Oleh: NK Gapura*
Festival tong-tong sulit untuk dikritik. Sebab komunitasnya besar, penggemarnya dari semua kalangan, gratis dan bisa menonton berjam-jam.
Di Kabupaten Sumenep, misalnya, harus diakui bahwa festival tong-tong adalah gelaran kesenian terbesar secara area event dan terlama secara waktu. Jika penonton kuat, mereka bisa menyaksikan festival ini hingga pagi hari.
Sebagai apresiasi, pemerintah Kabupaten Sumenep telah berusaha mendaftarkan festival tong-tong ke Karisma Event Nusantara (KEN) di bawah kementerian terkait. Tujuannya agar festival ini secara formal bisa menasional, bahkan mendunia.
Walakin, dua kali didaftarkan, dua kali pula gagal. Dan di waktu yang nyaris bersamaan, informasinya, Kabupaten Sampang juga mendaftarkan event dengan konten yang (persis) sama. Kementerian menolak kedua-duanya.
Dalam satu kesempatan, saya membaca petunjuk teknis kurasi Karisma Event Nusantara (KEN). Sebenarnya apa yang menyebabkan event sebesar ini belum layak diapresiasi oleh kementerian? Sebagai penonton, saya cukup penasaran.
Ternyata, setiap event yang dikurasi untuk KEN, harus memiliki skema kebersihan, keselamatan, kesehatan dan keamanan yang jelas. Di samping itu, harus memiliki manajemen risiko yang efektif dan memadai.
Hanya saja, hingga hari ini, crowd management festival besar ini belum clear. Di tengah cerita kemeriahannya, muncul pula cerita macet dan berdesakannya. Kiranya ada berapa anak, mungkin juga balita, yang satu jam lebih ikut menahan bisingnya kendaraan di tengah kemacetan?
Dan pertanyaan pentingnya, apakah crowd management festival tong-tong belum rampung atau sengaja dibiarkan begitu saja? Dari kacamata pelaku event wisata, pemerintah dan penyelenggara terkesan tidak mampu menghandle tugasnya.
Saya termasuk penonton yang setuju bahwa festival tong-tong layak dibanggakan. Meriahnya event ini bukan bualan. Sangat bisa dibuktikan dengan mata telanjang. Tetapi apakah sudah efektif secara konsep pelaksanaan?
Jika merujuk pada aturan KEN, yang menggambarkan event layak untuk semua kalangan, festival tong-tong dirasa perlu dilakukan pembenahan. Crowd management event ini harus dipersiapkan lebih matang. Minimal, jangan sampai peserta bingung, garis finishnya kok tidak ada? Penuh manusia.
Mungkin saja, sejak paragraf pertama, semua terkesan berlebihan. Tapi, sungguh catatan ini tidak saya niatkan sebagai kritikan. Hanya saja, jika boleh usul, pemerintah sayogyanya menyelenggarakan event yang mampu mengedepankan rasa kemanusiaan, memberi rasa aman dan nyaman. Itu kata kuncinya.
Dan hari ini, hemat saya, bukan waktu yang tepat bagi pemerintah untuk membela diri. Misalnya beralibi bahwa yang terjadi di sebuah event besar (selalu) di luar kendali. Jangan!
Sebab event besar ini sudah digelar berkali-kali. Semestinya event ini sudah menarik sejak promosi, pemetaan lokasi, dan crowd management sudah disiapkan secara teliti.
Dan jika bisa, setiap penonton yang menceritakan kemacetan, jangan selalu disudutkan sebagai pribadi yang penuh kebencian. Jangan. Mereka punya hak menyayangi dirinya dengan melepaskan afirmasi negatif yang menggumpal di dalam pikiran.
Hemat saya, mereka adalah penonton layaknya biasa. Mereka merelakan waktu, tenaga dan (mungkin) biaya agar bisa menikmati gelaran kesenian terbesar di kota tercinta. Maka, apapun kesan dari mereka, semestinya diterima dan dijadikan tolok ukur, apakah konsep palaksanaannya sudah tepat atau sebaliknya?
Penonton dan pemerintah harus punya kesan yang sama untuk festival besar ini. Festival ini harus mampu membahagiakan setiap pikiran meskipun strata sosialnya berbeda.
Jika diumpamakan kehidupan, jangan sampai festival besar ini seperti ucapan Sholom Aleichem: Hidup adalah mimpi bagi mereka yang bijaksana, permainan bagi mereka yang bodoh, komedi bagi mereka yang kaya, dan tragedi bagi mereka yang miskin. Salam awam saja.(**)
*Banyuwangi, 15 Desember 2024