Opini  

Membayar Pajak, Membayar Masa Depan

Avatar of Disda
Membayar Pajak, Membayar Masa Depan
Membayar Pajak, Membayar Masa Depan

PortalMadura.com – Pernahkah kita berhenti sejenak saat menekan tombol checkout di aplikasi belanja? Atau ketika layar Netflix menayangkan film kesukaan kita? Di balik aliran data dan uang yang bergerak begitu cepat, ada sesuatu yang lebih besar daripada hanya persoalan transaksi. Ada suatu bagian kecil yang mengalir untuk negara, yakni pajak.

Namun, sering kali kita tidak menyadari bahwa angka-angka yang dipotong dari gaji, pembelian daring, atau tagihan bulanan itulah yang menjadi darah bagi berjalannya negara. Kita membayar pajak, lalu melupakannya. Sementara negara tetap berdiri di atas kontribusi yang mungkin tampak sepele itu.

Sejarah menunjukkan bahwa pajak selalu mengikuti peradaban. Ketika orang mulai bercocok tanam, penguasa memungut sebagian hasil panen. Di era kerajaan, pajak berupa upeti menjadi tanda kesetiaan rakyat. Kini, ketika dunia berpindah ke ruang digital, pajak hadir dalam bentuk yang mungkin tidak kita sadari, ia merupakan sebuah tambahan kecil di layar pembayaran aplikasi.

Jean-Jacques Rousseau pernah menyebut bahwa negara lahir dari kontrak sosial, bahwa rakyat menyerahkan sebagian kebebasan dan harta demi perlindungan dan ketertiban. Pajak adalah kontrak itu yang paling nyata. Tanpa pajak, jalan tidak dibangun, sekolah tidak berdiri, rumah sakit tidak beroperasi.

Adam Smith, dalam The Wealth of Nations, bahkan menegaskan bahwa pajak yang baik harus adil, jelas, mudah, dan efisien. Dengan kata lain, pajak bukan sekadar angka-angka yang harus dibayarkan oleh rakyat kepada negara, tetapi pajak adalah bagian dari peradaban yang mesti kita bangun bersama.

Pajak sebagai Cermin Kedaulatan

Salah satu alasan mengapa membayar pajak begitu penting, ialah karena pajak merupakan cermin kedaulatan. Negara yang mampu memungut pajak secara efektif menandakan bahwa ia hadir dan diakui oleh rakyatnya.

Sejarah Amerika Serikat mencatat semboyan “No taxation without representation” sebagai pemicu revolusi melawan Inggris. Rakyat hanya rela membayar pajak jika merasa dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Dengan demikian pajak dilihat bukan hanya sebagai sebuah pungutan finansial belaka, tetapi juga menjadi bagian dari alas legitimasi politik.

Indonesia pun tidak luput dari hal ini. Pajak adalah sarana negara untuk menunjukkan keberadaannya, sekaligus ujian apakah warganya percaya bahwa uang yang mereka serahkan akan kembali dalam bentuk pelayanan publik.

Sayangnya, riset menunjukkan tax gap Indonesia masih 6–9% dari PDB, artinya sekitar Rp1.300 triliun potensi pajak hilang tiap tahun. Sebagian karena ketidakpatuhan, sebagian lagi karena sektor informal yang belum tersentuh.

Di sinilah pentingnya kesadaran, sekaligus kemudahan sistem. Karena, bagaimana mungkin masyarakat patuh kalau membayar pajak terasa rumit?

Membangun Kesadaran Masyarakat

Kesadaran membayar pajak bukanlah sesuatu yang muncul dengan sendirinya. Ia terbentuk dari kombinasi faktor sosial, ekonomi, politik, dan psikologis. Utomo, dalam penelitiannya (2002) tentang kesadaran masyarakat membayar Pajak Bumi dan Bangunan di Karangtengah, Demak, menemukan bahwa kepemimpinan, kualitas pelayanan, dan motivasi adalah faktor dominan yang memengaruhi kepatuhan wajib pajak.

Pelayanan yang baik juga menjadi kunci. Banyak orang memutuskan untuk patuh atau enggan membayar lagi berdasarkan pengalaman mereka saat berurusan dengan kantor pajak. Layanan yang cepat, ramah, dan transparan bukan hanya prosedur administratif, melainkan juga cara negara menunjukkan rasa hormat kepada rakyat.

Faktor motivasi juga penting. Warga lebih rela membayar jika merasa bahwa uang yang mereka setorkan benar-benar kembali dalam bentuk nyata – sekolah, rumah sakit, jalan, dan fasilitas publik lainnya. Namun, kondisi ekonomi masyarakat tetap harus diperhatikan. Seperti dikatakan Rohmat Soemitro (1988), orang mampu tidak akan kesulitan membayar pajak sesuai penghasilan, tetapi bagi kelompok miskin, kebutuhan pokok tentu lebih diutamakan. Di sinilah pentingnya sistem pajak progresif dan adil, agar yang kuat membantu menopang yang lemah.

Lantas, apa yang bisa dilakukan? Utomo dalam tesisnya menekankan pentingnya sosialisasi yang berkesinambungan. Pertama, sosialisasi berkelanjutan. Pajak harus hadir bukan hanya dalam seminar atau lokakarya, tetapi juga dalam percakapan sehari-hari: di warung kopi, karang taruna, hingga pengajian rutin. Kedua, peningkatan kualitas pelayanan publik. Digitalisasi melalui e-filing dan e-billing adalah langkah maju, namun sentuhan pelayanan yang manusiawi tetap penting. Ketiga, transparansi dan akuntabilitas. Publik perlu melihat bukti nyata bahwa pajaknya dikelola bersih dan kembali dalam bentuk pembangunan.

Selain itu, pendidikan pajak sejak dini mutlak diperlukan. Program seperti Tax Goes to School atau Tax Goes to Campus terbukti efektif membentuk generasi baru yang menganggap pajak sebagai kontribusi, bukan beban.

Dengan begitu, pajak tidak lagi dianggap sebagai beban, melainkan suatu bentuk kebanggaan.

Hadirnya e-Billing, Membayar Pajak di Ujung Jari

Selanjutnya adalah bagaimana cara negara agar untuk mempermudah masyarakat dalam membayar pajak?

Untuk menjawab pertanyaan itu, Direktorat Jenderal Pajak menghadirkan sistem pembayaran pajak elektronik atau e-Billing. Dengan sistem ini, semua jenis pajak bisa disetor tanpa harus antre di bank, kecuali pajak impor yang dikelola Bea Cukai dan pajak dengan tata cara khusus.

Bahkan pembayaran dapat dilakukan dalam Rupiah maupun Dollar AS  (dengan syarat tertentu, seperti Wajib Pajak migas atau perusahaan yang mendapat izin pembukuan dalam USD).

Bagi yang ingin mengetahui secara lengkap, bisa mengunjungi laman https://www.pajak.go.id/id/pembayaran-pajak-secara-elektronik, di sana Anda akan menemukan cara membayar pajak semudah belanja daring.

Pajak Digital dan Keadilan

Perubahan gaya hidup ke ranah digital juga membuat negara beradaptasi. Kini, pajak tak hanya dikenakan pada sawah atau toko fisik, tetapi juga pada layanan digital: Netflix, Spotify, Google Ads, hingga e-commerce.

Pajak digital bukan pungutan baru, melainkan bentuk keadilan. Bayangkan jika perusahaan global meraup untung besar di Indonesia tanpa menyumbang sepeser pun untuk sekolah atau rumah sakit di sini. Maka, pajak digital hadir untuk memastikan gotong royong tetap adil.

Membayar Pajak, Membayar Peradaban

Sejarawan Yuval Noah Harari pernah menulis bahwa manusia bertahan bukan karena tubuhnya paling kuat, melainkan karena mampu membangun fiksi kolektif – ide-ide yang dipercaya bersama. Pajak adalah salah satunya.

Kita membayar sesuatu hari ini, percaya bahwa akan kembali dalam bentuk layanan publik besok. Tidak semua manfaat langsung kita rasakan, tapi pajak benar-benarlah memberi dampak yang signifikan bagi masyarakat, ambil contoh lampu jalan di kota hingga kapal perintis yang berlayar ke pulau-pulau kecil. Semua itu bisa beroperasi dengan baik karena disokong dari hasil pembayaran pajak.

Masa depan penerimaan negara di era digital tidak hanya bergantung pada aturan dan sistem, tetapi juga pada kesadaran setiap warga. Membayar pajak bukan sekadar kewajiban administratif, melainkan wujud gotong royong, simbol kedaulatan, dan cinta tanah air.

Maka, membayar pajak sejatinya adalah membayar peradaban. Dan kini, dengan hadirnya e-Billing, peradaban itu bisa kita dukung hanya lewat sentuhan layar ponsel.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses