Karapan Sapi, Menjaga Tradisi dan Ajang Silaturahmi Warga Batuputih

Avatar of PortalMadura.Com

PortalMadura.Com, Sumenep – Karapan sapi yang menyajikan antraksi budaya dan terlahir dari masyarakat petani tetap terjaga dan dipelihara kelestariannya.

Hal ini terlihat pada Selasa siang (13/11/2023). Puluhan pasang sapi jantan berkumpul di lapangan rakyat Desa Gedang-Gedang, Kecamatan Batuputih, Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur.

Dengan iringan musik tradisional saronen dan orkes gamelan khas Madura, sapi-sapi itu diarak memasuki dan mengelilingi arena pacuan. Melemaskan otot-otot sekaligus memamerkan keindahan pakaian (ambhin) dan aksesoris yang beraneka warna.

Seusai parade, pakaian dan seluruh aksesoris dilepas. Kecuali hiasan kepala (obet) yang berfungsi memberikan rasa percaya diri dan keperkasaan sapi jantan. Setelah itu, pacuan sapi pun dilakukan, tapi tidak ada kalah dan menang.

“Ini bukan perlombaan pacuan sapi yang mencari pemenang, tapi tradisi karapan sapi di kampung sebagai ajang silaturrahmi sesama pecinta dan pemilik karapan sapi yang setiap tahun digelar,” kata Tamyis, salah seorang tokoh pecinta dan pemilik karapan sapi Desa Gedang-Gedang.

Karapan Sapi, Menjaga Tradisi dan Ajang Silaturahmi Warga Batuputih
Penari sinden di arena karapan sapi mendapatkan saweran (portalmadura.com)

Karapan sapi di kampung ini benar-benar menunjukkan kebersamaan dan penuh persaudaraan. Mereka datang dan berkumpul di satu lapangan dengan iringan musik tradisional soronen. Pihak panitia menyediakan orkes gamelan khas Madura dan sinden atau umumnya disebut klenengan.

Yang membedakan dengan karapan sapi yang mencari pemenang, yakni didahului dengan sejumlah pasang sapi diarak di sepanjang lapangan sambil diiringi musik saronen. Pemilik sapi, keluarga, famili dan sahabatnya ikut dibelakangnya sambil berjoget ria.

Sejumlah sinden dari grup gamelan dan putri-putri cantik dari grup musik saronen ada di depan sapi dengan menunjukkan tarian kreasi masing-masing. Gerakan gemulai penari dan alunan musik dengan tembang-tembang Madura atau paparekan (papareghan) menghiasi kebersamaan pecinta dan pemilik sapi karapan.

Tak jarang di antara mereka yang memberikan bunga-bunga sosial dalam bentuk saweran bagi sang penari. Tujuannya sebagai wujud syukur karena telah dipertemukan kembali dalam setahun sekali pada ajang karapan sapi yang merupakan budaya leluhur.

Arak-arakan sapi itu berhenti sejenak di tengah lapangan pacuan. Setiap pasang sapi diberi nama dan disampaikan maksud dan tujuan oleh pemiliknya, misalnya sebagai wujud pangestoh (penghormatan). Momen itu umumnya disebut ‘Lok Alok’ atau gambaran dari kebanggaan mereka.

Untuk mengetahui kecepatan lari sapi, balapan pun dilakukan. Persatu pasang sapi di lepas dari garis start dengan panjang lapangan 200 meter. Ada yang larinya cepat dan lurus, ada juga yang lambat berbelok-belok. Bahkan, ada sapi hendak menerobos pagar pembatas samping kanan dan kiri.

Karapan Sapi, Menjaga Tradisi dan Ajang Silaturahmi Warga Batuputih
Karapan sapi di lapangan rakyat Desa Gedang-Gedang, Kecamatan Batuputih, Sumenep (portalmadura.com)

Di tengah terik matahri dan lapangan kering, debu nampak membumbung tinggi. Sepasang sapi yang mengenakan kaleles sebagai sarana pelengkap untuk dinaiki tukang tongkok (joki) melaju kencang. Kaleles beberapa kali terlihat melayang ke udara sementara si joki berusaha mengendalikan dan menunjukkan kelihaiannya.

Sorak sorai penonton dan panitia yang mengenakan pengeras suara menambah semarak karapan sapi. Sisi lain, penonton juga dalam posisi siaga jika ada sapi yang hendak menerobos pagar pembatas.

Sejumlah anak-anak atau pemuda memilih tempat lebih aman yakni dengan cara memanjat pohon di samping lapangan pacuan sapi sehingga mereka dapat menonton karapan sapi dengan leluasa dari atas pohon. Pihak panitia terus menerus mengingatkan agar tetap berhati-hati dan menjaga kebersamaan dan kerukunan.

Pada momentum karapan sapi yang tidak mencari menang ini, setiap pasang sapi diberi kesempatan dua kali untuk dibalap. Para joki mendapatkan upah Rp100 ribu hingga Rp150 ribu dalam dua kali menaiki balapan sapi tersebut. Setiap pasang sapi juga mendapatkan waktu sekali untuk diarak dalam proses ‘Lok Alok’.

Berbagai sumber menyebutkan, karapan sapi tidak lepas dari peranan Kiai Pratanu, yang menyebarkan Islam dengan sarana karapan sapi pada akhir abad ke-16. Cerita tutur mengaitkan dengan Syekh Ahmad Baidawi (Pangeran Katandur), adalah mubaligh dari Kudus, pada abad ke-17. Sembari menyebarkan agama Islam, dia mengajarkan cara bercocok tanam sehingga hasil panen melimpah.

Sebagai ungkapan rasa syukur, diadakanlah hari-hari persahabatan (berkirabah) dengan melaksanakan pacuan sapi. Dari bahasa Arab kirabah ini kemudian menjadi karapan.

Terlepas dari berbagai versi, pacuan sapi kemudian menjadi atraksi budaya yang digemari masyarakat. Namun, menurut Sumintarsih dalam “Makna Sapi Kerapan Dari Perspektif Orang Madura: Kajian Sosial Ekonomi dan Budaya”, dimuat buku Kearifan Lokal, bahwa karapan sapi mulai berubah pada 1970-an.

Fungsinya bergeser dari tujuan awal sebagai hiburan, alat berkomunikasi, dan penanda awal tanam. Pelaksanaan karapan sapi mulai diorganisir. Sapi kerap menjadi penanda status seseorang.

Karapan sapi terdiri dari beberapa macam; kerap keni’ (kerapan kecil), kerap raja (kerapan besar), kerap onjangan (kerapan undangan), kerap karesidenan (kerapan tingkat karesidenan), dan kerap jar-jaran (kerapan latihan).(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.