Opini  

Launching UHC di Bangkalan, Siapa yang Diuntungkan?

Avatar of PortalMadura.com
Launching UHC di Bangkalan, Siapa yang Diuntungkan?
(Istimewa for @portalmadura.com)

Oleh : Ima Khusi*

Penerapan jaminan kesehatan semesta atau Universal HealthCoverge () rencananya akan di-lauching pemerintah pada tanggal 24 Oktober 2022. Akan tetapi syarat 95 persen dari total penduduk terdaftar sebagai peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) belum terpenuhi. Sehingga penerapan program cakupan jaminan kesehatan semesta itu terkesan dipaksakan.

R. Abdul Latif Amin Imron atau Ra Latif telah mendeklarasikan program UHC atau Jaminan Kesehatan Semesta itu pada Selasa, 18 Oktober 2022, bertempat di Pendopo0 Agung, Bangkalan Kota. Dan menyediakan anggaran sebesar Rp51 miliar hingga akhir tahun 2022 ini.

Menurut beliau pelayanan program UHC diberikan tanpa memandang status dan cakupan program kesehatan universal ini hanya menyasar warga yang tidak tercakup dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), bukan peserta Pekerja Penerima Upah (PPU), dan yang penting mereka bersedia dilayani dan didaftarkan sebagai peserta JKN melalui Kesehatan di kelas III.

Dari sini terlihat jelas bagaimana keseriusan pemerintah dalam memberikan pelayanan kesehatan secara gratis wajib dipertanyakan. Karena kalau memang pemerintah benar-benar ingin memberikan pelayanan kesehatan secara gratis, seharusnya tidak perlu ada syarat yang harus dipenuhi.

Lantas apa sebenarnya UHC ini?

Universal HealthCoverage (UHC) adalah sistem jaminan kesehatan untuk memastikan setiap warga dalam populasi mendapat dan memiliki akses yang adil dengan biaya terjangkau, terhadap pelayanan kesehatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif, bermutu.

WHO mengingatkan bahwa UHC bukanlah jaminan kesehatan tak terbatas atau pengobatan gratis. Bukan tentang pembiayaan kesehatan, biaya layanan kesehatan dasar minimal, namun mencakup pengelolaan semua komponen sistem kesehatan dan harus meningkatkan cakupan pada saat sumber daya sudah makin baik.

UHC juga bukan hanya mencakup kesehatan perorangan dan bukan hanya mengenai peningkatan kesehatan, namun mengupayakan kesehatan masyarakat termasuk promosi kesehatan, penyediaan air bersih, pengendalian nyamuk, dan langkah menuju ekuiti, prioritasi pembangunan, serta inklusi dan kohesi sosial. (CID).

Pada dasarnya program UHC ini adalah respon dari mandat WHO yang ingin memastikan seluruh rakyat negara yang tergabung dalam PBB punya akses ke pelayanan kesehatan. Dan di Indonesia program UHC ini lahir melalui BPJS, dan dana penyelenggaraan UHC di serahkan kepada daerah masing-masing karena adanya otonomi daerah.
Akhirnya agar bisa mengakses UHC, BPJS memberikan syarat yaitu minimal 95 persen masyarakat daerah harus menjadi peserta BPJS. Sehingga Pemkab melalui berbagai cara mengiring warganya untuk segera menjadi anggota BPJS.

Siapakah yang diuntungkan?

Selama ini BPJS selalu mengeluh rugi karena banyak peserta yang nunggak iuran. Melalui UHC, BPJS diuntungkan karena dana dicover oleh pemerintah. Dari sini jelas bahwa yang akan mendapatkan keuntungan besar dari program ini adalah BPJS.

Sementara pelayanan yang diberikan sangat minimalis, yaitu kelas 3. Rakyat dijanjikan berobat gratis dan berbagai kemudahan melalui UHC, sementara sarana prasarana serta jumlah nakes tidak diperbaiki. Yang terjadi nantinya dikhawatirkan malah membludaknya pasien sehingga nakes dibebani beban kerja yang tidak manusiawi.
Di sisi lain faskes juga terikat dengan aturan BPJS dalam memberikan pelayanan, sehingga janji kemudahan dan gratis ini bisa berbeda prakteknya di lapangan.

Ini menunjukkan lepas tangannya pemerintah dalam memberikan pelayanan kesehatan yang layak untuk rakyatnya. Dan justru memberikan keuntungan kepada swasta.

Hal ini tentu sudah bukan persoalan baru dan menjadi wajar di saat sistem yang mengatur adalah sistem kapitalis, dimana sistem ini mengatur setiap persoalan berdasarkan untung dan rugi, pengurusan rakyat juga bukan lagi sebagai tanggung jawab melainkan sebagai beban yang harus segera dibuang.

Lantas bagaimana seharusnya?

Kebutuhan akan pelayanan kesehatan sebenarnya adalah kebutuhan dasar masyarakat. Dan seharusnya masyarakat mendapatkannya secara gratis dan tidak dibebankan biaya apa pun. Dan hal ini menjadi hal yang mustahil didapatkan di sistem kapitalis seperti saat ini.

Dalam Islam pemenuhan pelayanan kesehatan masyarakat ini menjadi kewajiban negara. Seluruh fasilitas publik termasuk klinik dan rumah sakit adalah fasilitas yang dibutuhkan masyarakat untuk berobat dan untuk mendapat layanan kesehatan. Kedua hal ini yaitu pengobatan dan layanan kesehatan adalah hal yang dapat memberikan maslahat dan merupakan fasilitas publik. Sehingga hal ini menjadi wajib bagi negara untuk memenuhinya karena merupakan bagian dari kewajiban untuk meriayah negara.

Pelayanan kesehatan gratis diberikan dan menjadi hak setiap individu rakyat sesuai kebutuhan layanan kesehatannnya tanpa memperhatikan tingkat ekonominya. Karena pelayanan kesehatan dan pengobatan termasuk kebutuhan dasar bagi rakyat yang wajib disediakan oleh negara secara gratis dan untuk orang-orang yang memerlukannya.

Tentunya layanan kesehatan yang diberikan gratis pada rakyat ini membutuh dana besar. Dan untuk bisa memenuhi kebutuhan dana tersebut dapat diambil dari sumber-sumber pemasukan negara yang telah ditentukan syariah. Seperti minyak dan gas, hasil pengelolaan harta kekayaan umum termasuk hutan, macam-macam tambang dan sebagainya. Juga bisa dari sumber lain seperti jizyah, ghanimah, usyur, fa'i, kharaj, pengelolaan harta milik negara dan lain-lain. Sehingga semua sumber kekayaan negara ini lebih dari cukup membuat negara dapat memberikan pelayanan gratis dan memadai untuk seluruh rakyat.(**)

*Pengirim : Pemerhati Publik (Pendidikan Diploma Informatika)

DAPATKAN UPDATE BERITA LAINNYA DI

google news icon

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.