Nyaris Punah, Ini Keunikan Upacara Selamatan Tujuh Bulan Masa Kehamilan Warga Madura

Avatar of PortalMadura.Com
Nyaris Punah, Ini Keunikan Upacara Selamatan Tujuh Bulan Masa Kehamilan Warga Madura
Proses mandi usai Pelet Kandung (Istimewa)

PortalMadura.Com, – Lain daerah tentu beda pula budayanya. Seperti upacara selamatan tujuh bulan masa kehamilan yang mempunyai keunikan dan makna tersendiri bagi masyarakat Madura, Jawa Timur.

Upacara yang nyaris punah ini, biasanya dilakukan oleh Pasangan Suami Istri (Pasutri) pada kehamilan pertama (anak pertama). Pada prosesnya melibatkan kedua keluarga besar pasutri, tetangga dan dukun bayi (dukun kandungan).

Warga Madura menyebutnya, Pelet Kandung atau Pelet Betteng (pijat perut). Dalam prosesnya, banyak hal dan bahan khusus yang harus dipersiapkan.

Ini Video Amatir Prosesi Mandi Pelet Kandung

https://youtu.be/zDcVUKt8JIU

PortalMadura.Com, Senin (8/5/2017), melansir dari Lontar Madura, menyebutkan, bahwa peralatan atau perlengkapan yang perlu dipersiapkan, adalah:

(1) Kain putih sepanjang 1½ meter yang nantinya akan digunakan sebagai penutup badan perempuan yang akan diupacarai pada saat dimandikan;
(2) Air satu penay (belanga);
(3) berbagai jenis bunga (biasanya 40 jenis bunga) untuk campuran air mandi. Air dalam penay dan berbagai jenis bunga (komkoman) mengandung makna kesucian dan keharuman;
(4) Gayung yang terbuat dari tempurung kelapa dan gagangnya dari ranting pohon beringin yang masih ada daunnya;
(5) Sebutir telur ayam yang masih mentah dan sebutir lagi yang sudah direbus;
(6) Satu leper (tadah cangkir) ketan kuning yang sudah masak;
(7) Satu ekor ayam muda;
(8) Minyak kelapa;
(9) Kemenyan Arab;
(10) Setanggi;
(11) Uang logam;
(12) Sepasang cengker kelapa gading (kelapa muda warna kuning) yang digambari Arjuna dan Sembodro serta dibubuhi tulisan Arab atau Jawa; dan
(13) Berbagai macam hidangan untuk arasol (kenduri) yang berupa: kuwe procut, ketan kuning yang dibalut daun berbentuk kerucut, jubada (juadah), lemeng (ketan yang dibakar dalam bambu), tettel (penganan yang terbuat dari ketan), minuman cendol, la'ang (aren) dan bunga siwalan (semacam legen).

Pada proses tersebut, dukun bayi berperan penting, yang nantinya akan memimpin proses upacara adat itu. Dalam kegiatan yang lain, selain dukun bayi, dihadirkan pula seorang kiai atau bindhara (santri)  yang nantinya akan memimpin pembacaan ayat-ayat Alquran dan doa-doa.

Upacara diawali dengan pembacaan ayat-ayat Alquran (Surat Yusuf dan Maryam) oleh para undangan laki-laki yang dipimpin oleh seorang Kiai. Sementara mereka membaca ayat-ayat Alquran, di dalam bilik perempuan yang hamil itu mulai dilaksanakan prosesi pelet kandung.

Dukun bayi mulai memelet atau memijat bagian perut perempuan tersebut dengan menggunakan minyak kelapa. Maksud dari tindakan ini adalah untuk mengatur posisi bayi di dalam kandungan.

Saat si perempuan hamil sedang dipelet, para kerabatnya yang perempuan, secara bergantian mendatangi dan mengusap perutnya. Sambil mengusap perut, mereka memanjatkan doa dan harapan agar si perempuan beserta bayi yang dikandungnya selalu dalam lindungan Tuhan.

Usai dipelet, perempuan hamil tersebut dibimbing oleh sang dukun bayi ke tempat seekor ayam yang sebelumnya telah diikat pada salah satu kaki tempat tidur.

Saat berada di dekat ayam, si perempuan hamil diharuskan untuk menyepak hingga sang ayam kesakitan dan berbunyi “keok”.

Selanjutnya, ayam yang masih terikat itu dilepaskan dan dikurung di belakang rumah. Apabila upacara telah selesai, ayam itu akan diserahkan kepada dukun bayi sebagai ucapan terima kasih.

Selesai menyepak ayam, perempuan hamil itu kemudian diselimuti dengan kain putih dan diminta untuk menginjak sebutir kelapa muda dengan kaki kanan. Selanjutnya, ia diminta lagi untuk menginjak telur mentah dengan kaki kiri.

Apabila telur berhasil dipecahkan, maka bayi yang dikandung diramalkan akan berjenis kelamin laki-laki. Namun, apabila telur tidak berhasil dipecahkan, sang dukun akan mengambil dan menggelindingkannya dari perut perempuan hamil itu.

Saat telur pecah, orang-orang yang hadir di ruangan itu seretak berucap “jebbhing, jebbhing”, yang mengandung makna bahwa kelak bayi yang dikandung diramalkan akan berjenis kelamin perempuan atau “kacong, kacong”, menandakan jabang bayi itu berkelamin laki-laki.

Kemudian, perempuan hamil tersebut dibimbing oleh dukun bayi ke belakang rumah untuk menjalani prosesi pemandian. Ia kemudian didudukkan di sebuah kursi kayu yang rendah dan di dekatnya disediakan air komkoman (air campur bunga) pada sebuah periuk tanah.

Setelah itu, sang dukun bayi sambil memegang gayung yang terbuat dari tempurung kelapa dan ranting beringin, memasukkan uang logam ke dalam komkoman dan mulai memandikan perempuan hamil itu. Sesudah dukun selesai mengguyur, maka satu-persatu perempuan kaum kerabatnya mulai bergiliran mengguyur hingga air di dalam komkoman habis.

Selesai dimandikan, ia dibawa masuk lagi ke kamarnya untuk dirias dan dipakaikan busana yang paling bagus. Kemudian, ia dibawa menuju ke ruang tamu untuk diperlihatkan kepada para hadirin. Saat itu, para tamu akan mengucapkan kata-kata “radin, radin”, yang artinya “cantik”. Ucapan itu dimaksudkan sebagai persetujuan para tamu bahwa pakaian yang dikenakannya sudah serasi dan sesuai.

Acara diteruskan dengan penyerahan dua buah kelapa gading yang masih cengker (muda) yang telah digambari pewayangan biasanya tokoh Arjuna dan Sembodro kepada Kiai untuk didoakan. Selesai pembacaan doa yang diamini oleh segenap yang hadir, Kiai itu menyerakan kedua cengker tersebut kepada mattowa bine' (mertua perempuan) untuk diletakkan di tempat tidur menantu perempuannya yang sedang hamil itu.

Sebagai catatan, cengker itu tetap ditaruh di tempat tidur hingga si perempuan melahirkan bayinya. Dan, dengan adanya cengker di sisi tempat tidurnya, maka sejak saat itu suaminya tidak diperkenankan lagi menggauli hingga bayi yang dikandungnya lahir dan telah berumur 40 hari.

Perempuan hamil itu dibawa masuk lagi ke dalam kamarnya dan diberi minum jamu dek cacing towa yang ditempatkan dalam sebuah cengkelongan (tempurung gading). Usai minum jamu, tempurung gading dilemparkan ke halaman rumah. Apabila cengkelongan jatuhnya terlentang, maka bayi yang akan lahir diperkirakan berjenis kelamin laki-laki. Sedangkan, apabila tertelungkup, maka bayi yang akan lahir diperkirakan berjenis kelamin perempuan.

Lalu, si perempuan hamil disuapi dengan sedikit nasi ponar (nasi kuning), ketan yang diberi warna kuning dan telur rebus. Makanan itu tidak dimakan sampai habis. Dengan berakhirnya tahap pemberian nasi ponar ini, berakhirlah seluruh rentetan upacara pelet kandung(Hartono)

DAPATKAN UPDATE BERITA LAINNYA DI

google news icon

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.