Pelestarian Local Wisdom Sebagai Upaya Peningkatan kualitas Diri

Avatar of PortalMadura.Com
Pelestarian Local Wisdom Sebagai Upaya Peningkatan kualitas Diri
Wildona Zumam,S.S,M.Pd.

Portalmadura.Com, – Ditengah kehidupan kita akhir-akhir ini terjadi kecenderungan degradasi moral yang luar biasa. Indikasinya, semakin menjamurnya komunitas-komunitas masyarakat yang berkonotasi negatif, dan itu tidak pernah ada sebelumnya (walaupun mungkin ada, tapi belum membudaya). Seperti istilah geng motor, begal, dan semacamnya.

Ketika perzinahan bukanlah hal tabu lagi, ketika praktek free sex banyak pemuja dan pengikutnya, ketika prostitusi dibungkus sedemikian rupa dan mencoba menembus berbagai dimensi, serta ketika narkoba sudah menjadi gaya hidup dan menjadi bagian dari gengsi! Disitulah sebenarnya, bahwa kita sudah kehilangan jati diri sebagai bangsa yang menjunjung tinggi local wisdom, sebagai bangsa yang yang berpegang teguh pada etika normatif, sebagai bangsa yang memiliki tradisi sopan santun yang kuat, serta keramahan yang tinggi.

Ini semua sebagai sebuah pengejawantahan, kalau kita tidak pernah melakukan filterisasi terhadap gempuran budaya luar yang maha dahsyat. Arus budaya luar yang datang bak air bah tersebut menyentuh hampir semua lini kehidupan.

Dalam hal ini, media memiliki peran vital. Terutama media visual. Lewat sajian berita dan suguhan program-programnya. Kehadiran jaringan internet juga ibarat dua sisi mata uang. Satu sisi memberikan manfaat terhadap pemerataan informasi, tapi jika tidak dimanfaatkan dengan bijaksana, malah akan menimbulkan bencana akulturasi budaya.

Disinilah dibutuhkan kembali penguatan karakter sebagai bangsa Indonesia yang memiliki integritas. Bangsa yang mandiri dari aspek budaya, bangsa yang sangat menjunjung tinggi nilai local wisdom-nya. Sudah cukup kita dipertontonkan dengan budaya yang bukan menjadi budaya asli kita.

Hal ini terlihat mulai dari bidang seni, fashion, kegemaran, selera makanan, bahasa, gaya hidup, sikap anak terhadap orang tua, interaksi murid dengan guru, mahasiswa dengan dosen, hubungan antar sejawat dan sebagainya.

Tidak adanya rasa kepedulian dengan lingkungan sekitar, menurunnya sisi kepekaan dan sensivitas, serta senantiasa mengedepankan budaya hedonisme dalam kehidupan. Kondisi ini sangat memprihatinkan, karena sedemikian terkikisnya nilai-nilai luhur dan perilaku positif masyarakat. Fenomena ini disebut dengan situasi Anomie, dimana pada situasi ini memudarnya nilai-nilai yang berlaku dan tidak adanya norma-norma atau nilai-nilai bersama (Soekamto,1993:26).

Nilai-nilai luhur budaya  yang dimiliki disetiap daerah  atau masyarakat memiliki kekhasan yang tak ternilai harganya. Begitu juga dengan nilai-nilai local wisdom yang  ada di pulau Madura. Sungguh akan sangat selaras dan ideal jika bisa diterapkan secara kolektif.

Local wisdom mutlak dibutuhkan untuk tatanan kehidupan masyarakat yang beretika dan berkualitas. Hal ini bersifat absolut tak terbantahkan. Karena local wisdom merupakan warisan budaya yang sudah teruji oleh zaman, serta merupakan kekayaan khazanah budaya nusantara. Nilai-nilai luhur tersebut merupakan cerminan budaya asli dan karakter masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Madura yang terkenal dengan kekentalan religiusitasnya.

Nilai luhur yang tertanam dalam kebudayaan Madura, perlu segera dibangkitkan kembali dengan penuh semangat, dihayati, serta dijadikan ruh dalam berkehidupan dan berinteraksi. Local wisdom yang diwariskan oleh pendahulu kita sangat melimpah dan beragam. Bernilai positif serta sangat sesuai dgn kehidupan kita sebagai makhluk sosial.

Seperti halnya yang dikatakan oleh Sadik Sulaiman (2013)  ada beberapa muatan lokal yang ada di Pulau Madura diantaranya muatan lokal yang berkaitan dengan harga diri, perilaku kehidupan yang tenteram dan damai,  berkaitan dengan  jodoh, berkaitan dengan  tempat tinggal, berkaitan dengan Tata krama, berkaitan dengan agama, dan berkaitan dengan falsafah.

Dalam artikel ini saya akan menelaah beberapa nilai filosofi yang sangat kental dengan nilai-nilai luhur dalam kehidupan, Seperti idiom “Bhupa', Bhabhu',Ghuru,Rato”. Secara etimologis Bhupa'-Bhabhu' adalah Orang Tua, Ghuru adalah Guru dan Rato adalah Pemerintahan.

Dari falsafah kehidupan masyarakat Madura, ketiga unsur itulah yang sangat dihormati. Kalau kita kaitkan deangan era sekarang yang seringkali kita lihat di telivisi, media massa dan media informasi lainnya, bagaimana seorang siswa atau mahasiswa melakukan penyerangan terhadap guru atau dosennya hanya karena hal-hal yang dianggap sepele.

Seperti pada contoh: lambat membagikan soal, atau memberikan tugas belajar yang dianggap terlalu memberatkan, dan juga tentang pemberitaan bagaimana pembunuhan terjadi anak terhadap orang tuanya hanya karna makanan tidak enak, tidak bisa membelikan baju bagus atau tidak bisa membelikan Hp.

Belum lagi kasus pelecehan seksual yang terjadi pada anak terhadap orang tuanya, serta sebaliknya orang tua kandung terhadap anaknya. Dari falsafah ini kita akan megetahui bagaimana sangat pentingnya menghormati orang tua, guru, kyai atau pemimpin yang pada saat ini sudah mulai pudar ditelan arus west culture. Itulah sebabnya falsafah ini sangat kental sekali dengan kehidupan nyata dan apabila diartikan akan menjadi sebuah nilai yang sangat berharga dalam kehidupan pada saat ini.

Ada juga  kidung sebelum tidur yang biasa dilantunkan oleh orang Madura yaitu “Maddhâ tèdung anà na embù Bântal syadhât Sapò iman Pajung Allah Sandhing Nabhi”. Arti kidung tersebut adalah sebuah manifestasi kekentalan religiusitas orang Madura. Dimana anak-anak mulai diajarkan tentang tauhid dan keislaman dari usia dini.

Disitu dijelaskan tentang payung dan selimut keimanan kita, serta rukun Iman dan islam . ketika kita memaknai lebih dalam arti dari kidung tersebut, berarti kita diharapkan harus tetap berpegang teguh terhadap pilar  agama dimanapun kita berada, disituasi seperti apapun  kita tidak keluar dari koridor nilai-nilai keislaman kita.

Dan yang berikutnya Falsafah orang Madura yang sangat terkenal yakni “Rampak naong beringin korong” dalam  arti bebasnya  “rindang dan teduh”. Rindang dan teduh mengacu pada pohon beringin, sebuah pohon dengan akar yang kuat, batang kokoh, daunnya yang lebat menghijau sanggup meneduhi orang yang berada di bawahnya.

Dari filosofi tersebut berimplimentasi kebersamaan, gotong royong, saling berbagi dan mengeyampingkan egoisitas. Pada saat ini sifat egois dan apatis cenderung dikedepankan tanpa peduli dengan orang sekitar yang membutuhkan. Dari situlah kesewenang-wenangan merajalela. Terjadi kekosongan welas asih dan hati nurani. Lalu muncullah demoralisasi yang sangat signifikan dalam masyarakat, seperti terjadinya ketimpangan sosial, gaya hidup yang sangat tidak mencerminkan kebersamaan atau kegotong royongan ala ”Rampak Naong Beringin Korong”.

Dari penjelasan diatas tentang local wisdom Madura yang sangat kental dengan nilai-nilai luhur, diharapkan bisa diimplimentasikan dalam kehidupan sehari-hari, seperti halnya yang digambarkan dalam  falsafah dan kidung Madura,  sebagai  upaya untuk perbaikan kualitas diri masyarakat Madura di era modernisasi ini. Dari situ kita tetap bisa melestarikan local wisdom yang sudah kian terabaikan, tanpa harus terganggu oleh gempuran budaya manapun.(har)

Penulis : Wildona Zumam,S.S,M.Pd. (Ketua Youth of Cliquers Book dan Dosen Universitas Madura).

References:
Rifai,M.A. (2007). Manusia Madura. Yogyakarta:Pilar Media.
Sadik,Soelaiman. A. (2013). Jati Diri, Budaya dan Kearifan Lokal Madura.Surabaya: CV. Karunia.
Soekanto,Soerjono.(1993). Kamus Sosiologi.Edisi Baru. Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada.
Wiyata.A.Latief. (2013).Mencari Madura. Jakarta: Bidik-Phrosenis Publishing

DAPATKAN UPDATE BERITA LAINNYA DI

google news icon

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.