Jadi Tulang Punggung Keluarga
Desakan kondisi ekonomi keluarga serta berpulangnya sang ibu yang membuat Bu Sumrah terpanggil untuk meneruskan usaha ibunya berjualan tajin sobih. Kehidupan keluarganya tergolong pas-pasan, bahkan kekurangan. Pekerjaan ayahnya sebagai buruh tani tak cukup untuk menghidupi istri dan empat anak.
Sebagai anak pertama sekaligus tertua, Bu Sumrah tak ingin melihat ketiga adiknya merintih setiap hari lantaran menahan lapar. Setiap pagi ia harus berjalan lintas kampung menjajakan tajin sobih dari pagi hingga siang, terkadang sampai sore. Sebelum meninggalkan rumah, ia harus menyediakan nasi dan lauk pauk terlebih dulu untuk ketiga adiknya. Saat pertama kali berjualan usianya baru menginjak 13 tahun.
“Sedih rasanya kalau disuruh menceritakan kondisi keluarga saya saat itu. Benar-benar serba kekurangan. Yang ada dalam pikiran jangan sampai ketiga adik saya tak makan. Itu saja,” kenang Bu Sumrah dengan mata berkaca-kaca.
Bukan hanya Bu Sumrah yang harus berjualan keliling sambil menahan beban cukup berat di atas kepala. Sejumlah perempuan di desa tersebut juga melakukan hal yang sama untuk menyambung hidup. Diantara penjual tajin sobih saat itu, Bu Sumrah yang termuda. Baginya usia bukanlah faktor penghalang untuk memperbaiki kondisi ekonomi keluarga.
Terhitung mulai berjualan hingga kini, telah 53 tahun hari-hari Bu Sumrah bergelut dengan tajin sobih. Sungguh pengorbanan luar biasa, yang tak semua perempuan bisa melakukannya . Meski tujuh dari delapan anaknya telah berkeluarga dan tak lagi tinggal bersama, namun Bu Sumrah masih setia melestarikan jajanan tradisional tajin sobih.
Walau harus …