PortalMadura.Com, Sumenep – Salah satu seni budaya masyarakat Madura adalah tayuban (tayub) yakni tarian sinden dengan iringan musik khas berupa klenengan (gamelan) sambil nembang (kidungan).
Pertunjukan tersebut bukan hal yang sulit untuk ditonton di wilayah Madura, khususnya di pelosok desa Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur. Hampir setiap hajatan warga selalu ada pertunjukan tayub.
Bahkan menjadi menu utama untuk menyambut tamu undangan. Peran seorang gelandang (pembawa selendang dan pemandu) dinilai sangat penting dalam sajian seni tayub ini. Ia bertugas mencari tamu undangan untuk ‘dijatuhi’ selendang.
Bagi yang ‘kedapatan’ selendang, mau tidak mau harus maju untuk membawakan kidungan sambil ‘berjoget’ bersama sinden. Bagi yang tidak memiliki jiwa seni atau tidak bisa kidungan dan ‘berjoget, dapat diwakilkan kepada temannya atau menunjuk sinden lain.
Namun tidak cukup sampai di sini. Mereka yang kedapatan selendang harus mengeluarkan uang untuk saweran terhadap para sinden tersebut. Teman-teman mereka (rombongan undangan) juga ikut saweran sebagai bentuk penghormatan.
Dalam perkembangan seni tayub yang digemari masyarakat Madura ini, banyak ditemukan hal-hal yang kurang mendidik, seperti saweran dengan cara menabur uang dan bagi sebagian di antara mereka beradegan amoral.
Peristiwa tersebut sempat viral di berbagai Media Sosial (medsos) baik youtube maupun facebook, seperti dalam cuplikan video pertunjukan sinden di awal tulisan ini. Pergeseran seni budaya tayub saat ini menjadi tidak lazim bagi warga Madura yang mayoritas muslim.
Apa Seni Tayub itu?
Endy Saputro, seorang staf dari CRCS, dalam sebuah kesempatan Wednesday Forum pada tanggal 11 November 2009 mempresentasikan sebuah diskusi tentang tayub.
Endy mendiskusikan bagian kecil dari penelitiannya, mengenai sebuah seni pertunjukkan tradisional di bagian timur pula Madura, dengan judul ‘Tayub in Madura: From Rites Economy to Symbolic Power‘. Melansir dari lontar madura mengutip dari sumber crcs.ugm.ac.id.
Topik itu menarik mengingat sebuah topik agama dan kebudayaan lokal kurang mendapatkan perhatian dari para siswa CRCS untuk mempelajarinya. Dengan demikian, presentasi ini adalah bagian dari apresiasi Endy untuk menyajikan sebuah topik yang sangat terhubung erat dengan isu-isu agama dan kebudayaan lokal.
Tayub di Madura dipandang sebagai sesuatu yang minor dan penuh dengan stereotip negatif, karena Madura dan wilayah lainnya di Pulau Jawa adalah mayoritas muslim, meskipun demikian telah ada banyak beberapa sarjana yang meneliti tayub, yang pertama adalah Clifford Geertz dalam bukunya Religion of Java, di mana Geertz mengkategorikan tayub adalah bagian dari tradisi kaum abangan.
Robert Heffner di salah satu babnya Hindu Javanese, menulis tentang politik dan seni kebudayaan, di mana ia mendiskusikan tentang tayub di dalamnya. Heffner menjelaskan, tayub adalah bagian dari ritual masyarakat Hindu dan berubah ke seni kebudayaan yang populer.
Ketika Islam masuk ke wilayah Tengger, tayub dianggap sebagai tarian yang tidak Islami. Ada pula Felicia Hughes Freeland, yang menulis sebuah artikel “Tayuban: Culture on the Edge”, didasarkan pada studi lapangannya di Gunung Kidul. Felicia menemukan sebuah kesimpulan menarik, bahwa tayub juga menjadi bagian dari festival bersih desa dan menjadi arena politik dari kesultanan Yogyakarta.
Ada pula Huysen, yang melakukan penelitian di Surakarta dan menemukan bahwa orang-orang Cina sesungguhnya juga mempunyai jenis seni pertunjukkan ini sebagai ritus mereka. Ada pula banyak penelitian mengenai tayuban lainnya yang diteliti di wilayah Banyumas, Banyuwangi dan wilayah lainnya.
Dalam presentasi Endy, dia membuat sebuah hubungan antara ritual ekonomi dan kekuasaan simbol di sebuah wilayah non pesantren di Madura. Jawa Timur. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa tayub cenderung dilihat sebagai seni pertunjukan yang berubah ke arah dunia penghiburan. Sebaliknya, tayub di Madura memainkan peranan dalam mengkapitalisasikan ekonomi masyarakat lokal dan terus menjaga kekuasaan para pemimpin desa.
Endy berargumen bahwa tayub merupakan tarian yang dijadikan sebagai arena mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan. Endy melakukan penelitian di sebuah pulau kecil di bagian timur Madura yang disebut dengan Desa Gapurana. Desa ini berada di Pulau Poteran.
Di Gapurana, tayub biasanya dilakukan selama musim kemarau, diadakan tiga kali dalam satu minggu, dan selama enam bulan. Endy mengacu kepada Heffner bahwa tayub di desa ini menjadi bagian dari ritus Hindu, hal ini karena beberapa masyarakat di Gapurana masih memberikan sesaji dan peribadatan ke sekitar 22 kuburan dan tempat-tempat sakral di Pulau Poteran.
Tayub menjadi sebuah kepercayaan bagi masyarakat lokal, tapi telah terjadi perubahan di mana tayub berubah dari ritus menjadi seni hiburan. Orang yang paling berkuasa dalam prosesi tayub ini adalah pangelar (broker), di mana ia memprovokasi masyarakat untuk melakukan tayub di pesta-pesta pernikahan.
Ada pula tandak/taledhek (penari perempuan di tayub) dan juga ada Kalebun- – kepala desa — (pemimpin lokal). Orang-orang inilah yang memegang kekuasaan simbolis dalam melaksanan tayub di Gapurana.
Dalam sesi tanya jawab, ada beberapa pertanyaan dan komentar yang ditujukan pada Endy, misal, pertanyaan datang dari seorang siswa CRCS yang menanyakan apakah tayub adalah tarian tradisional asli dari Madura atau tidak, dan apa perbedaannya dengan tayub di Jawa? Bagaimana Tayub bernegosiasi dengan ajaran Islam di Madura? Madyan, seorang siswa PhD, ICRS bertanya bagaimana Endy mendefinisikan dan membedakan antara ritus dan hiburan dalam tayub? Dan bagaimana Endy membuktikan bahwa keberadaan tayub hilang karena datangnya Islam di desa ini?.
Diskusi ini menjadi lebih menarik karena sang moderator, Pak Joko juga mengetahui banyak hal tentang tayub di wilayah asalnya, Ponorogo, kemudian ia mencoba membandingkannya dengan hasil dari presentasi Endy.(*)