Opini  

Frasa Politik Yang Merendahkan Rakyat

Avatar of PortalMadura.Com
Frasa Politik Yang Merendahkan Rakyat
Ilustrasi

Catatan ini untuk membuktikan bahwa saya, nyaris setiap hari, bertemu dengan hal-hal yang besar. Kadang, pertemuan itu tampak sederhana. Seakan tidak memberi kesan apa-apa. Namun, jika ditelaah, seringkali isinya luar biasa.

Misalnya, saat rehat di sekretariat, saya hanya berniat rebahan di atas meja bundar, di kamar belakang. Tidak jauh, di depan saya, ada seorang kawan yang sedang mengoprasikan komputer.

Saat itu, karena saking sederhananya, saya lupa kalimat apa yang sempat saya utarakan. Namun, yang paling saya ingat, adalah ajakan dari kawan saya untuk menjawab satu pertanyaan: kenapa musti ada frasa turun ke rakyat?

Awalnya, saya sempat bingung. Apa salahnya dari frasa turun ke rakyat? Setiap tahun politik, bukankah frasa itu lumrah diucapkan? Foto, narasi dan ungkapan, biasanya kan sering bertebaran?

Pikiran saya, untuk beberapa saat, merasa tidak ada yang janggal dengan frasa itu. Biasa-biasa saja. Namun, tidak lama kemudian, saya menangkap maksud yang ingin kawan saya sampaikan.

Ternyata, frasa turun ke rakyat, memberi kesan bahwa dalam strata politik, rakyat tetap berada paling bawah. Setiap pesta politik dilaksanakan, rakyat tetaplah babu yang mudah dikorbankan, di kambing hitamkan. Bahkan, jika perlu, rakyat dijadikan tumbal untuk menutup bejatkan kerja kekuasaan.

Seawam yang saya tahu, tidak pernah ada politisi yang menyatakan frasa ingin naik ke rakyat. Terlebih saat mereka bertemu dengan rakyat. Selucu dan sengibul apapun, tidak pernah ada politisi yang menyatakan siap naik ke rakyat. Tidak pernah.

Frasa turun ke rakyat membuktikan bahwa para politisi tidak ingin sejajar dengan rakyat. Apalagi lebih rendah. Secara politik, mereka bersikeras ingin dianggap sebagai pemainnya, dan rakyat adalah korbannya.

Di samping itu, jika ditelaah, frasa turun ke rakyat sungguh melukai hati dan mengandung kontradiksi. Misalnya, para politisi selalu mengatakan bahwa puncak kekuasaan ada ditangan rakyat.

Semuanya, tanpa rasa berdosa, selalu berapi-api membawa sekian janji dan alibi. Dan saat mereka “naik”, seringkali enggan untuk turun lagi. Ini bukti bahwa rakyat berada di strata politik terendah dan tidak berhak mendapatkan peduli. Kesan empati semata-mata hanya untuk mendustai.

Terakhir, saya mulai percaya bahwa politik memang bukan untuk rakyat. Politik hanyalah ilusi para politisi untuk mengibuli. Politik hanyalah alat untuk memeras rakyat dengan kedok simpati. Meski telah mencuri dan merampas hak rakyat berkali-kali, para politisi tetap senang untuk turun ke rakyat lagi. Dan rakyat tetap jadi sapi perahan untuk kesekian kali.

Nur Khalis, Jurnalis muda asal Sumenep

Ganding, 12 Januari 2024

DAPATKAN UPDATE BERITA LAINNYA DI

google news icon

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.