Jejak Wanita Nariswari di Keraton Batuputih Sumenep

Avatar of PortalMadura.com

PortalMadura.Com, – Sosok wanita ‘bersinar cemerlang wangi semerbak‘ dan memiliki keistimewaan tersendiri atau yang disebut wanita nariswari pernah berada di , Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur.

Wanita itu bernama []. Wanita ini adalah putri dari Prabu Kertanegara (raja terakhir Singhasari). Menurut prasasti Balawi dan Nagarakretagama, Tribhuwaneswari adalah istri tertua dari 4 istri Dyah Wijaya.

Raden Wijaya atau Dyah Wijaya merupakan pendiri dan raja pertama Kerajaan Majapahit yang memerintah pada tahun 1293-1309 masehi, bergelar Sri Kertarajasa Jayawardana atau Nararya Sanggramawijaya Sri Maharaja Kertarajasa Jayawardhana.

Salah seorang sejarawan dan budayawan Sumenep Tadjul Arifin R menjelaskan, kedatangan Tribhuwaneswari ke Keraton Batuputih adalah ikut suaminya Dyah Wijaya yang hendak berkunjung ke Arya Wiraraja.

Dyah Wijaya dan istrinya Tribhuwaneswari datang ke Keraton Batuputih sebelum Kerajaan Majapahit berdiri atau pada tahun 1292 masehi.

Tadjul Arifin menyebutkan, Dyah Wijaya dan istrinya datang ke Keraton Batuputih dengan pengawalan 10 orang pasukan melewati daerah persawahan. “Lahan sawah yang luas itu masuk Desa Aeng Merah,” ujar Tadjul Arifin pada PortalMadura.Com, Jumat (27/5/2022).

Dikala rombongan Dyah Wijaya beristirahat yang diperkirakan di pematang sawah, saat ini masuk wilayah Desa Aeng Merah, Kecamatan Batuputih, salah satu abdi setianya Lembu Sora tidur terlentang.

Tubuh Lembu Sora rela untuk dijadikan tempat duduk Dyah Wijaya dengan istrinya Tribuaneswari.

Bahkan, pada Kidung Panji Wijayakrama disebutkan, Lembu Sora rela menggendong istri Dyah Wijaya saat menyeberangi sungai dan rawa-rawa.

Dan pada kitab lain disebutkan, bahwa Lembu Sora adalah putra Arya Wiraraja.

Tadjul yang juga banyak merujuk pada Prasasti Kudadu tahun 1216 saka atau 1294 masehi dan Pararaton menjelaskan, Tribhuwaneswari ada di Keraton Batuputih selama 1 tahun atau sampai Kerajaan Majapahit berdiri tahun 1293 masehi.

Sedangkan Dyah Wijaya, meninggalkan Keraton Batuputih untuk mengabdi kepada Jayakatwang yang sedang berkuasa di Daha.

Hal tersebut dilakukan Dyah Wijaya atas saran dan strategi Arya Wiraraja. Dalam Serat Pararaton, kata Tadjul, dikenal dengan perjanjian Songennep atau perjanjian Sigar Semangka.

Selama 1 tahun di Keraton Batuputih, Tribhuwaneswari tentu membutuhkan air yang cukup untuk kelangsungan hidup bersama keluarga besar Keraton Batuputih.

Tadjul menyebutkan, bahwa sosok wanita nariswari itu memanfaatkan sumber Benusan. Kini, lokasinya di Pasar Benusan, Desa Batuputih Laok dengan jarak sekitar 3,5 Km dari Keraton Batuputih ke arah selatan.

“Air itu kebutuhan pokok. Tentu yang namanya keraton pasti tak jauh dari mata air,” ujarnya.

Mata air yang lokasinya berdekatan, di antaranya sumber Berombak. Lokasinya di sebalah barat lapangan karapan sapi Renteng, Desa Batuputih Laok.

Mata air yang jaraknya berdekatan adalah sumber Jarango. Lokasinya ke utara dari sumber Omba' dan juga ada sumber Tombet masuk kawasan perbatasan Desa Batuputih Laok dan Batuputih Kenek.

Saat ini, sejumlah mata air tersebut dimanfaatkan untuk kebutuhan sehari-hari oleh warga sekitar serta untuk mengairi lahan pertanian.

Kisah lain tentang kehidupan Tribhuwaneswari selama di Keraton Batuputih yang terletak di Dusun Buras, Desa Batuputih Daya, Kecamatan Batuputih, Sumenep akan disajikan terpisah dari ulasan ini.

Saat ini, Tadjul Arifin sedang mengumpulkan sisa-sisa situs bersejarah yang dilakukan sejak tahun 1999-2022. Usaha itu, untuk melengkapi sebuah buku yang sedang digarap berjudul “Kajian History dan Mitologi Dinasti Arya Wiraraja, Menuju Puncak Kemegahan Kerajaan Majapahit“.(*)

DAPATKAN UPDATE BERITA LAINNYA DI

google news icon

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.