PortalMadura.Com, Jakarta – Komisi Nasional Perempuan mencatat ada sebanyak 1.204 aduan yang masuk hingga November 2017. Koordinator Pemantauan Komnas Perempuan Dwi Ayu Kartika menyebut selama 10 tahun terakhir, pola aduan kasus kekerasan yang diterima lembaganya terbilang konsisten.
“Angka tertinggi yang diadukan pasti kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Baik yang diadukan ke Komnas Perempuan ataupun data nasional, sama-sama menunjukkan kekerasan pada istri selalu paling tinggi,” kata Dwi di Jakarta, Selasa (23/1/2018), dilansir Anadolu Agency.
Di tempat kedua, kasus kekerasan dalam relasi personal (KDRP) juga masih tinggi dalam satu dekade terakhir. Hanya saja, kata Dwi, muncul satu ciri yang melekat dengan aduan untuk kasus ini.
“Yang khas tahun 2017 adalah angka cybercrime terkait KDRP. Biasanya dilakukan dalam bentuk revenge porn yang sengaja diviralkan,” jelas Dwi.
Adapun di tempat ketiga aduan yang paling banyak dilaporkan adalah terkait kasus kekerasan terhadap anak perempuan yang dilakukan oleh orang terdekat atau keluarga.
Meski begitu, kata Dwi, jumlah ribuan aduan yang masuk ke Komnas Perempuan tidak murni berbentuk kasus.
“Masyarakat yang mempertanyakan apakah mereka mengalami kekerasan atau tidak, berkonsultasi atau minta informasi, juga kami masukkan sebagai aduan. Artinya kategori aduan tidak selalu murni kasus,” sebut Dwi.
Walau angka KDRT masih mendominasi di urutan atas, Ketua Komnas Perempuan Azriana menyebut kekerasan terhadap perempuan dalam konteks pelanggaran HAM masa lalu, konflik dan bencana menjadi masalah utama dari tujuh isu kritis yang terus diawasi lembaganya.
Dalam Laporan Tahunan Komnas Perempuan, Azriana menyebut, catatan terparah dalam pelanggaran hak asasi manusia itu terjadi ketika pertemuan penyintas 65/66 digelar di LBH Jakarta. Kala itu, korban perempuan lansia terlantar di halaman luar gedung.
“Komnas Perempuan melihat ada penyebaran kebencian, stigmatisasi pada korban, upaya penyangkalan dan penyempitan demokrasi yang semakin serius di publik, termasuk menguatnya impunitas para pelaku,” kata Azriana.
Komnas Perempuan menilai deretan pelanggaran itu tidak hanya dialami dalam kasus ’65, namun juga konflik-konflik sosial lainya. Azriana bahkan menyebut, hingga saat ini negara belum memberikan pengakuan akan adanya tindak perkosaan terhadap banyak perempuan dalam berbagai konteks konflik.(AA)