“Keluarga adalah tulang punggung kita.” Kurang lebih itulah intisari dari film berdurasi 3 jam 12 menit ini. Kata “rumah” tidak hanya mengacu pada keluarga Sully, tetapi tempat mereka tinggal dan orang-orang di dalamnya.
Cameron yang memang dikenal sebagai salah satu aktivis lingkungan tentu tidak menyia-nyiakan medium film. Sementara film pertama adalah tentang melindungi hutan, sekuelnya lebih tentang melindungi lautan kita.
Sekali lagi, ini adalah kisah yang sederhana tetapi diceritakan dengan cara yang sangat agung. Tapi itu intinya, kan? “The Way of Water” menyatukan serangkaian urutan dan adegan yang menyenangkan – penonton tampaknya tertarik dengan keindahan Pandora, menyelam ke lautan indah yang dipimpin oleh suku Metkaina.
Sekuel senilai $350 juta — seperti pendahulunya — menetapkan tolok ukur baru tentang bagaimana para seniman di belakang layar mendorong batasan mereka untuk membawa film ke level berikutnya.
Dari awal hingga akhir, Way of the Water adalah sebuah festival dan wahana menegangkan yang tak ada habisnya.
Dunia Avatar yang luas dan beragam biografi menarik bagi siapa saja yang masuk ke dalamnya.
Sama seperti Ekran dan Leopard Bird yang terbang di langit Pandora yang bercahaya di film pertama, sekuelnya menghadirkan keajaiban bagi makhluk raksasa dan tumbuhan karang di kedalaman samudra dalam detail yang memusingkan.
Seperti yang Anda ketahui, Avatar pertama mengubah cara kita menonton film. Sejak dirilis di layar lebar, setiap film dibuat dalam 3D – pencapaian luar biasa di industri film. Kacamata 3D seakan menjadi sesuatu yang tak terpisahkan dari zaman itu.
Terjadi lagi setelah 13 tahun. Begitu penonton memakai kacamata, dalam sekejap, keduanya adalah dunia baru dan dunia yang akrab. Sejak detik pertama, penonton seolah sudah tahu bahwa film yang mereka tonton adalah salah satu pengalaman berkesan tahun ini.
Kolaborasi Cameron dengan sinematografer Russel Carpenter sangat cocok untuk menghidupkan dunia “Avatar”. Film menggunakan teknologi Jangkauan Dinamis Tinggi 48f/dtk untuk memberikan kedalaman gambar dengan kualitas imersif 3D yang disempurnakan.
Dengan aspek teknis yang mengesankan, tidak berlebihan jika “Avatar: Way of Water” terasa harus ditonton di layar terbesar di bioskop. Di sisi lain, paruh pertama film tampaknya tidak melibatkan penonton secara emosional, karena sutradara masih menggunakan waktu tersebut untuk memperkenalkan adegan, karakter lama dan baru, serta konflik yang terjadi kemudian.
Kalau bicara soal karakter yang banyak, sepertinya ini bukan masalah besar, mengingat Cameron benar-benar meluangkan waktu untuk memperkenalkan kita pada karakter baru dan mengingatkan kita pada karakter sebelumnya.
Seperti sutradara, aktor juga memainkan karakter mereka dengan sempurna. Mereka semua mendapat perhatian di bagian yang tepat. Perkembangan setiap karakter berjalan dengan baik, dan masih banyak lapisan yang akan terungkap nantinya.
Durasi sepertinya menjadi salah satu hal yang membuat calon penonton ragu untuk menonton film tersebut. Namun bagaimanapun juga, keputusan sutradara untuk membiarkan film tersebut berjalan selama 192 menit adalah keputusan yang tepat.
Rasanya butuh waktu tayang yang lama untuk mengembangkan cerita menjadi sebuah pengalaman. Penonton dapat melihat bahwa sutradara benar-benar menceritakan kisahnya dengan hati dan jiwa.
Semua aspek teknis dan emosional digabungkan untuk membuat waktu berlalu begitu cepat bahkan rasanya tidak cukup.
Secara keseluruhan, “Avatar: Way of Water” merupakan karya yang berhasil memadukan teknologi, imajinasi, narasi, dan kerja sama yang epik dari setiap individu di dalamnya. Namun, pada akhirnya, ketulusan Cameron dalam dunia fantasi yang dia ciptakanlah yang membuat film ini semakin berkesan.
Avatar: Way of Water akan dirilis di bioskop Indonesia pada 14 Desember 2022.
DAPATKAN UPDATE BERITA LAINNYA DI
