Tak ada salahnya menengok ke belakang bagaimana sanggar ini bersusah payah membuat kostum anak didiknya yang siap mempertunjukkan karya tari baru. Ada perjuangan yang mengesampingkan idealisme, ada jerih payah yang (maaf) mengundang keprihatinan, ada pula kegigihan yang kiranya pantas dijadikan inspirasi.
Kembali Sudarsono yang jadi aktor utama. Saat masih bersama Dwi Kurniawan (Pa’ong), Sudarsono harus memutar otak bagaimana caranya rangkaian gerak tari ciptaan baru bisa terlihat lebih indah dengan balutan kostum. Baginya tak ada kata malu demi tujuan membangkitkan identitas Bangkalan lewat kesenian, khususnya tari.
Keterbatasan keuangan membuatnya harus mencari jalan keluar. Hingga kemudian terbesit dalam fikirannya memanfaatkan potongan kain yang tak terpakai dari lima penjahit di seputar kota Bangkalan. Sudarsono rela berkeliling Bangkalan bersepeda onthel berboncengan dengan Pa’ong untuk menemukan lokasi para penjahit tersebut.
Kepada penjahit yang bersangkutan ia memohon agar potongan kain, dengan ukuran agak lebar, yang tak terpakai dikumpulkan dalam karung goni yang telah ia bawa. Sebulan kemudian barulah keduanya kembali untuk mengambil potongan kain. Para penjahit nyatanya tak keberatan, dan menyanggupi permintaan Sudarsono.
“Jujur saya katakan, mereka mendukung wadah pembinaan tari yang saya dirikan. Bahkan ada salah satu penjahit sampai berkaca-kaca mendengar maksud yang saya utarakan. Itulah salah satu episode perjuangan hidup yang harus saya jalani saat itu,” kenang Sudarsono sambil menengadahkan wajah.
Potongan kain …