Di bawah kepemimpinannya, Sanggar Tarara tumbuh menjadi sanggar tari yang konsisten melahirkan karya, konsisten dalam penampilan, serta konsisten menjadi yang terbaik lewat berbagai lomba tari walau dengan segala hasil yang diraih. Sanggar yang terbukti mampu melakukan regenerasi lewat interaksi kekeluargaan yang dibangun.
Prihatin Gempuran Modernisasi
Sudarsono adalah sosok dibalik berdiri dan berkibarnya Sanggar Tarara. Awalnya, pria kelahiran Bangkalan ini hanya berfikir bagaimana membina atau mewadahi anak-anak yang ingin menggeluti dunia tari. Niat tersebut terlaksana di tahun 1996 bersama seorang teman bernama Dwi Kurniawan, yang biasa disapa Pa'ong. Tiga bulan berlalu, wadah tari binaan Sudarsono mempunyai 50 anak didik.
Ada alasan lain yang membuatnya terdorong untuk membina tari. Saat itu ia melihat kenyataan dimana atmosfir kesenian di Bangkalan bisa dikatakan lumpuh. Kontinyuitas kesenian jarang lagi terlihat wujudnya. Terlebih gempuran modernisasi telah merambah Bangkalan. Era yang mulai mengubah gaya hidup, sikap, pemikiran, dan perilaku generasi muda. Sementara sanggar Bina Setra, tempat Sudarsono menimba ilmu tari vakum.
“Kenyataan itulah yang membuat saya prihatin. Geliat berkesenian di Bangkalan lambat laun akan meredup. Kenyataan dimana generasi muda cenderung mengikuti arus modernisasi dibanding kesenian, yang nyata-nyata didalamnya mengandung nilai-nilai luhur sebagai cerminan identitas setempat,” cetusnya.
Sudarsono tak rela jika kota kelahirannya harus kehilangan identitas kesenian. Untuk memperkenalkan upaya penyelamatan kesenian, Sudarsono perlu melakukan upaya jemput bola dengan cara mengirim pemberitahuan serta formulir pendaftaran ke sejumlah sekolah. Jika ada siswa maupun siswi yang ingin bergabung, ia mempersilahkan langsung datang ke tempat latihan.
Agar keberadaan …
DAPATKAN UPDATE BERITA LAINNYA DI
