Catatan Santri Tentang Islam dan Pendidikan di Pulau Garam Madura

Avatar of PortalMadura.Com
Catatan Santri Tentang Islam dan Pendidikan di Pulau Garam Madura
Ist. Abrori dan Sofiuddin

PortalMadura.Com – Menelaah isi buku “Dari perbendaharaan lama”. disitu buya Hamka menulis, usia Islam di setua masuknya Islam ke Jawa, bahkan sebelum Majapahit runtuh. Islam menjadi agama mayoritas disana karena peran keraton, pesantren dan santri.

Para pedagang juga punya peran Islamisasi yang tak kecil, skripsi Herman Busri (Fakultas adab UIN Yogyakarta, 2014) membuktikan bahwa pedagang gujarat pertama kali datang ke Pulau Garam itu melalui Pelabuhan Kalianget, Sumenep pada abad ke 7 masehi. Islamisasi berikutnya pada abad 14 masehi, gencar dilakukan pendakwah dari pulau Jawa (misal: Dewan Walisanga).

Salah satu anggota Walisanga adalah Sunan Giri. Sunan Giri mengutus dua santrinya yang ke-turunan Arab yang bernama Sayyid Yusuf al-Anggawi untuk Madura bagian timur (Sumenep dan pulau-pulau di sekitarnya) dan Sayyid Abdul Mannan al-Anggawi untuk Madura bagian barat (Bangkalan, Sampang, dan ).

Makam Sayyid Yusuf al-Anggawi terletak di Desa Talango, Pulau Poteran yang berhadapan dengan pelabuhan Kalianget, Sumenep. Sedangkan makam Sayyid Abdul Mannan al-Anggawi terletak di Desa Pangbatok, Kecamatan Proppo Pamekasan, yang lebih dikenal dengan sebutan Buju' Kasambih.  (lihat Afif amrullah dalam jurnal Islamuna, Juni 2015, hal 60-61)

Islam yang eksis dan berkembang di Madura juga tak luput dari peran seorang Syeikhona Khalil. Beliau ulama paling kharismatik pada akhir abad 19 masehi. Sekembalinya menuntut ilmu di Mekkah, beliau menjadi pengasuh Pesantren Kademangan di Bangkalan. Selama hidupnya, punya 9 santri yang amat mewarnai lembaran sejarah umat Islam di Indonesia.

Beliau adalah KH Hasyim Asyari, Kiai Manaf (Pendiri Ponpes Lirboyo), KH. M Shiddiq, KH. M. Munawwir (pendiri Ponpes Krapyak), Kiai Ma'shum, Kiai Abdullah Mubarak (Tasikmalaya), KH. Wahab Chasbullah, Kiai Bisri Syansuri dan Kiai Bisri Mustafa (Dari Haramain ke Nusantara, hal 188-189).

Di Madura mayoritas pengikut NU. Tetapi ada juga Muhammadiyah dan yang berpenampilan Salafi. Sisanya adalah Syiah Rafidah (Contoh : Tajul Muluk di Sampang). NU, bagi orang Madura diyakini sebagai paham keagamaan itu sendiri. Bahkan masyararakat awam, sulit membedakan antara Islam dan NU.

Masalah pendidikan di pulau ini masih belum sebagus pulau Jawa. Di Pamekasan, rata-rata sekolah swasta-nya gratis. SMP Badrul Ulum dimana dulu kami bersekolah, siswanya tidak dipungut uang SPP, akan tetapi disuruh bayar uang buku sebesar Rp500.

Kegiatan belajar dan mengajar di Pamekasan hanya berlangsung sampai pukul 11.00 WIB. Tak lupa kami dan kawan-kawan Salat Duhur berjamaah. Ba'da Ashar, harus kembali ke sekolah, karena disana ada kegiatan Madrasah Diniyah (Madin). Madin hanya berlangsung satu jam. Yang dipelajari dalam Madin adalah kitab turats (kitab kuning), kiai atau ustadz (guru) menjelaskan isi kitab kepada para siswa.

Madrasah di Pamekasan kondisinya yang terakreditasi B masih sedikit. Oleh karena itu, tahun lalu pemerintah Australia memberi bantuan peningkatan mutu pengajar. Pengajar di madrasah diberi workshop Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Kurikulum 2013. Tujuan bantuan dari Australia ini agar mutu madrasah sesuai dengan standar pendidikan nasional (Okezone, 28 April 2015).

Di Pamekasan, terdapat lima pesantren yang cukup masyhur (terkenal). Pertama, pesantren Darul Ulum di Banyu Anyar. Pesantren ini disebut-sebut sebagai yang tertua di pulau Madura. Kedua, Pesantren Mambaul Ulum di Bata-Bata. Jumlah santrinya lebih dari 500 orang. Ketiga, Pesantren Miftahul Ulum di Kampung Panyepen.

Pesantren ini memiliki Kampus STAI Miftahul Ulum yang dibangun sejak akhir tahun 1980-an. Keempat, Pesantren miftahul Ulum di Bettet. Di sini santri diajari berbahasa Madura yang halus dan bahasa Inggris. Pesantren ini punya cabang di Kalimantan Selatan. Kelima, Pesantren Al-Huda di Sumber Nangka. Bila mondok disini, santri akan diberi kursus keterampilan, berupa komputer dan kepanduan (Pramuka).

Perlu diingat, orang Madura suka merantau seperti halnya suku Minang dan Bugis. Di Bali mereka mendirikan kedai/warung. Bagi pembaca yang tamasya kesana dan ingin mencari makanan halal, datangi saja kedainya orang Madura. Di sekitar Tengger, orang Madura juga punya andil dalam masuknya warga Tengger ke dalam Islam.

Di wilayah Tapal kuda, Jawa Timur, orang Madura membangun Madrasah Diniyah, pesantren dan Taman Pendidikan Al Quran (TPQ). Di kota Malang, sebuah kota berhawa sejuk, orang Madura membangun komunitas di sekitar pasar besar, pasar Kebalen, kampung Buring, kampung Kotalama, Jodipan dan wilayah Polehan.

Mereka lebih suka mengirim anak-anaknya ke pesantren ketimbang sekolah umum. Alasannya, supaya mendapatkan pendidikan agama yang maksimal. wallahu'allam.(har)

Oleh : Abrori dan Sofiuddin
Penulis adalah alumni SMP Badrul Ulum Pamekasan, kini menuntut ilmu di Pondok Pesantren Muhammadiyah al-Munawwaroh kota Malang.

DAPATKAN UPDATE BERITA LAINNYA DI

google news icon

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.