Oleh : Leni Puspitasari*
Pelecehan seksual bisa terjadi dimana saja, tanpa terkecuali di suatu institusi pendidikan. Berita tentang pelecehan seksual di lingkungan kampus mungkin sudah tidak asing lagi kita dengar saat ini.
Tentu hal tersebut sangat memprihatinkan, tempat yang menurut kita aman dan nyaman malah menjadi tempat terjadinya pelecehan seksual.
Perbuatan asusila tersebut dapat membekas sehingga menjadikan pendidikan sebagai tempat yang dirundung traumatik. Padahal seperti yang telah kita ketahui tempat tersebut merupakan tempat untuk membentuk karakter dan penalaran seseorang.
Lingkungan akademik yang di dominasi oleh kaum berpendidikan tinggi ternyata tidak menjamin keamanan bagi mahasiswanya. Salah satunya peristiwa yang baru-baru ini terjadi di Universitas Gunadarma, Depok.
Kasus tersebut cukup menyita perhatian publik, khususnya di media sosial. Hal tersebut dikarenakan tindakan civitas akademik yang yang main hakim sendiri dengan melangsungkan aksi persekusi terhadap seorang mahasiswa pelaku pelecehan seksual.
Banyak kontroversi muncul akibat aksi tersebut. Warganet ada yang mengaku setuju dengan tindakan tersebut, namun ada juga yang mengungkapkan ketidaksetujuannya.
Menurut mereka, jika ada hal seperti kasus pelecehan seksual, seharusnya dilaporkan ke pihak berwajib bukan bermain hakim sendiri.
Disini pelaku pelecehan seksual memang salah tetapi tindakan persekusi kepada pelaku juga tidak dapat dibenarkan.Tindakan persekusi yang dilakukan sangat tidak mencerminkan mahasiswa yang berpendidikan.
Apa yang dilakukan mahasiswa terhadap pelaku, sama saja apa yang pelaku lakukan terhadap korban. Sangat disayangkan hal yang tidak sepantasnya dilakukan oleh orang berpendidikan.
Setiap orang memiliki hak untuk dihormati, baik laki-laki maupun perempuan. Tetapi seperti yang kita ketahui tidak semua orang mempunyai kebijaksanaan dan kesadaran tentang nilai penghormatan terhadap harga diri orang lain.
Dimana terlihat di beberapa foto yang beredar di media sosial pelaku pelecehan tersebut diikat di pohon dalam keadaan telanjang, lalu terlihat juga ada mahasiswa yang mencekoki pelaku dengan air kencing. Pelaku dikerumuni di ruang publik.
Tindakan tersebut dikhawatirkan akan menimbulkan dendam di hati pelaku. Bahkan, pelaku bisa saja melakukan kekerasan seksual dengan cara lain suatu saat nanti. Hal ini muncul karena lemahnya sistem pengawasan, rendahnya nilai pendidikan seksual, hingga tidak adanya kepedulian dan kepastian hukum yang berpihak untuk melindungi korban.
Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 yang hadir sebagai langkah awal untuk menanggapi keresahan mahasiswa, dosen, pimpinan perguruan tinggi, dan masyarakat tentang meningkatnya kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi belum dijalankan. Padahal UU tersebut di keluarkan untuk melindungi mahasiswa.
Upaya yang harus dilakukan oleh pihak kampus adalah memberikan sanksi yang tegas terhadap pelaku pelecehan seksual, menyediakan layanan pelaporan kekerasan seksual, serta melakukan sosialisasi secara berkala terkait pedoman pencegahan kekerasan seksual di lingkup kampus. Dengan begitu kampus kembali menjadi tempat yang aman.(**)
*Penulis: Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang
div>