Awas! Malpraktek Jurnalistik Lebih Bahaya dari Profesi Dokter

Avatar of PortalMadura.com
Awas! Malpraktek Jurnalistik Lebih Bahaya dari Profesi Dokter
Hidayaturrahman (Ist)

PortalMadura.Com, Dunia jurnalistik juga mengenal kata malpraktek yang selama ini sering didengar hanya ditujukan pada profesi dokter atau tenaga kesehatan lainnya.

Justru dinilai lebih berbahaya dibanding profesi seorang dokter. “Kalau wartawan malptaktek dengan tulisannya, korbannya bukan satu orang saja,” tegas Dosen Unija Sumenep Hidayaturrahman, pada PortalMadura.Com, Kamis (24/2/2022).

Menurut dia, bencana komunikasi akibat praktik jurnalistik tidak berjalan sesuai kaidah jurnalistik, korbannya bisa satu daerah atau wilayah, bahkan satu negara. “Kalau malpraktek seorang dokter, korbannya hanya satu dalam sesaat,” ujarnya.

Malpraktek jurnalistik itu terjadi karena wartawan tidak kompeten. Maka yang diperlukan, kata Hidayaturrahman, pendidikan wartawan minimal strata satu (S1) dan harus ada koalifikasi, misalnya menulis dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Untuk mengukur kompetensi seorang wartawan, putra kepulauan Sumenep ini juga sepakat dengan Uji Kompetensi Wartawan (UKW) yang dilakukan oleh Dewan Pers. Meski UKW bukan jaminan mutlak. “Walau pun UKW, tentu tidak menjadi jaminan 100 persen,” ungkapnya.

Euforia Demokrasi

Bagaimana dengan Sumenep yang melahirkan banyak media? “Kita masih berada pada euforia, ada kebebasan yang terbuka di ruang demokrasi pasca reformasi,” ujar Hidayaturrahman yang juga pernah terjun di dunia jurnalistik.

Dulu, kata dia, hanya ada koran dan tabloid. Saat memasuki era digital semakin tumbuh dan berkembang pesat yang namanya media daring (online). “Publik menilai media online lebih murah dan mudah sehingga siapa saja bisa ‘mendirikan‘,” katanya.

Pihaknya menilai, pada awal lahirnya reformasi, media cetak baik koran maupun tabloid dan sejenisnya juga tidak sedikit yang tidak berkualitas, karena siapa saja boleh mendirikan media. “Kondisi ini dihadapkan dengan mutu dan produk jurnalistiknya,” ujarnya.

Dalam kondisi itu, filter masyarakat harus memperbanyak literasi ilmiah dan mengonsumsi bacaan yang sehat. “Kalau bukan produk ilmiah ya produk jurnalistik [mengonsumsi] yang benar,” tandasnya.

Pemerintah juga perlu terus mendorong dalam upaya peningkatan kualitas produk jurnalistik. Sebab, bukan hanya sekedar selesai ikut UKW, tetapi tingkat pendidikan dan kualitas seseorang juga akan menentukan karya yang dihasilkan.(*)

DAPATKAN UPDATE BERITA LAINNYA DI

google news icon

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.