Kelompok Pasien Mendesak Akses yang Adil terhadap Obat HIV Lenacapavir

Avatar of hartono
Kelompok Pasien Mendesak Akses yang Adil terhadap Obat HIV Lenacapavir
ARV jenis TLE dan TLD yang digunakan di Indonesia (Sumber : Indonesia AIDS Coalition)

PortalMadura.ComIndonesia AIDS Coalition (IAC), sebuah organisasi berbasis masyarakat yang menangani isu HIV, telah mengajukan banding terhadap paten sekunder obat HIV Lenacapavir kepada Komisi Banding Paten di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Upaya ini bertujuan untuk membuat obat tersebut lebih terjangkau bagi orang yang hidup dengan HIV (ODHA) di Indonesia. Menurut Direktur Eksekutif IAC, Aditya Wardhana, hanya 62% dari 503.261 ODHA di Indonesia yang saat ini menerima pengobatan, berdasarkan data Kementerian Kesehatan per Agustus 2024. Meskipun pemerintah telah membuat langkah maju, masih terdapat kesenjangan yang signifikan dalam akses terhadap pengobatan dan penekanan virus, yang menghambat upaya untuk memenuhi target global 95-95-95 untuk mengakhiri AIDS pada tahun 2030.

Bagi ODHA, penggunaan obat antiretroviral (ARV) yang konsisten sangatlah penting. Mereka yang rutin mengonsumsi ARV dapat mempertahankan tingkat kesehatan yang sebanding dengan individu yang tidak terinfeksi. Perawatan dini mencegah perkembangan menjadi AIDS dan menghentikan timbulnya infeksi oportunistik yang mematikan. Selain itu, dengan virus yang ditekan hingga tingkat yang tidak terdeteksi, penularan HIV ke orang lain dapat dicegah. Dengan demikian, terapi ARV memainkan peran ganda sebagai pengobatan yang menyelamatkan jiwa dan pencegahan.

Lenacapavir, yang diproduksi oleh Gilead Sciences, adalah ARV kerja panjang yang menjanjikan yang dapat merevolusi pengobatan HIV, hanya memerlukan dua suntikan per tahun. Obat ini juga berpotensi untuk digunakan dalam pencegahan HIV (PrEP). Namun, akses ke Lenacapavir dibatasi oleh hak paten. Gilead telah mengajukan beberapa hak paten untuk obat tersebut di Indonesia, yang menurut IAC tidak sesuai dengan undang-undang hak paten negara tersebut. Undang-undang hak paten Indonesia melarang “evergreening,” di mana perusahaan farmasi mengajukan modifikasi hak paten kecil untuk memperpanjang monopoli melampaui standar 20 tahun, sehingga menghalangi obat generik yang terjangkau.

Saat ini, Lenacapavir dibanderol dengan harga $42.250 per tahun (sekitar 640 juta Rupiah), sehingga tidak terjangkau bagi sebagian besar masyarakat Indonesia yang rata-rata pendapatan bulanannya hanya 3,04 juta Rupiah. Penelitian dari University of Liverpool menunjukkan bahwa versi generik Lenacapavir dapat diproduksi dengan biaya yang jauh lebih murah, yaitu antara $26 dan $40 per tahun jika diproduksi secara massal. Ketimpangan harga yang sangat besar ini menggarisbawahi perlunya advokasi untuk memastikan produksi obat generik yang terjangkau.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses