Begini Pendapat Akademisi UTM Saat Rupiah Tembus Rp 16.000 per USD

Avatar of PortalMadura.com
Begini Pendapat Akademisi UTM Saat Rupiah Tembus Rp 16.000 per USD
Alvin Sugeng Prasetyo, SE, M.SE

PortalMadura.Com, – Sejak wabah Coronavirus Disease 2019 () masuk ke Indonesia, nilai tukar terhadap dolar Amerika () terus melemah. Pada Selasa (24/3) pukul 09.00, terpantau berada di angka Rp 16.650 per USD.

Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Trunojoyo Madura (FEB UTM), Alvin Sugeng Prasetyo menjelaskan, depresiasi kurs rupiah terhadap dolar Amerika sangat dipengaruhi oleh kekhawatiran terhadap wabah Covid-19.

Data dari Bloomberg menyebutkan, kurs rupiah terhadap USD mengalami depresiasi yang paling tinggi. Jika pergerakan kurs rupiah terhadap USD sampai melebihi level tersebut (Rp 16.650 per USD), maka kinerja kurs rupiah terhadap USD dapat dikatakan lebih buruk dibandingkan ketika krisis moneter 1998.

Menurut Alvin, depresiasi kurs rupiah terhadap USD diakibatkan kekecewaan pasar pada sikap pemerintah Indonesia dalam hal menangani Covid-19.

“Pasar mengganggap pemerintah Indonesia telat dan lambat mencegah penyebaran Covid-19,” katanya, Selasa (24/3/2020).

Alvin menegaskan, seharusnya pemerintah Indonesia lebih siaga ketika Wuhan memberikan informasi adanya Covid-19. “Kalau sudah seperti ini, semua jadi panik, termasuk investor,” lanjutnya.

Kekecewaan pasar ditandai dengan fenomena the sudden stop of capital flows, artinya terjadi capital outflow lebih besar dari capital inflow, maka permintaan dolar yang lebih banyak, sehingga kurs rupiah/USD mengalami depresiasi.

Depresiasi kurs rupiah terhadap USD, yang paling dirugikan adalah sektor industri yang bahan bakunya bergantung pada impor. Jika bahan baku mahal, otomatis harga jual barang juga mahal.

“Kondisi ini menyebabkan barang tidak kompetitif, dan demand for export goods menurun sehingga penjualan mengalami kontraksi, karena banyak kehilangan pesanan,” jelas Alvin.

Dengan kondisi demikian, konsumen dari luar negeri akan mencari barang yang lebih murah dari negara lain.

Jika kondisi ini terus-menerus terjadi maka produsen akan menghentikan sementara produksinya. Berbeda hal jika konsumen dari luar negeri dengan tipe yang tidak mau pindah barang, meskipun mahal tetap akan dibeli, namun tetap saja konsumen kemungkinan akan mengurangi jumlah pembelian, sehingga produksi tetap dilakukan, meskipun tidak sebanyak ketika kurs rupiah terhadap USD menguat.

Secara teori, depresiasi kurs rupiah terhadap USD bila tak kunjung stabil akan mendorong harga-harga barang lebih mahal, akhirnya mendorong inflasi lebih tinggi.

Dalam hal ini kenapa depresiasi rupiah terhadap USD menyebabkan kenaikan harga barang kebutuhan pokok?. Karena inflasi di Indonesia lebih didorong oleh volatile food, kemudian barang-barang kebutuhan pokok di Indonesia itu sebagian besar diperoleh dari impor.

“Apalagi sebentar lagi memasuki Ramadan dan Idul Fitri, pasti permintaan semakin banyak. Kuncinya adalah stok kebutuhan pokok,” terang Alvin.

Jika stok dalam negeri kurang, misalnya akibat cuaca yang kurang mendukung, atau karena kondisi genting wabah Covid-19 seperti sekarang, lalu distribusi yang terlambat, dan ditambah dengan harga kebutuhan pokok yang diperoleh dari impor relatif lebih mahal, ia akan mengakibatkan depresiasi rupiah.

“Serta, jika penimbunan terus terjadi, maka akan mendorong inflasi lebih tinggi,” tambahnya.

Namun, Alvin tetap menaruh harapan optimistis akan kinerja pemerintah untuk mengamankan stok kebutuhan pokok dalam negeri jelang Ramadan.

“Tapi jika stok kebutuhan pokok dalam negeri masih aman dan penimbunan bisa dibasmi, meskipun rupiah terdepresiasi saya kira harga kebutuhan pokok tidak akan banyak terpengaruh,” tutup dosen pengampu mata kuliah ekonomi moneter internasional itu.(*)

DAPATKAN UPDATE BERITA LAINNYA DI

google news icon

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.