Covid-19 dan Nilai Tukar Rupiah Terlemah Sejak 1998, Begini Pendapat Dosen UTM

Avatar of PortalMadura.com
Covid-19 dan Nilai Tukar Rupiah Terlemah Sejak 1998, Begini Pendapat Dosen UTM
Ris Yuwono Y. Nugroho (Istimewa)

PortalMadura.Com, – Merebaknya wabah virus corona () menimbulkan ketidakpastian perekonomian global, setelah perang dagang Amerika dan Tiongkok yang sedikit mereda.

Tantangan perekonomian domestik semakin berat setelah Covid-19 mewabah di Indonesia dan menjangkiti 309 orang dengan total kematian 25 orang hingga 19 Maret 2020.

Bank Indonesia melalui hasil Rapat Dewan Gubernur tertanggal 19 Maret 2020 telah merevisi proyeksi tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2020 dari 5,0-5,4% menjadi 4,2-4,6%.

Ekspor jasa terutama sektor pariwisata diperkirakan menurun akibat terhambatnya proses mobilitas antar negara sejalan dengan upaya memitigasi risiko perluasan Covid-19.

“Demikian pula non-bangunan berisiko melambat karena menurunnya prospek ekspor barang dan jasa, serta terganggunya rantai produksi,” ungkap Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Trunojoyo Madura (FEB-), Ris Yuwono Y. Nugroho.

Indikator ekonomi yang kemudian mengejutkan masyarakat, adalah pergerakan terhadap dolar Amerika. Pada 19 Maret 2020, rupiah sempat menyentuh angka terlemah sejak era krisis 1998, yakni sebesar Rp 16.030,00 per Dolar Amerika, meskipun kembali menguat di angka Rp 15.970,00 per Dolar Amerika pagi ini, Jumat (20/3/2020).

Menurut Ris Yuwono, secara teori nilai tukar dapat berubah-ubah setiap saat, tergantung jumlah penawaran dan permintaan valuta asing relatif terhadap mata uang domestik.

Berlebihnya permintaan mata uang asing (excess demand) mengakibatkan harga mata uang asing tersebut naik sehingga rupiah terdepresiasi. Sebaliknya, excess supply atau berlebihnya pasokan mata uang asing menjadikan harga mata uang asing tersebut turun sehingga rupiah terapresiasi.

“Ada banyak hal yang berpengaruh, seperti tingkat pendapatan, tingkat harga, dan tingkat bunga, yang ketiganya berasal dari kegiatan ekonomi dan kebijakan pemerintah baik fiskal maupun moneter, lalu faktor-faktor Psikologi. Bisa juga dari pembayaran impor dan penerimaan ekspor, aliran modal keluar dan masuk serta kegiatan spekulasi, hingga intervensi oleh bank sentral,” jelas Ris Yuwono.

Bank Indonesia jelas menyebutkan bahwa penyesuaian aliran modal asing di pasar keuangan domestik pasca merebaknya Covid-19 menekan nilai tukar sejak pertengahan Februari 2020.

Aliran portofolio yang awalnya masuk pada Januari 2020 secara neto sebesar 5,1 miliar USD, kemudian mengalami pembalikan, hingga hanya sebesar 360 juta USD pada 17 Maret 2020.

Akibatnya 18 Maret 2020, rupiah secara rerata melemah 5,18% dibandingkan Februari 2020, atau terdepresiasi sebesar 8,77% sejak akhir 2019. Artinya faktor psikologis para investor, dan penarikan kembali modal asing menjadi penyebab utama penurunan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika.

Ditanya terkait bagaimana dampak penurunan nilai tukar terhadap perekonomian nasional, Ris Yuwono menjelaskan, penurunan nilai tukar berpengaruh kuat pada harga impor. Dengan kondisi ketergantungan terhadap impor, maka depresiasi nilai tukar akan menyebabkan kenaikan harga impor, dan selanjutnya berdampak terhadap kenaikan harga domestik.

“Meskipun masing-masing industri memiliki tingkat resiliensi berbeda terhadap penurunan nilai tukar, tapi semua akan mengalami dampak negatif jika nilai tukar rupiah menurun tajam,” jelasnya.

Ris Yuwono menerangkan, selama ini perekonomian nasional dan daerah sebagai pembentuknya, selalu ditopang oleh tumbuhnya konsumsi rumah tangga saat ekspor kurang bagus, khususnya pertumbuhan ekonomi di Pulau Jawa sebagai kontributor utama pertumbuhan ekonomi nasional.

“Tapi, dengan adanya Kejadian Luar Biasa (KLB), jika berlarut-larut, tentu pengeluaran konsumsi masyarakat dan kinerja ekonomi di Pulau Jawa akan terganggu,” tegasnya.

Di sektor riil Kementerian Keuangan sudah meluncurkan stimulus fiskal tahap I, sebesar Rp 8,5 triliun untuk sektor-sektor yang terdampak langsung akibat pandemik Covid-19.

Pemerintah juga mengeluarkan kebijakan stimulus fiskal tahap II untuk menjaga daya beli masyarakat dan keberlanjutan dunia usaha selama 6 bulan, April hingga September 2020, mencapai Rp 23 triliun. Stimulus non-fiskal sebagai dorongan terhadap kegiatan ekspor-impor, kebijakan countercyclical stimulus untuk debitur bank, serta restrukturisasi kredit untuk UMKM.

Ris Yuwono mengatakan, dampak Covid-19 terhadap kinerja pertumbuhan ekonomi, dan target pembangunan seperti tingkat pengangguran dan angka kemiskinan, serta indeks pembangunan manusia belum dapat kita pantau dalam 2,5 bulan pertama tahun ini.

“Selain nilai tukar, terdapat data inflasi pada Januari dan Februari yang dapat kita baca saat ini,” katanya.

“Namun,” lanjutnya, “kenaikan harga umum (Inflasi IHK) Februari 2020 tercatat 0,28% (mtm), atau secara tahunan sebesar 2,98% (yoy), bisa kita artikan bahwa pemerintah masih harus berjuang untuk mengendalikan inflasi sebesar 3,0% ±1% pada tahun ini,” imbuh Ris Yuwono.

Terakhir, ia berharap bahwa fenomena-fenomena kenaikan harga kebutuhan pokok, semisal gula pasir per kilogram di pasaran, dari awalnya pada kisaran Rp. 11.000,- menjadi Rp. 18.000,- semoga hanya kenaikan sementara akibat kekurangan produksi dalam negeri seperti yang disampaikan pemerintah, bukan karena ulah pelaku ekonomi untuk mengambil keuntungan sepihak.

“Kecermatan kebijakan dan koordinasi pemerintah sangat diperlukan untuk mengatasi kondisi saat ini. Kita tunggu saja bagaimana perkembangan indikator ekonomi ke depan,” pungkasnya.(*)

DAPATKAN UPDATE BERITA LAINNYA DI

google news icon

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.