangi dengan regulasi yang jelas dan berkelanjutan.



