Ratibul Haddad dan Wasiat KHR As’ad Syamsul Arifin

Avatar of PortalMadura.com
Ratibul Haddad dan Wasiat KHR As'ad Syamsul Arifin
KHR As'ad Syamsul Arifin (istimewa)

PortalMadura.Com – Warga muslim, khususnya Madura, Jawa Timur, tentu sudah mengenal sosok KH Raden As’ad Syamsul Arifin. Pimpinan Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah, Sukorejo, Situbondo ini berdarah Madura.

Ia yang mendapat anugerah sebagai Pahlawan Nasional oleh Presiden Joko Widodo pada 9 November 2016, lahir pada tahun 1897 di Mekkah dan wafat 4 Agustus 1990 di Situbondo pada usia 93 tahun.

Selama hidupnya, KHR As’ad Syamsul Arifin tidak hanya sebagai pengasuh pondok pesantren dan berdakwah, tapi juga aktif dan gigih melawan penjajahan Belanda dan Jepang. Ia ikut dalam perang gerilya pada masa revolusi fisik tahun 1945-1949.

Salah satu wasiat KHR As’ad Syamsul Arifin yang tidak boleh dilupakan dan perlu untuk diamalkan adalah membaca Ratib Al Haddad (Ratibul Haddad) yang merupakan salah satu wirid yang sering diamalkan oleh sebagian besar umat Islam.

Wasiat KHR As’ad Syamsul Arifin untuk membaca Ratibul Haddad itu, sering disampaikan putrinya, Nyai Hj. Makkiyah As’ad. Seperti pada kanal YouTube IKMASS Malang Raya, dikutip PortalMadura.Com, Selasa (23/8/2022).

“Wasiat kiai As’ad, di antaranya, santrinya diwajibkan mengamalkan Ratibul Haddad,” kata Nyai Hj. Makkiyah As’ad.

Nyai Makkiyah menceritakan, dulu pada zaman penjajahan Belanda dan Jepang, banyak kiai menjadi korban pembunuhan tentara Belanda, seperti KH. Abdul Jalil Sidogiri, ayah dari KH A Nawawi. “Itu meninggal karena ditembak,” katanya.

Di Guluk-Guluk, Sumenep, Madura, kata dia, ada KH. Abdullah Sajjad. “Menjadi korban pembunuhan [ditembak] oleh tentara Belanda,” terangnya.

Bagaimana dengan Kiai As’ad dan ayahnya Kiai Syamsul Arifin?. “Kia Syamsul dan Kiai As’ad selamat,” katanya.

Kala itu, tentara Belanda sudah masuk Pesantren Sukorejo, Situbondo. “Umi saya saksi mata. Dan sering bercerita ke saya. Umi saya dan semua perempuan disuruh sembunyi (mengungsi). Kiai As’ad saat itu dipenjara karena membabat Sukorejo,” urainya.

Kemudian, kata dia, Kiai Syamsul sendirian menghadapi kejamnya tentara Belanda dengan bekal membaca Ratibul Haddad dan semuanya diberi keselamatan oleh Allah SWT.

“Kiai Syamsul membaca Ratibul Haddad dan dibacakan ke kacang hijau [biji arta’ Madura] dan ditaburkan ke seluruh lingkungan pesantren. Kacang hijau itu menjadi senjata,” terangnya.

Apa yang terjadi kala itu, akhirnya tentara Belanda gagal untuk membunuh Kiai Syamsul karena alat tempurnya berupa tank tidak bisa meledak. Dari peristiwa ini, tentara Belanda mau mengunjungi Kiai Syamsul dengan baik-baik.

Isi pembicaraan dalam pertemuan itu, tentara Belanda menyampaikan pengalamannya di Sidogiri dan Madura yang bisa melakukan penembakan. “Kalau di Sidogiri dan Madura berhasil, tapi kalau di sini kenapa gak bisa [membunuh],” katanya.

Nyai Hj. Makkiyah As’ad juga menceritakan peristiwa lain, yakni masuknya tentara Jepang ke wilayah Jember. Namun, dengan bacaan Ratibul Haddad para tentara Jepang itu tidak kerasan di Jember.

“Intinya, bacaan Ratibul Haddad itu untuk pagar diri,” tandas Makkiyah As’ad.

Pagar diri, kata dia, tidak hanya untuk permohonan perlindungan yang berhubungan dengan cerita yang disampaikan tersebut, melainkan untuk kemudahan dalam menjalani kehidupan, termasuk ekonomi.

“Kalau punya santri, makin banyak santrinya, kalau punya usaha makin sukses usahanya,” katanya.

Ratibul Haddad

Sumber lain menyebutkan, Ratibul Haddad disusun oleh salah satu ulama terkemuka dari Hadramaut, yakni Habib Abdullah bin Alawi bin Muhammad al-Haddad (1055-1132 H).

Habib Abdullah lahir di Tarim, Yaman pada 30 Juli 1634 M adalah seorang ulama dalam bidang fiqih dan aqidah Al-Asy’ariyah. Hingga mendapat gelar Syaikh Al-Islam, Quthb ad-Da’wah wa Al-Irsyad.

Ratibul Haddad disusun Habib Abdullah berdasarkan inspirasi pada malam lailatul Qadar 27 Ramadan 1071 H. Dari beberapa doa dan zikir yang susun adalah Ratib Al Haddad yang paling terkenal.

Dalam situs NU Online disebutkan, Habib Abdullah merupakan seorang mujaddid atau pembaharu di masanya. Karya tulisnya cukup banyak dan tersebar di berbagai penjuru dunia. Di antaranya an-Nashaih ad-Diniyah, Risalah al-Mu’awanah, an-Nafais al-‘Alawiyah fi al-Masa’il as-Shufiyah.

Zikir Ratib Al Hadad sendiri disusun pada tahun 1071 H, bermula ketika para pemuka Hadramaut merasa khawatir akan masuknya kelompok Syiah Zaidiyah di wilayah Hadramaut.

Waktu Utama Membaca Ratibul Haddad

Agar mendapatkan keutamaan dari membaca wirid Ratib Al Haddad, dianjurkan dibaca secara bersama-sama dalam majelis zikir. Dalam penjelasan mengenai ketentuannya, yakni :

“Sebaiknya seorang murid yang sungguh-sungguh membaca ratib ini, terlebih ketika penyusun Ratib ini merupakan perantara baginya menuju Allah ta’ala. Membaca Ratib Al Haddad ini setelah salat Isya dan subuh adalah cara membaca yang paling sempurna, namun membaca Ratib ini satu kali dalam sehari semalam dianggap cukup, yang paling utama dilakukan setelah melaksanakan salat isya. Sedangkan di bulan Ramadan, membaca Ratib ini didahulukan dari pelaksanaan salat isya”. (Syekh Abu Bakar bin Ahmad al-Maliabar, al-Imdad bi Syarhi Ratib al-Haddad).

Bacaan Ratibul Haddad

بِسْم اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْم

Bismillahi rahmani rahim

اَلْـحَمْدُلِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ

Alhamdulillahi rabbil alamin

حَمْداً يُوَافِى نِعَمَهُ وَيُكَافِئُ مَزِيْدَهُ يَارَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ كَمَا يَنْبَغِى لِجَلَالِ وَجْهِكَ وَلِعَظِمِ سُلْطَانِكْ

Hamdan ayyuwaa fii ni’mahu wayukaafiini maziidah yaa rabbana lakalhamdu kamaa yanbagii lijalaali wajhika wa li’azimi sulthoni

سُبْحَانَكَ لاَنُحْصِى ثَنَاءً عَلَيْكَ اَنْتَ كَمَا اَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ

Subhanaka laanuhsi tsanaaan ‘alaika anta kamaa atsnaita ‘ala nafsika

فَلَكَ الْحَمْدُ حَتَّى تَرْصَى وَلَكَ الْحَمْدُ اِذَا رَضِيْتَ وَلَكَ الْحَمْدُ بَعْدَ الرِّضَى

Falakal hamdu hatta tardho wa lakalhamdu idzaa rodiita wa lakalhamdu ba’da rodo

اَلَّلهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ فِى الْاَوَّلِيْنَ

Allahumma sholli wa sallim ‘ala sayyidina muhammadin fil awwalin

وَصَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ فِى الْاَخِرِيْنَ وَصَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ فِى كُلِّ وَقْتٍ وَحِيْنٍ

Wasolli wa sallim ala sayyidina muhammadin fil aakhirin wasolli wa sallim ala sayyidina muhammadin fii kulli waktin wa wahiin

وَصَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ فِى الْمَلاَءِ الْأَعْلَى اِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ

Wasolli wa sallim ala sayyidina muhammadin malaai a’la ilaa yaumiddin

وَصَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ حَتَّى تَرِثَ الْاَرْضَ وَمَنْ عَلَيْهَاوَاَنْتَ خَيْرُ الْوَرِثِيْنَ

Wasolli wa sallim ala sayyidina muhammadin hatta tarsa alardo wa man ‘alaihaa wa anta khoirul waarisin

اَللَّهُمَّ اِنَّا نَسْتَحْفِظُكَ وَنَسْتَودِعُكَ اَدْيَانَنَا وَاَبْدَنَنَا وَاَنْفُسَنَا وَاَولاَدَنَا وَاَمْوَالَنَا وَاَهْلَنَا وَكُلَّ شَيْئٍ اَعْطَيْتَنَا

Allahumma inna nastahfidzuka wa nastadi’uka adyaa nanaa wa abdananaa wa laadanaa wa amwaalanaa wa ahlanaa wa kulla sayyin a’thoytana

اَللَّهُمَّ اجْعَلْنَا وَاِيَّاهُمْ فِى كَنَفِكَ وَاَمَانِكَ وَعِيَاذِكَ وَجِوَارِكَ مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ مَرِيْدٍ

Allahumma aj’alnaa wa iyyahum fii kanafika wa amaanika wa ‘iyaadzika wa jiwaarika min kulli sathoniin mariid

وَجَبَّارٍ عَنِيْدٍ وَذِى عَيْنٍ وَذِى بَغْيٍ وَمِنْ شَرٍّ كُلِّ ذِى شَرٍّ اِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْئٍ قَدِيْرٌ

Wa jabbaari ‘aniidin wa dzii ainin wa dzii ba’yin wa min sarrin kulli dzin syarrin innaka ‘ala kulli sayyin qodir

اَللَّهُمَّ حُطْنَا بِالتَّقْوَى وَالْاِسْتِقَامَةِ وَاَعِذْنَا مِنْ مُوْجِبَاتِ النَّدَمَةِ فِى الْحَالِ وَالْمَاَلِ اِنَّكَ سَمِيْعُ الدُّعَاء

Allahumma hutnaa bittaqwa wa istiqoomati wa a’idnaa min muujibaatin nadamati fii haali wal maali innaka samiiu duaa

وَصَلِّ اللَّهُمَّ بِجَمَالِكَ وَجَلاَلِكَ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِهِ وَصَحْبِهِ اَجْمَعِيْنَ

Wa solli allahumma bihamaalika wa jalaalika ‘ala sayyidina muhammadin wa ‘ala ilaahi shohabati ajmain

وَارْزُقْنَا كَمَالَ الْمُتَابَعَةِ لَهُ ظَاهِرًا وَبَاطِنًا يَااَرْحَمَ الرَّحِمِيْنَ

Warzuknaa kamaala mutaaba’ati lahu dzoohiraan wa baathinaa yaa arhamarrahiminn

بِفَضْلِ سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِيْفُوْنَ

Bi fadhli subhaana rabbika rabbil ‘izzati amma yassifun

وَسَلاَمٌ عَلَى الْمُرْسَلِيْنَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ

Wasalaamu ‘alalmursalin walhamdulillahi rabbil alamain

اَللَّهُمَّ إِنَّا نَسْـأَلُكَ رِضَـاكَ وَالْجَنَّـةَ وَنَـعُوْذُ بِكَ مِنْ سَـخَطِكَ وَالنَّـارِ

Allahumma inna nas aluka ridhooka wa jannata wa na’audzubika min sakhotika wannar

يَاعَالِمُ السِّرِّ مِنَّا لاَتَهْتِكِ السِّتْرَ عَنَّا وَعَافِنَا وَاعْفُ عَنَّا وَكُنْ لَنَا حَيْثُ كُنَّا

Yaa ‘alimu sarri minna la tahtiki sitra ‘anna wa ‘aafina wa’fu’anna wa kun lanaa haysu kanna

يَااَللهُ بِهَا يَااَللهُ بِهَا يَااَللهُ بِحُسْنِ الْخَاتِمَةِ

Yaa allah bihaa yaa allah bihaa bihusnil khootimati

يَالَطِيْفًا لَمْ يَزَلْ اُلْطُفْ بِنَا فِيْمَا نَزَلْ…اِنَّكَ لَطِيْفُ لَمْ تَزَلْ اُلْطُفْ بِنَا وَالْمُسْلِمِيْنَ

Yaa latiifaan lam yazal binaa fiimaa nazal innaka latiifu lam tazal ultuf binaa wa muslimiin.

(dihimpun dari berbagai sumber)

DAPATKAN UPDATE BERITA LAINNYA DI

google news icon
Penulis: HartonoEditor: Hartono

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.