PortalMadura.Com, Jakarta – Di tengah krisis lingkungan dan terbatasnya sumber daya alam, model ekonomi linear yang mengutamakan prinsip produksi, konsumsi, dan pembuangan mulai diragukan relevansinya. Sebagai alternatif, ekonomi sirkular muncul sebagai model yang lebih ramah lingkungan dengan tujuan untuk mengurangi limbah, memaksimalkan penggunaan sumber daya, dan menciptakan keberlanjutan. Pendekatan ini tidak hanya fokus pada daur ulang, tetapi juga pada desain produk yang lebih tahan lama dan mudah untuk didaur ulang.
Penerapan ekonomi sirkular di Indonesia berpotensi mengurangi emisi karbon hingga 126 juta ton CO2eq pada tahun 2030, sekaligus meningkatkan Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 638 triliun dan menciptakan 4,4 juta lapangan kerja baru, menurut laporan Bappenas 2021. Di tingkat daerah, model ini juga mulai memberikan dampak positif, seperti di Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, di mana lahan bekas perkebunan sawit dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan produktif yang mendukung keberlanjutan, seperti budidaya jagung, peternakan ayam, dan produksi pupuk organik.
Sektor industri tekstil, yang merupakan salah satu penyumbang limbah terbesar, juga mulai mengadaptasi prinsip ekonomi sirkular. Dari 33 juta ton tekstil yang diproduksi setiap tahun, sekitar 1 juta ton berakhir sebagai limbah. Beberapa merek fesyen di Indonesia mulai mengimplementasikan sistem daur ulang bahan baku dan memperpanjang umur produk untuk mengurangi limbah dan mendukung keberlanjutan industri.
Manfaat ekonomi sirkular tidak hanya terlihat dalam pengurangan limbah dan emisi karbon, tetapi juga dalam keuntungan finansial bagi bisnis, seperti pengurangan biaya produksi, peningkatan daya saing melalui produk ramah lingkungan, dan menarik pelanggan yang lebih peduli terhadap keberlanjutan. Meski begitu, masih ada tantangan seperti kurangnya infrastruktur daur ulang dan regulasi yang belum sepenuhnya mendukung transisi ke ekonomi sirkular.