Opini  

“Paha on the Street”

Avatar of PortalMadura.Com
"Paha on the Street"
Latif Fianto (Foto: Istimewa)

Oleh Latif Fianto*
(Lahir dan besar di )

Baiklah, jika salah satu dari kalian berhenti mengeluh, kalian dibubarkan” (David Lloyd George)

Agak geli membacanya, bahkan nyaris membuat saya terpingkal-pingkal ketika A Dardiri Subairi memplesetkan Sumenep Batik Festival menjadi paha on the street. Beliau kemudian mengakhiri statusnya di facebook dengan satu kata, Ancur! Juga akun bernama Wahid Zainul, misalnya, menulis kata “Astaghfirullah,” “berpaha-paha,” dan “berbujhel-bujhel” dalam statusnya.

Rupanya, paha, bukan batiknya, telah mengantarkan Sumenep ramai diperbincangkan. Bahkan seorang teman, Suryadi Putra Adirasa, dengan sangat baik menulisnya menjadi sebuah puisi, Paha & Wisata. Tiba-tiba saya menanggung rasa kasihan pada paha. Untuk sekali kesalahan ia telah menjadi bulan-bulanan banyak orang di media sosial.

Sumenep memang bukan Yerussalem, Kota Suci yang menurut Simon Sebag Montefiore hidup dua kali, di langit dan di bumi. Tetapi Sumenep boleh jadi dipandang sebagai pusat Madura, bahkan cerminan bagi Madura yang sopan dan berlaku halus. Ketika saya kebetulan berpapasan dengan orang-orang luar Madura, misalnya, lalu tahu saya berasal dari Sumenep, mereka dengan apresiasi yang tinggi selalu bilang, o, yang halus itu ya? Dan tentu, kehalusan budi bukan hanya milik Sumenep semata, melainkan secara utuh, Madura.

Bagi saya, Sumenep bukan hanya sebuah kota. Ia adalah bagian dari kronika sejarah Nusantara, sejarah peradaban. Ia tumbuh bersama tradisi dan budaya yang luhur. Ia berkembang bersama pesantren-pesantren yang terus mengembangkan kecerdasan intelektual dan spiritual. Ia maju dengan sentuhan-sentuhan modernitas yang (semestinya) tetap setia dengan identitas dan karakter lokal, tapi tidak primitif.

Sentuhan-sentuhan modernitas ini nampak nyata di depan mata. Bandara Trunojoyo, misalnya, menjadi salah satu tanda bagaimana kota ini terus memperbaiki diri untuk menyambut masyarakat dunia internasional. Bagian-bagian alam paling indah Sumenep menjadi yang terdepan untuk dikampanyekan. Lahirlah 2018. Isinya promosi destinasi pariwisata.

Di pelosok, di lembah-lembah, di bukit-bukit, masyarakat juga ikut mempermak alamnya menjadi tempat rekreasi keluarga. Seolah setiap jengkal tanah Sumenep siap dimasukkan ke dalam apa yang disebut Yuval Noah Harari sebagai konsumerisme-romantik. Ini bukan sesuatu yang keliru, melainkan karena memang begitulah Sumenep terus berkembang dan mengembangkan dirinya.

Hanya saja, kampanye Sumenep sebagai salah satu destinasi pariwisata harus tercederai dengan digelarnya kegiatan paha on the street. Mohon maaf, maksud saya, fashion on the street. Bahwa pemerintah Sumenep ingin mengenalkan potongan-potongan keindahan kotanya melalui, salah satunya batik festival, adalah usaha yang baik.

Upaya ini harus mendapat apresiasi dari masyarakat karena pemerintah telah mau mengkampanyekan wisata dengan kegiatan beraroma nilai-nilai lokalitas. Bukankah “batik” adalah lokalitas wajah sebuah kota? Atau, potongan keindahan paha juga bagian dari “objek wisata” yang ingin dikenalkan sekaligus ditawarkan?.

Ini hanya sebentuk pertanyaan analitik. Sebab saya selalu khawatir, di dalam sebuah kota yang maju, lengkap dengan paket wisata yang ditawarkan, “objek wisata” lain bernama perempuan mungkin termasuk satu paket integral di dalamnya.

Semakin berkembang wisata sebuah kota, semakin banyak pula wisatawan yang datang. Penginapan-penginapan ramai dibangun. Jasa-jasa teman mengobrol merambat jadi industri kecil-kecilan yang gelap dan menjadi penyakit kanker yang menyebar ke seluruh tubuh kota.

Maka, bila keindahan-keindahan paha yang ditampilkan sebagai awal kampanye destinasi wisata, itu sama halnya dengan menawarkan “objek tubuh” lebih dulu kepada para calon wisatawan yang akan datang. Ibarat pedagang kaki lima, barang-barang paling menggiurkan yang dijajakan paling depan. Mata dunia akan melihat perempuan-perempuan yang selalu cantik dan sensual (bujhel di mana-mana) daripada eksotisme Pulau Oksigen, alaminya Pantai Sembilan, dan sakralnya kompleks pemakaman raja-raja di Asta Tinggi.

Bila yang mau ditawarkan pada dunia adalah keindahan pantai, maka banyak sekali daerah-daerah di dunia yang memiliki pantai lebih indah. Bila yang mau ditawarkan ke dunia adalah sensualitas, banyak sekali kota wisata di dunia yang sudah memiliki destinasi wisata lengkap dengan sensualitasnya. Tetapi saya yakin, kita tidak mau sesuatu yang klise hanya untuk mengenalkan Sumenep ke dunia. Atau memang yang mau ditawarkan adalah unsur-unsur sensualitasnya?

Ini lucu. Yang ramai terkemudian bukan motif dan keindahan batiknya sebagai kekayaan lokal yang harus dipelihara, melainkan lekuk tubuh-lekuk tubuh perempuan yang dinilai tidak sesuai dengan identitas budaya, pola sosial, dan peradaban yang dari dulu hingga kini berkembang. Maju tidak berarti menggadaikan identitas dan karakter budaya masyarakat sendiri. Mengenalkan pariwisata tidak berarti menjual dan memperdagangkan tubuh sebagai komoditi.

adalah Sumenep kota wisata, yang berbudaya dan beradab. Berbudaya dan beradab tidak berarti harus mengikuti arus westernisasi di mana ciuman boleh di mana-mana, tubuh hanya terbungkus celana dalam dan sepotong kain penutup buah dada. Berbudaya dan beradab ala Sumenep adalah mengedepankan tradisi dan nilai-nilai lokal, mengenalkan masyarakatnya yang andhap asor, ramah, terbuka, dan teguh memegang nilai-nilai budaya serta agama, dua aspek yang saling menyebabkan dan disebabkan, yang terkait antara satu dengan yang lainnya.

Kalau ada pertanyaan, kan tidak semua peserta mengenakan pakaian-pakaian terbuka? Ya, itu betul. Ada juga yang mengenakan hijab. Tapi inilah konsumerisme-romantik. Pakaian adalah fashion, sekadar kain menutup bagian-bagian tubuh paling vulgar, yang dewasa ini tidak lebih dari sekadar komoditas ekonomi. Ini dua kondisi yang saling membelakangi. Beberapa mengenakan hijab dan menutup tubuhnya dengan pakaian paling tertutup, lebih dari sekadar sopan, dan beberapa lainnya memperlihatkan bagian-bagian lekuk tubuhnya yang menggiurkan. Padahal ada cara lain yang lebih sopan untuk memperkenalkan batik sebagai pakaian yang fashionable, yang tidak mengumbar lekuk tubuh perempuan.

Saya tidak sedang bermaksud menghakimi satu kelompok dan membela kelompok lain.Yang ingin saya sampaikan, pemimpin yang baik seharusnya tahu betul identitas dan karakter kota dan masyarakat yang dipimpinnya. Dan masyarakat yang baik harus proaktif berkontribusi dalam memajukan masyarakat dan kotanya.

Saya yakin, tidak semua orang akan suka dengan tulisan ini. Tetapi jauh di luar perasaan suka atau tidak suka, sesuatu harus disampaikan. Sebab diam berarti siap dibubarkan.(*)

*Latif Fianto, lahir dan besar di Sumenep, pecinta buku, menulis cerpen dan esai, sekarang masih mencari keberuntungannya di Malang mengelola Komunitas Sastra Malam Reboan.

DAPATKAN UPDATE BERITA LAINNYA DI

google news icon

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.