Ditulis Oleh Jasmine Sabrina Fidzaqi Tamami, Mahasiswi STITA AQIDAH TARATE
PortalMadura.com – Di era modern yang serba digital ini, kemajuan teknologi seharusnya menjadi alat untuk meningkatkan kualitas hidup manusia. Namun, realitas menunjukkan bahwa teknologi, selain membawa manfaat besar, juga memiliki dampak negatif, salah satunya adalah munculnya generasi malas gerak (mager) dan malas berpikir.
Fenomena ini menjadi tantangan serius bagi masa depan bangsa, termasuk Indonesia, karena generasi muda adalah aset utama dalam pembangunan negara.
Generasi mager biasanya ditandai dengan rendahnya aktivitas fisik sehari-hari. Gaya hidup yang didominasi oleh duduk atau tiduran berjam-jam di depan layar, baik untuk hiburan maupun pekerjaan, telah menjadi kebiasaan umum.
Di sisi lain, malas berpikir terlihat dari ketergantungan yang tinggi pada informasi instan dan minimnya upaya untuk menggali pengetahuan lebih dalam. Akibatnya, kemampuan kritis, kreatif, dan inovatif generasi muda cenderung menurun.
Dari sudut pandang filsafat, masalah ini tidak hanya menyangkut aspek praktis kehidupan, tetapi juga mencerminkan degradasi nilai-nilai eksistensial manusia. Filsuf seperti Aristoteles, misalnya, menekankan pentingnya eudaimonia atau kehidupan yang bermakna, yang hanya dapat dicapai melalui aktivitas fisik dan intelektual. Dalam konteks ini, generasi mager dan malas berpikir terjebak dalam pola hidup yang bertentangan dengan esensi manusia sebagai makhluk berpikir (homo sapiens) dan bertindak (homo faber).
Tentunya fenomena ini menjadi tidak baik untuk generasi yang akan datang. Terlebih Filsafat selalu mengajarkan kita untuk melihat konsekuensi jangka panjang dari setiap fenomena. Namun, Jika gaya hidup malas gerak dan malas berpikir terus berlanjut, ada beberapa ancaman serius yang akan muncul seperti:
1. Degradasi Kesehatan Fisik dan Mental
Filsuf René Descartes pernah mengatakan, “Mens sana in corpore sano” atau “Jiwa yang sehat terdapat dalam tubuh yang sehat.” Kurangnya aktivitas fisik tidak hanya memengaruhi kesehatan tubuh, seperti meningkatnya risiko obesitas dan penyakit kronis, tetapi juga berdampak pada kesehatan mental. Stres, kecemasan, dan depresi sering kali terkait dengan gaya hidup yang pasif.
2. Menurunnya Kemampuan Berpikir Kritis
Generasi yang malas berpikir cenderung menjadi konsumen pasif informasi, tanpa menyaring atau menganalisis kebenarannya. Dalam konteks filsafat, hal ini bertentangan dengan prinsip critical thinking yang diajarkan oleh filsuf seperti Socrates. Jika generasi muda kehilangan kemampuan ini, mereka menjadi mudah terpengaruh oleh informasi palsu dan sulit berinovasi.
3. Rendahnya Produktivitas dan Kreativitas
Malas gerak dan malas berpikir juga memengaruhi produktivitas dan kreativitas. Dalam pandangan Karl Marx, manusia sebagai makhluk pekerja (homo laborans) menemukan makna hidup melalui karya dan produktivitasnya. Ketika semangat kerja dan kreativitas menurun, potensi manusia untuk berkembang juga ikut terhambat.
Nabi Muhammad SAW selaku utusan Allah SWT diturunkan untuk membentuk manusia-manusia yang memiliki value atau nilai tidak hanya di hadapan Allah tetapi juga memiliki nilai di hadapan manusia lainnya. Tentunya maraknya fenomena mager dan malas gerak ini menjadi ancaman tidak sekedar bagi manusia itu sendiri tetapi juga dalam lingkup yang lebih besar yaitu kehidupan berbangsa dan bernegara.
Untuk mengatasi ancaman ini, ada beberapa tawaran dari sisi filsafat yang harus diperhitungkan. Pertama, kita harus kembali ke konsep Aristoteles tentang arete atau keunggulan. Dalam pandangan Aristoteles, manusia mencapai kebahagiaan sejati dengan mengembangkan potensi terbaiknya, baik fisik maupun intelektual. Hal ini membutuhkan disiplin, kebiasaan baik, dan semangat untuk terus belajar.
Kedua, filsafat eksistensialisme seperti yang diajarkan oleh Jean-Paul Sartre mengingatkan kita bahwa manusia bertanggung jawab atas pilihannya sendiri. Jika generasi muda memilih untuk hidup pasif, mereka secara tidak langsung menyerahkan kebebasan mereka kepada keadaan. Sebaliknya, mereka harus menyadari bahwa setiap keputusan, termasuk untuk bergerak dan berpikir, adalah bagian dari pembentukan eksistensi mereka.
Ketiga, konsep dialectical materialism dari Hegel dan Marx menekankan pentingnya aksi dan reaksi. Dalam konteks ini, generasi muda harus diajak untuk memahami bahwa tindakan aktif, baik secara fisik maupun intelektual, adalah kunci untuk menghadapi tantangan zaman dan menciptakan perubahan sosial yang lebih baik.
Oleh karena itu dalam membentuk generasi yang aktif secara fisik dan intelektual membutuhkan pendekatan holistik. Beberapa langkah yang dapat diambil meliputi:
1. Menumbuhkan pola piker kritis dan kreatif sejak dini
Pendidikan harus dirancang untuk mendorong anak muda berpikir kritis dan kreatif. Guru dan orang tua memiliki peran penting dalam menanamkan kebiasaan membaca, berdiskusi, dan mengeksplorasi pengetahuan.
2. Promosi Gaya Hidup Aktif
Pemerintah dan masyarakat harus mendorong aktivitas fisik melalui kampanye olahraga, fasilitas publik yang memadai, dan budaya hidup sehat.
3. Pemanfaatan Teknologi Secara Positif
Teknologi seharusnya digunakan sebagai alat untuk meningkatkan kemampuan berpikir dan produktivitas, bukan sekadar untuk hiburan. Aplikasi edukatif, pelatihan online, dan media sosial yang berisi konten inspiratif dapat menjadi sarana untuk membangun kebiasaan baik.
4. Teladan dari Tokoh
Pemimpin, tokoh masyarakat, dan influencer harus menjadi panutan dalam menunjukkan pentingnya bergerak dan berpikir aktif. Mereka dapat menginspirasi generasi muda melalui cerita, pencapaian, dan aksi nyata.
Dengan kata lain, generasi malas gerak dan malas berpikir adalah ancaman serius bagi masa depan bangsa. Namun, ancaman ini bukanlah sesuatu yang tidak dapat diatasi. Dengan kembali kepada esensi manusia sebagai makhluk berpikir dan bertindak, serta melalui upaya kolektif dari semua elemen masyarakat, kita dapat membentuk generasi yang aktif, produktif, dan kreatif. Hanya dengan demikian, Indonesia dapat melahirkan generasi yang tidak hanya sehat secara fisik, tetapi juga cerdas dan visioner dalam membangun peradaban yang lebih baik.***