Implikasi Hukum Putusan MK Yang Melanggar Hukum Acara

Avatar of PortalMadura.Com
Implikasi Hukum Putusan MK Yang Melanggar Hukum Acara
Ilustrasi (Ist)

(Studi Kasus Putusan No. 02-10/PHPU/DPR-DPRD/XII/2014)

Oleh : Zainal Arifin, SH
(Komisioner KPU Bangkalan)

Empat kali dilakukan perubahan Undang-undang Dasar 1945 mengakibatkan perubahan besar dalam hukum maupun ketata negaraan di Indonesia. Misalnya tentang HAM, kekuasaan kehakiman, wewenang, fungsi dan tugas Presiden dan wakil preseden, MPR, DPR, DPRD dan DPD, pembubaran dan pembentukan Lembaga Negara, dan lain-lain. Termasuk didalamnya tentang Mahkamah Konstitusi.

Perubahan ke 3 Undang – undang Dasar 1945 menjadi awal keberadaan Mahkanah Konstitusi di Indonesia. Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C, dan Pasal 7B Undang-Undang Dasar 1945 hasil Perubahan Ketiga yang disahkan pada 9 Nopember2001 adalah dasar dibentuknya suatu Mahkamah konstitusi.

Mahkamah Konstitusi dibentuk dengan tujuan memberikan perlindungan terhadap hak-hak konstitusional warga negara dan semangat penegakan konstitusi sebagai yang artinya segala peraturan perundang-undangan yang berada dibawahnya tidak boleh bertentangan dengan apa yang sudah diatur dalam konstitusi. Maka dari itu kemudian kewenangan utama dari Mahkamah Konstitusi adalah untuk menguji Undang-undang terhadap UUD 1945.

Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK dibentuk sebagai sebuah lembaga Negara yang mengawal dan menafsirkan Undang – undang Dasar 1945 yang selanjutnya disebut UUD 1945. Penafsiran MK terhadap UUD 1945 diwujudkan dalam bentuk Putusan Mahkamah Konstitusi.

Pasal 24 C Ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang- Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang- Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Selain wewenang yang diberikan UUD 1945 MK juga mempunyai kewenangan lain menurut Undang-undang, misalnya memeriksa dan memutus sengketa hasil pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati dan walikota dan wakil wali kota.

Didalam penjelasan umum UU Mahkamah Konstitusi dijelaskan sejalan dengan prinsip ketatanegaraan di atas maka salah satu substansi penting perubahan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara yang berfungsi menangani perkara tertentu di bidang ketatanegaraan, dalam rangka menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi.

Keberadaan Mahkamah Konstitusi sekaligus untuk menjaga terselenggaranya pemerintahan negara yang stabil, dan juga merupakan koreksi terhadap pengalaman kehidupan ketatanegaraan di masa lalu yang ditimbulkan oleh tafsir ganda terhadap konstitusi.

MK sebagai suatu Mahkamah Konstitusi merupakan bagian dari lingkup kekuasaan kehakiman. Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 berbunyi: Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

Berdasarkan pasal tersebut MK merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kekuasaan kehakiman. Fungsi konstitusionalitas atau penafsir konstitusi yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi adalah fungsi peradilan untuk menegakkan hukum dan keadilan. Sebagaimana disebutkan dalam penjelasan umum UU MK yaitu:

Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman, di samping Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hal ini berarti Mahkamah Konstitusi terikat pada prinsip umum penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lembaga lainnya dalam menegakkan hukum dan keadilan.

MK adalah peradilan tingkat pertama dan terakhir, yang putusannya bersifat Final. Pasal 24 C ayat (1) UUD 1945 dan pasal 10 ayat (1) Undang- undang MK dengan tegas menyebutkan: Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji UU terhadap Undang- Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang- Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Berdasarkan pasal tersebut maka tidak ada upaya hukum apapun atas putusan yang telah dikeluarkan oleh MK.

yang bersifat final sesuai dengan prinsip atau asas dari peradilan yaitu cepat, biaya murah, serta kepastian hukum. Kepastian hukum yang dimaksud adalah sejak putusan MK dibacakan maka putusan tersebut langsung bersifat mengikat dan berkekuatan hukum tetap sesuai dengan amar dalam putusan MK tersebut.

Sejak MK dibentuk pada tahun 2003 sudah begitu banyak putusan yang dikeluarkan, misalnya putusan tentang pengujian Undang- undang terhadap UUD 1945, perselisihan hasil pemilihan dewan perwakilan rakyat, dewan perwakilan daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah, perselisihan hasil pemilan umum Presiden dan wakil presiden, serta sengketa hasil pemilihan kepala daerah. Hanya sengketa kewenangan antar lembaga Negara yang belum pernah disidangkan di MK.

Sebagaimana yang disebutkan diatas bahwa MK adalah peradilan pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final. Sifat final terhadap putusan tersebut menunjukkan bahwa tidak ada upaya hukum bagi para pihak yang bersengketa baik para pihak merasa tidak puas atau bahkan merasa dirugikan terhadap putusan yang telah dikeluarkan oleh MK. Sifat mengikat yang dimaksud adalah tidak hanya berlaku terhadap para pihak yang berperkara, akan tetapi juga berlaku dan mengikat terhadap seluruh rakyat Indonesia.

Putusan yang bersifat final tersebut adalah keistimewaan dari MK sebagai Mahkamah yang berwenang untuk menjaga kewibawaan Konstitusi atau dengan kata lain sebagai pengawal konstitusi. Sifat final terhadap putusan MK tidak sama seperti sifat final pada putusan badan atau lembaga lain yang diberi kewenangan oleh Undang-undang misalnya Putusan BPSK, Komisi informasi dan lain-lain.

Jika putusan MK sudah tidak ada upaya hukum lagi, akan tetapi jika lembaga atau badan lain masih mempunyai kesempatan untuk melakukan upaya hukum, misalnya putusan BPSK. Putusan BPSK bersifat final, akan tetapi para pihak yang bersengketa jika tidak puas terhadap putusan yang telah dikeluarkan oleh BPSK masih mempunyai kesempatan untuk mendapatkan keadilan yaitu mengajukan keberatan melalui Pengadilan Negeri, atau Putusan Komisi Informasi para pihak juga masih mempunyai hak untuk mengajukan keberatan melalui Pengadilan Negeri ataupun Pengadilan Tata Usaha Negara.

Akan menjadi persoalan hukum jika putusan MK yang bersifat final tersebut terjadi kesalahan prosedur persidangan di MK. Jika dari sisi material merupakan kewenangan MK untuk memberikan penilaian terhadap suatu permohonan atau perkara akan tetapi jika kesalahan yang dimaksud adalah dari sisi formil atau hukum acara di MK. Sebagaimana diketahui bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat artinya putusan telah dibacakan tidak ada upaya hukum.

Hukum Acara MK dengan tegas diatur dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstutusi pasal 28 s. 85 serta dalam Peraturan Mahkamah konstitusi khususnya yang mengatur tentang hukum acara perselisihan hasil pemilihan umum DPR, DPD dan DPRD yaitu PMK Nomor 16 Tahun 2009 tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Contoh kasus persoalan hukum akibat kesalahan atau kekeliruan MK dari sisi hukum acara adalah perkara/ putusan no 02-10/PHPU/DPR-DPRDXII/2014.

Pemohon telah melakukan pencabutan terhadap permohonannya dan teregister di kepaniteraan MK dengan nomor 371/PAN.MK/V/2014 serta permohonan pencabutan sebagai mana disebutkan diatas dibacakan didalam persidangan dan tidak ada agenda acara persidangan perkara tersebut berikutnya, seperti jawaban Termohon, pembuktian, dan lain sebagainya. Akan tetapi MK dalam putusannya didalam perkembangan hukumnya tetap memasukkan dalil – dalil permohonan pemohon, sehingga dalam amar putusanya majelis hakim MK mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya. (pencabutan tertanggal 23 mei 2014, tanda terima di MK 24 Mei 2018, putusan 30 juni 2104).

Putusan MK yang disebutkan diatas bertentangan dengan pasal 35 Undang – undang MK yang berbunyi :

1) Pemohon dapat menarik kembali permohonan sebelum atau selama pemeriksaan Mahkamah Konstitusi dilakukan.
2) Penarikan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan permohonan tidak dapat diajukan kembali.

Berdasarkan pasal 35 Undang – undang MK tersebut, ada persoalan hukum yang diakibatkan oleh putusan MK. Disatu sisi Putusan MK bersifat final disisi yang lain ada hak warga Negara dalam hal ini para pihak yang berperkara dilanggar atau tidak dipenuhi, misalnya hak untuk mencabut permohonannya maupun hak untuk mendapatkan keadilan didepan hukum.(*)

DAPATKAN UPDATE BERITA LAINNYA DI

google news icon

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.