Pelajaran ini saya terima langsung dari emak. Di bawah pohon mangga, saat sore makin matang, saya secara tidak sengaja belajar bagaimana cara memanusiakan binatang.
Sebelumnya, kambing se cothet, adik saya, mati tanpa sebab yang pasti. Menurut cerita dari emak, sebelum kambing muda itu mati, dia telah sakit sekitar tiga hari. Emak berkata telah melakukan berbagai cara agar si kambing kembali bugar. Namun semua upaya memudar.
Karena hanya seekor kambing, itu pun sudah sakit, saya nyeletuk: kenapa tak disembelih saja? Dengan lekas, emak menoleh. Sejurus kemudian ia berujar: Janganlah! Kambing sudah sakit, masak masih mau disembelih. Kan kasihan?.
Mendengar itu, perasaan saya mendadak penuh pertanyaan. Lalu emak pun melanjutkan: se Cothet, adikmu, sebenarnya juga meminta demikian. Sembelih saja sebelum mati beneran. Tapi aku tidak membolehkan. Kasihan, kata emak.
Saat itu, saya tidak berusaha melawan. Misalnya membuat analogi tandingan. Atau, paling tidak, membuat sekian jawaban acak agar perbincangan kami berdua tetap menyenangkan. Tidak.
Sore itu, perbincangan saya dan emak menjadi sangat pendek. Kami hanya membincang kambing mati dan sikap baik emak yang telah mengajarkan cara memanusiakan binatang. Tidak lebih.
Namun, bagi saya, tentu jawaban emak cukup berat untuk dilakukan. Jujur saja, sangat sulit untuk memanusiakan binatang. Yang ada, dalam keseharian, saya lebih sering membinatangkan manusia, baik secara harfiah maupun kiasan.
Emak tidak tahu, melatih diri untuk memanusiakan manusia, bagi saya, pengorbanannya sungguh menguras perasaan. Konsekuensi dari memanusiakan manusia, di antaranya adalah kesiapan untuk direndahkan, dimanfaatkan bahkan dikorbankan.
Namun begitu, untuk terus melatih memanusiakan manusia, saya harus pintar berpura-pura baik. Hanya saja, berpura-pura baik itu bukan perkara gampang. Apalagi sampai orang mengira kita tidak sedang berpura-pura. Salam.(*)
*NK Gapura
Jumat, 27 Oktober 2023
DAPATKAN UPDATE BERITA LAINNYA DI
