Oleh : T.H. Hari Sucahyo
Pegiat di Cross-Disciplinary Discussion Group “Sapientiae”
Kebenaran dan perasaan sering kali berada dalam satu ruang yang sama, namun tidak selalu saling mengafirmasi. Dalam dunia yang semakin digerakkan oleh emosi, opini cepat, dan kenyamanan psikologis, pernyataan bahwa “kebenaran lebih penting daripada perasaan” mungkin terdengar ofensif, bahkan kejam. Tetapi justru di situlah letak pentingnya untuk mengangkatnya kembali sebagai obor di tengah gelapnya kebingungan zaman.
Kebenaran adalah pusat gravitasi dari setiap pencarian intelektual yang jujur. Ia bukan sekadar data, bukan pula sekadar fakta dalam ruang laboratorium atau ruang sidang. Kebenaran adalah horizon yang tak habis dituju, namun tetap memberi arah. Dalam kerangka Aristotelian, kebenaran adalah pengungkapan tentang “apa adanya” to say of what is that it is, and of what is not that it is not (Aristoteles, Metaphysics, Book IV).
Dalam kerangka modern, Immanuel Kant menekankan bahwa kebenaran bukan hanya persoalan kesesuaian empiris, tetapi soal rasionalitas yang otonom, yakni akal yang menilai menurut prinsipnya sendiri (Kant, Critique of Pure Reason, 1781).
Sebaliknya, perasaan adalah wilayah yang lebih intim, lebih dekat, namun juga lebih fluktuatif. Ia hadir sebagai gema dari pengalaman personal, sosial, dan budaya. Perasaan tidak salah; ia adalah bagian esensial dari kemanusiaan kita. Namun ketika perasaan dijadikan rujukan utama dalam menilai sesuatu terutama dalam wilayah publik dan diskursus intelektual, potensi bias dan ketidakseimbangan akan sangat besar. Hannah Arendt mengingatkan bahwa ketika opini dan perasaan diperlakukan setara dengan kebenaran faktual, maka kita kehilangan orientasi publik dalam politik dan etika (Truth and Politics, 1967).
Mengapa kebenaran harus lebih diutamakan daripada perasaan? Karena perasaan tidak selalu mengarah kepada yang benar. Seseorang bisa merasa tidak nyaman mendengar kenyataan bahwa bumi memanas akibat ulah manusia, tapi perasaan itu tidak mengubah kebenaran ilmiahnya. Seseorang bisa tersinggung dengan kritik terhadap agamanya, tapi hal itu tidak serta-merta menjadikan kritik itu salah. Kebenaran tetap berdiri, bahkan ketika seluruh dunia memalingkan muka. Dan di situlah ia menuntut keberanian.
Socrates adalah contoh klasik dari pencari kebenaran yang tidak menyerah pada tekanan publik. Ia memilih mati daripada berhenti bertanya dan menguji keyakinan masyarakat Athena, karena bagi Socrates, hidup tanpa perenungan tidak layak dijalani (Apologia, Plato). Dalam konteks modern, Simone Weil mengajarkan bahwa perhatian yang murni terhadap realitas, meskipun menyakitkan, adalah bentuk tertinggi dari kasih sayang dan pencarian kebenaran (Gravity and Grace, 1947).
Kini, di era digital, kita mendapati situasi terbalik. Kebenaran harus tunduk pada sensitivitas. Siapa pun yang mengutarakan pendapat yang benar namun tidak sesuai dengan “rasa umum” akan segera dicap tidak empatik, ofensif, atau bahkan disingkirkan secara sosial. Budaya pembatalan (cancel culture) tumbuh subur karena perasaan dijadikan hukum moral tertinggi. Dalam buku The Coddling of the American Mind (2018), Jonathan Haidt dan Greg Lukianoff menguraikan bagaimana generasi muda makin tidak tahan terhadap ketidaknyamanan intelektual, dan hal ini mengancam daya pikir kritis mereka.
Bahaya dari mendewakan perasaan adalah lahirnya masyarakat yang rentan terhadap manipulasi emosional. Retorika menggantikan logika. Sentimen menggantikan argumen. Dalam politik, kita melihat bagaimana emosi massa dibakar bukan untuk tujuan etis, melainkan untuk kepentingan kekuasaan. Dalam media sosial, kebenaran menjadi korban dari perlombaan validasi instan. Postingan yang paling viral bukanlah yang paling benar, melainkan yang paling memicu emosi (Sunstein, #Republic, 2017).
Kita tidak sedang diminta untuk mematikan perasaan. Justru perasaan bisa menjadi kompas awal menuju pencarian kebenaran, bila ia dibingkai dengan kerendahan hati dan kesediaan untuk diuji. Perasaan marah terhadap ketidakadilan, sedih melihat penderitaan, atau bingung menghadapi kontradiksi hidup, semuanya bisa menjadi awal dari refleksi filosofis yang mendalam. Tapi ketika perasaan dibiarkan menjadi penentu akhir tanpa kritik, ia akan menyesatkan.
Immanuel Kant pernah mengatakan bahwa “akal tanpa sensibilitas adalah kosong, tetapi sensibilitas tanpa akal adalah buta” (Critique of Pure Reason). Di sinilah keseimbangan perlu ditegakkan. Kebenaran harus dikawal dengan empati, dan empati harus dipandu oleh kebenaran. Tanpa itu, kita akan tenggelam dalam dua ekstrem: rasionalitas yang dingin dan kejam, atau sentimentalitas yang buta dan rapuh.
Menjunjung kebenaran di atas perasaan bukan berarti menolak perasaan. Ia berarti menempatkan perasaan dalam kerangka yang lebih luas, yaitu dalam pencarian makna dan pertanggungjawaban terhadap dunia dan sesama. Bahkan dalam kehidupan spiritual, kebenaran tidak identik dengan kenyamanan. Yesus dalam Injil mengatakan bahwa kebenaran akan membebaskan, bukan memanjakan (Yohanes 8:32). Jalan menuju pencerahan, dalam hampir semua tradisi besar dunia, bukanlah jalan perasaan yang menyenangkan, tapi jalan kebenaran yang menyakitkan.
Thomas Aquinas menyebutkan bahwa veritas est adequatio rei et intellectus, kebenaran adalah kesesuaian antara realitas dan pikiran (Summa Theologica, I, q.16). Dengan kata lain, kebenaran menuntut kita untuk menyelaraskan pikiran kita dengan kenyataan, bukan dengan keinginan atau rasa nyaman. Itulah sebabnya kebenaran sering kali datang dengan penderitaan. Lebih dari itu, menempatkan kebenaran di atas perasaan juga melatih kita untuk menjadi pribadi yang lebih dewasa secara intelektual dan moral.
Kita belajar menunda gratifikasi, menerima kritik, dan terbuka terhadap kemungkinan bahwa kita salah. Dalam dunia pendidikan, orientasi pada kebenaran menumbuhkan daya pikir kritis, bukan sekadar menghafal atau mengulang apa yang nyaman dan bisa diterima. Dalam dunia jurnalistik, kebenaran menjadi pondasi integritas. Dalam dunia keilmuan, kebenaran menjadi prinsip utama yang melampaui preferensi pribadi.
Dalam konteks kehidupan bersama, kebenaran menjadi dasar bagi keadilan. Tanpa kebenaran, keadilan akan bergantung pada suara mayoritas, yang tidak selalu benar. Tanpa kebenaran, kebijakan akan mudah dibelokkan demi kepentingan kelompok tertentu. Tanpa kebenaran, kasih pun akan kehilangan arah, karena kasih tanpa kebenaran akan berubah menjadi pemanjaan yang membutakan. Seperti ditekankan Václav Havel, “Hidup dalam kebenaran” adalah bentuk tertinggi perlawanan terhadap sistem yang menindas (Havel, The Power of the Powerless, 1978).
Perjuangan demi kebenaran tidak selalu berakhir manis. Banyak pencari kebenaran justru mati muda, dikucilkan, atau dilupakan. Tapi mereka meninggalkan warisan yang tak tergantikan: semangat untuk tidak tunduk pada kebohongan yang dibungkus dengan kenyamanan. Dalam skala kecil, kita bisa mulai dari diri sendiri: berani mendengar yang tidak ingin kita dengar, berani mengoreksi yang selama ini kita yakini, dan berani memilih jalan yang mungkin sepi tapi jujur.
Kita tidak pernah benar-benar bisa memisahkan total antara kebenaran dan perasaan. Tapi kita bisa memilih mana yang menjadi kompas, dan mana yang menjadi pendamping. Perasaan yang sehat akan menguatkan pencarian kebenaran, bukan menghambatnya. Dan kebenaran yang sejati tidak pernah jauh dari cinta, sebab kebenaran yang sejati membebaskan, bukan menghukum.(**)