Ini Bahaya Jika si Kecil Punya Teman Khayalan

Avatar of PortalMadura.Com
Ini Bahaya Jika si Kecil Punya Teman Khayalan
ilustrasi

PortalMadura.Com – yang dimiliki di usia kanak-kanak dianggap sebagai suatu perkembangan yang wajar. Jadi, orang tua tidak perlu khawatir jika anak memiliki teman khayalan.

Sebagaimana yang dijelaskan seorang Psikolog, pendiri sekaligus Direktur Utama Irma and Co. Child and Family Psychological Services (Rumah Konsultasi Anak, Remaja dan Keluarga), Irma Gustiana Andriani, M.Psi, menjelaskan, bahwa teman khayalan yang dimiliki anak di usia kanak-kanak dianggap sebagai suatu perkembangan yang wajar.

Biasanya adanya teman khayalan yang paling sering muncul di usia 3 – 5 tahun atau bahkan sampai pada usia 7 tahun. Menurut Irma, masalah yang sering timbul yaitu orang tua sering kali memandang bahwa anaknya benar-benar mempercayai hal itu dan mereka tidak bisa membedakan mana dunia fantasi atau nyata.

Oleh karena itu, sebagai orang tua harus memberi penjelasan yang bisa mereka terima agar anak bisa membedakan yang baik dan yang buruk. Dan ini beberapa hal yang perlu orang tua perhatikan tentang teman khayalan anak:

Efek Positif dan Negatif
Berdasarkan jurnal psikologi yang diterbitkan British Academy, disebutkan bahwa anak perempuan usia pra sekolah lebih berpeluang memiliki teman imajinasi dibandingkan anak laki-laki seumuran. Selain itu, anak tunggal maupun anak pertama cenderung lebih berpotensi memiliki teman khayalan dibanding anak lain.

“Hal ini karena kecenderungan dasar anak perempuan yang perasa dan senang akan aktivitas bercerita, dibandingkan anak laki-laki yang cenderung senang aktvitas gerak motorik,” jelas Irma.

Irma mengungkapkan, memiliki teman khayalan berpengaruh pada kesehatan dan perkembangan mental anak. Efeknya bisa negatif, namun sebenarnya banyak juga positifnya.

Beragam Penyebab
Karena kasusnya sangat individualistis atau berbeda antara satu anak dengan anak lainnya, penyebab anak memiliki teman khayalan pun beragam. “Pada anak yang normal, memiliki teman khayalan itu sebagai bentuk pengembangan kreativitasnya.

Sementara anak dengan kasus trauma tertentu, bisa jadi sedang mencoba mengatasi rasa tidak nyamannya melalui kegiatan bercerita dengan teman khayalan yang ia ciptakan,” tutur Irma.

Selain itu, Irma menyebutkan, ada beberapa alasan lain yang menjadi dasar anak dalam menciptakan teman imajinasinya, di antaranya:

1. Anak kesepian atau tidak punya teman
Anak merasa kesepian dan butuh teman bermain atau tempat curhat. Bisa jadi hal itu disebabkan kedua orangtuanya sedang tidak dapat meluangkan waktu untuk bermain dengannya.

2. Anak sedang mengembangkan kemampuannya secara alami
Seperti yang telah diungkapkan di atas, teman khayalan termasuk dalam perkembangan yang cukup wajar ketika anak sedang belajar tentang dunianya.

3. Mengalami pengalaman negatif
Anak-anak yang ditolak oleh lingkungan atau mendapat perlakuan tidak menyenangkan, cenderung lebih menyenangi solitary play dan menjadikan mainan-mainannya sebagai teman-teman yang hidup. Sehingga biasanya anak akan menciptakan tokoh-tokoh tertentu yang ia sukai sebagai teman mainnya.

4. Egosentris.
Tahapan berpikir anak balita berada pada fase egosentris, di mana ia memandang segala sesuatu sesuai dengan keinginan dan caranya sendiri sehingga seringkali mengabaikan lingkungan. Ia akan merasa asyik dengan teman yang diciptakannya.

Bagaimana Menyikapinya?
Irma menyarankan, orangtua dapat mendukung imajinasi anak dengan mencoba menfasilitasi kegiatan bermain dengan teman sebayanya, misalnya dengan boneka atau gambar-gambar. Namun orangtua harus tetap konsisten dalam membuat aturan bermain, jangan sampai keasyikan dalam bermain dengan teman khayalannya membuat ia melupakan kewajibannya dan rutinitas hariannya yang lain. “Anak juga harus didorong untuk tetap mau beraktivitas di luar rumah dan bermain dengan teman-teman nyata di playground.”

Selain itu, penting bagi orangtua untuk terus meningkatkan kualitas hubungan dengan anak. “Coba ikuti saja aktivitas bermain dengan teman ciptaannya tersebut, orangtua dapat bertanya mengenai usia dan karakteristiknya. Mendalami apa yang dimainkan anak akan membuatnya merasa diperhatikan,” papar Irma.

Meski terbilang wajar, Irma mengingatkan, orangtua harus mulai khawatir jika anak-anak menghindari interaksi dengan anak-anak lain dan lebih memilih bermain dengan teman khayalannya, bersikap kasar, dan selalu mengambinghitamkan teman khayalannya itu di hadapan orangtua. “Kemungkinan, anak sedang mengalami tekanan psikologis, sehingga mengarahkan rasa tidak nyamannya kepada teman khayalnya,” jelas Irma.

Akankah terbawa sampai dewasa? Irma menyebutkan, seiring dengan bertambahnya usia, biasanya tokoh ciptaan anak akan menghilang atau dilupakan dan digantikan dengan teman-teman sebayanya yang nyata.Namun beberapa masih menjaga keberadaan teman khayalan sampai dewasa, atau bahkan baru memunculkan teman khayalannya ketika dewasa.

“Seseorang menghadirkan teman khayalan ketika berusia remaja hingga dewasa sebagai pengalihan dari rasa tidak nyaman atau kesepian yang dialami. Umumnya ketika dalam keadaan tertekan, teman ciptaannya itu akan dihadirkan. Beberapa individu dewasa menciptakan tokoh khayalannya yang berbeda jenis kelamin, namun ada pula yang sejenis. Harus diwaspadai bila keberadaan teman khayalan di usia dewasa menghambat hubungan sosial dan produktivitasnya,” jelas Irma. (ummi-online.com/Desy)

DAPATKAN UPDATE BERITA LAINNYA DI

google news icon

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.