PortalMadura.com – Manusia modern selalu berada dalam situasi menunggu. Setiap hari, kita menunggu, entah dalam antrean kasir di supermarket, di depan layar smartphone saat sinyal internet terputus, atau di tengah kemacetan saat jalanan macet tanpa ampun. Namun, menunggu, dalam spektrum yang lebih luas, tidak pernah sederhana. Dalam setiap menunggu, tersembunyi kecemasan-kecemasan yang berlipat ganda, yang terkadang begitu absurd dan membuat kita terjebak dalam pikiran kita sendiri, tersandera oleh ekspektasi dan ketakutan.
Bukan hal baru jika kecemasan adalah bayang-bayang dari menunggu. Seperti yang diungkapkan oleh filsuf Prancis Simone Weil, “Semua kejahatan yang kita lakukan, kita lakukan karena ketidakmampuan kita untuk menunggu.” Weil tidak berbicara tentang menunggu sebagai aktivitas pasif yang tak berarti, tetapi sebagai ujian jiwa manusia dalam menghadapi kekosongan, dalam menghadapi ketidakpastian. Menunggu adalah ruang hampa yang menguji kapasitas kita untuk menghadapi diri sendiri, dan sering kali kecemasan yang muncul lebih banyak berasal dari dalam diri kita daripada dari luar.
Menunggu Sebagai Cerminan Diri
Kita sering kali melihat menunggu sebagai jeda yang dipaksakan, sebuah waktu yang harus “dilewati” sebelum mencapai tujuan kita. Namun, jika kita berhenti sejenak dan merenungkan pengalaman menunggu, kita akan menyadari bahwa menunggu adalah cermin dari kondisi eksistensial manusia itu sendiri. Sebagaimana dalam teater absurd Samuel Beckett, Waiting for Godot, di mana dua karakter utama, Vladimir dan Estragon, terus-menerus menunggu seorang pria bernama Godot yang tak kunjung datang. Menunggu, dalam konteks Beckett, adalah metafora dari keberadaan manusia yang absurd—kita terus-menerus mencari makna, tujuan, dan kepastian, tetapi sering kali hanya dihadapkan pada kehampaan.
Beckett seakan ingin menunjukkan bahwa kehidupan kita sendiri tidak lebih dari serangkaian menunggu yang penuh dengan harapan yang tidak selalu terealisasi. Kita menunggu pekerjaan yang lebih baik, pasangan hidup yang ideal, atau perubahan sosial-politik yang signifikan. Namun, semakin lama kita menunggu, semakin besar pula kecemasan yang muncul. Akankah semua ini benar-benar terjadi? Atau, seperti halnya Godot, hanya ilusi yang tidak pernah datang?
Dalam konteks sosial-politik, menunggu bisa menjadi bentuk pasif dari ketidakberdayaan. Kita menunggu perubahan, menunggu pemimpin yang berjanji untuk memperbaiki kehidupan kita, menunggu keputusan dari para elite yang mempengaruhi nasib kita. Dalam waktu yang bersamaan, kecemasan sosial-politik pun tumbuh subur, seiring dengan rasa ketidakpastian tentang masa depan. Dalam dunia yang semakin terfragmentasi, di mana informasi mengalir begitu cepat namun sering kali tidak membawa solusi, menunggu bisa terasa seperti hukuman yang tidak berkesudahan.
Kecemasan Sebagai Gejala Budaya
Di era informasi, kita dibanjiri oleh data, kabar buruk, rumor, dan analisis yang sering kali saling bertentangan. Di sini, kecemasan bukan lagi sekadar pengalaman psikologis individual, tetapi telah menjadi gejala budaya. Seperti yang diungkapkan oleh sosiolog Jerman, Ulrich Beck, dalam bukunya Risk Society, masyarakat modern adalah masyarakat yang hidup di bawah bayang-bayang risiko dan kecemasan. Kita hidup dalam ketakutan akan bencana ekonomi, perubahan iklim, atau konflik politik yang tak terhindarkan.
Kecemasan kolektif ini terus diperparah oleh media, yang semakin mempercepat penyebaran ketidakpastian. Setiap kali kita menunggu update berita terbaru di layar smartphone kita, ada kecemasan yang terus merayap. Akankah ekonomi global runtuh? Akankah perang besar berikutnya terjadi? Akankah pemerintah mampu menyelesaikan krisis? Di tengah ketidakpastian ini, kita semakin merasa tidak berdaya, semakin merasa terasing dari dunia yang kita tinggali.
Di sinilah menunggu dan kecemasan berkelindan. Dalam menunggu, kita merasakan bahwa waktu bergerak begitu lambat, sementara kecemasan membuatnya terasa semakin tak tertahankan. Seperti yang dijelaskan oleh filsuf eksistensialis, Martin Heidegger, kecemasan (Angst) adalah pengalaman mendasar yang menyingkapkan kehampaan eksistensi manusia. Kecemasan, bagi Heidegger, tidak terkait dengan objek tertentu, tetapi lebih merupakan perasaan mendalam tentang ketiadaan makna yang menyelimuti kehidupan kita.
Politik Kecemasan
Dalam ranah politik, kecemasan sering kali dimanfaatkan sebagai alat oleh kekuasaan. Kita bisa melihat bagaimana politik modern sering kali dibangun di atas narasi ketakutan dan kecemasan. Politik identitas, misalnya, sering kali memanfaatkan kecemasan terhadap “yang lain” sebagai cara untuk memobilisasi dukungan. Ketakutan terhadap imigran, terhadap kelompok minoritas, terhadap ancaman terorisme—semua ini digunakan oleh para politisi untuk menciptakan rasa urgensi, membuat masyarakat merasa bahwa mereka harus “melawan” ancaman tersebut.
Seperti yang ditulis oleh filsuf politik Hannah Arendt dalam The Origins of Totalitarianism, rezim otoriter sering kali tumbuh subur di atas rasa ketakutan dan kecemasan yang diinternalisasi oleh masyarakat. Ketika masyarakat merasa tidak aman, ketika mereka terus-menerus cemas tentang masa depan mereka, mereka lebih mudah dimanipulasi, lebih mudah tunduk pada janji-janji keamanan yang ditawarkan oleh kekuasaan. Kecemasan, dalam konteks ini, menjadi instrumen kontrol yang efektif, mengubah masyarakat yang cemas menjadi massa yang patuh.
Namun, kecemasan tidak hanya dimanfaatkan oleh rezim otoriter. Bahkan dalam masyarakat yang demokratis, kecemasan telah menjadi komoditas. Dalam sistem kapitalisme global, kita terus-menerus didorong untuk merasa tidak cukup aman, tidak cukup puas. Iklan dan media sosial menciptakan kecemasan akan ketidakcukupan, kecemasan bahwa kita tidak cukup sukses, tidak cukup menarik, tidak cukup bahagia. Dalam konteks ini, kecemasan tidak hanya menjadi gejala budaya, tetapi juga menjadi mesin ekonomi yang menggerakkan konsumsi.
Menunggu di Era Digital
Di era digital, menunggu mengalami transformasi yang unik. Di satu sisi, teknologi seolah-olah menjanjikan untuk menghilangkan kebutuhan kita untuk menunggu. Dengan satu klik, kita bisa memesan makanan, membeli barang, atau mengakses informasi dari seluruh dunia. Kecepatan adalah janji utama teknologi digital—segala sesuatu bisa kita dapatkan secara instan. Namun, pada kenyataannya, teknologi digital justru memperburuk kecemasan kita.
Seperti yang ditulis oleh penulis esai Tim Wu dalam bukunya The Attention Merchants, teknologi digital tidak dirancang untuk memberikan kepuasan, tetapi untuk terus menarik perhatian kita, membuat kita selalu menunggu notifikasi berikutnya, update terbaru, atau pesan dari orang yang kita harapkan. Teknologi menciptakan ilusi kecepatan, tetapi di balik kecepatan tersebut, kita justru semakin terjebak dalam siklus menunggu yang tak pernah berakhir. Kecemasan muncul karena kita selalu merasa harus tetap terhubung, harus selalu siap untuk merespons, harus selalu mendapatkan yang terbaru.
Dalam dunia yang semakin cepat ini, menunggu menjadi pengalaman yang semakin tak tertahankan. Kita tidak lagi memiliki kemampuan untuk bersabar, untuk menunggu dengan tenang. Kecemasan yang berlebihan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari kita, karena kita selalu berada dalam situasi menunggu yang terhubung dengan ekspektasi yang tak kunjung dipenuhi. Seperti halnya menunggu balasan pesan di aplikasi obrolan yang tak kunjung datang, kecemasan kita semakin membengkak ketika kita merasa ditinggalkan di dunia yang bergerak begitu cepat.
Kecemasan dan Filosofi Keberadaan
Pada akhirnya, menunggu dan kecemasan mengarahkan kita pada pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang keberadaan manusia. Seperti yang diajukan oleh Jean-Paul Sartre dalam karya klasiknya Being and Nothingness, kecemasan muncul karena manusia dihadapkan pada kebebasan yang radikal, kebebasan untuk membuat pilihan, tetapi juga tanggung jawab untuk menghadapi konsekuensi dari pilihan tersebut. Dalam kebebasan ini, manusia sering kali merasa cemas karena tidak ada kepastian, tidak ada jaminan bahwa pilihan yang diambil adalah yang benar.
Namun, di tengah kebebasan ini, menunggu bisa dilihat sebagai momen reflektif. Menunggu memberi kita kesempatan untuk merenung, untuk mempertimbangkan pilihan-pilihan kita, dan untuk menghadapi kecemasan kita dengan kepala tegak. Seperti yang ditulis oleh filsuf Albert Camus, meskipun hidup ini absurd, meskipun tidak ada makna yang inheren, manusia tetap memiliki kemampuan untuk menemukan makna dalam tindakan mereka sendiri. Menunggu, dalam konteks ini, bisa menjadi bentuk resistensi terhadap absurditas hidup, sebuah cara untuk menghadapi kecemasan dengan kesabaran dan keberanian.
Menunggu, jika kita renungkan lebih dalam, adalah salah satu pengalaman paling manusiawi. Ia mengungkapkan kerentanan kita, ketidakpastian kita, tetapi juga potensi kita untuk bertahan. Dalam kecemasan dan ketidakpastian, kita sering kali menemukan sisi terdalam dari diri kita, dan di sanalah potensi untuk mengatasi absurditas hidup itu sendiri muncul.
Kesabaran Sebagai Bentuk Perlawanan
Dalam dunia yang serba cepat, kesabaran sering kali dilihat sebagai kelemahan, sebagai kekurangan yang perlu diatasi. Namun, jika kita melihat lebih dekat, kesabaran adalah salah satu bentuk perlawanan paling kuat terhadap tuntutan dunia modern. Kesabaran, dalam menunggu, adalah cara untuk melawan narasi “segera” dan “sekarang” yang terus-menerus disodorkan kepada kita.
Kesabaran dalam menunggu mengajarkan kita untuk merengkuh kekosongan, untuk berdamai dengan ketidakpastian, untuk melihat bahwa tidak semua harus dipecahkan atau diketahui segera. Kesabaran adalah bentuk kebebasan dari tuntutan kapitalisme yang berusaha membuat kita terus merasa kurang, merasa cemas bahwa kita harus mengejar hal berikutnya. Dalam dunia yang dipenuhi dengan ketergesaan dan ketakutan kehilangan, menunggu dengan kesabaran adalah sebuah revolusi kecil.
Dalam tradisi-tradisi spiritual di seluruh dunia, kesabaran dalam menunggu sering kali dianggap sebagai latihan jiwa. Dalam Buddhisme, misalnya, meditasi sering kali diartikan sebagai menunggu—menunggu tanpa ekspektasi, menunggu tanpa kecemasan, hanya menghadapi saat ini apa adanya. Begitu pula dalam sufisme, menunggu adalah bagian dari proses spiritual untuk mendekati kebenaran yang lebih dalam. Rumi, penyair mistik asal Persia, menulis, “Kesabaran dalam menunggu adalah kunci untuk membuka pintu kebijaksanaan.” Di sini, menunggu bukan lagi aktivitas pasif yang membosankan, tetapi sebuah proses aktif untuk mengenal diri, dunia, dan yang transenden.
Menunggu Sebagai Ruang Bagi Imajinasi
Salah satu aspek yang sering kali terabaikan dari menunggu adalah bahwa ia membuka ruang bagi imajinasi. Ketika kita menunggu, entah sadar atau tidak, kita sering kali terlibat dalam kegiatan mental yang melampaui batas waktu dan tempat di mana kita berada. Kita membayangkan kemungkinan-kemungkinan, kita menciptakan skenario-skenario alternatif, kita mulai bermimpi. Dalam menunggu, pikiran kita, yang sering kali terikat oleh rutinitas sehari-hari, diberikan kebebasan untuk berkeliaran.
Dalam konteks sosial-politik, imajinasi yang lahir dari menunggu sering kali menjadi sumber perubahan. Gerakan-gerakan sosial besar dalam sejarah sering kali dimulai dari sekelompok orang yang, dalam situasi menunggu, mulai membayangkan dunia yang berbeda, yang lebih adil dan manusiawi. Saat Martin Luther King Jr. berbicara tentang “sebuah mimpi,” ia merangkum aspirasi dari jutaan orang yang menunggu hak-hak sipil mereka diakui. Dalam menunggu, muncul ruang untuk berpikir ulang tentang dunia dan kemungkinan yang lebih baik.
Namun, imajinasi ini bisa juga menjadi pisau bermata dua. Di tengah kecemasan, imajinasi kita bisa berubah menjadi paranoia, menciptakan skenario-skenario terburuk yang hanya memperparah ketakutan kita. Di sini, menunggu bisa berubah menjadi pengalaman yang penuh dengan ketidaknyamanan mental, sebuah lingkaran setan di mana kecemasan dan imajinasi negatif saling memperkuat.
Menunggu, Kecemasan, dan Kapitalisme
Menunggu juga tidak bisa dilepaskan dari konteks ekonomi-politik. Dalam kapitalisme, waktu bukan hanya uang, tetapi komoditas itu sendiri. Kita membayar lebih untuk layanan yang lebih cepat, untuk produk yang lebih instan, untuk solusi yang bisa kita dapatkan sekarang juga. Pada saat yang sama, mereka yang tidak memiliki akses ke sumber daya sering kali terjebak dalam siklus menunggu yang tanpa akhir. Pekerja dengan upah minimum, misalnya, sering kali harus menunggu bertahun-tahun untuk melihat peningkatan upah mereka, sementara mereka yang berada di puncak rantai ekonomi bisa segera menikmati hasil dari investasi mereka.
Ketidakadilan dalam menunggu ini menunjukkan bahwa menunggu bukanlah pengalaman yang netral secara sosial. Mereka yang berada di posisi kekuasaan sering kali tidak perlu menunggu, sementara mereka yang berada di pinggiran ekonomi dan sosial terjebak dalam situasi menunggu yang tidak berkesudahan. Dalam buku Capitalism and Schizophrenia, Gilles Deleuze dan Félix Guattari berbicara tentang bagaimana kapitalisme menciptakan struktur di mana segmen-segmen masyarakat tertentu terus-menerus diasingkan dari akses terhadap waktu yang cepat. Mereka dipaksa menunggu, terperangkap dalam roda ekonomi yang bergerak terlalu cepat bagi mereka.
Kapitalisme tidak hanya menciptakan kecemasan, tetapi juga memanipulasi waktu. Di satu sisi, ia menjual ilusi percepatan, sementara di sisi lain, ia menciptakan kelas-kelas sosial yang terperangkap dalam penundaan yang dipaksakan. Kelas pekerja sering kali harus menunggu perubahan yang tak kunjung datang, menunggu sistem yang akan memperbaiki nasib mereka, sementara kelas elite menikmati kemewahan “ketidaksabaran”—segala sesuatu bisa segera didapatkan, segera dirasakan.
Bagaimana Kita Menunggu?
Menunggu, dalam segala manifestasinya, baik sebagai pengalaman individu maupun sebagai fenomena sosial, politik, dan ekonomi, menyingkapkan banyak hal tentang siapa kita sebagai manusia dan masyarakat. Di balik setiap menunggu, ada lapisan-lapisan kompleks dari kecemasan, ketidakpastian, harapan, dan imajinasi. Menunggu tidak pernah hanya tentang waktu yang terbuang, tetapi tentang bagaimana kita menavigasi kehidupan yang penuh dengan ketidakpastian.
Pertanyaannya, bagaimana kita seharusnya menunggu? Apakah kita akan terjebak dalam kecemasan-kecemasan yang berlebihan, selalu takut akan apa yang tidak diketahui? Atau, bisakah kita melihat menunggu sebagai kesempatan untuk merefleksikan diri, untuk menemukan makna dalam ketidakpastian, untuk melatih kesabaran yang semakin langka dalam dunia modern?
Seperti yang pernah diungkapkan filsuf Søren Kierkegaard, “Kecemasan adalah vertigo dari kebebasan.” Menunggu adalah momen ketika kita menghadapi kebebasan yang radikal, kebebasan untuk memilih bagaimana kita akan merespons dunia yang tidak selalu memberi kita kepastian. Di tengah menunggu, kita bisa memilih untuk tenggelam dalam kecemasan, atau kita bisa memilih untuk menghadapi ketidakpastian dengan kepala tegak, dengan kesadaran bahwa hidup, pada akhirnya, adalah serangkaian momen menunggu yang penuh dengan potensi.
Dalam sebuah dunia yang bergerak semakin cepat, mungkin revolusi terbesar yang bisa kita lakukan adalah belajar untuk menunggu dengan sabar, untuk merengkuh kecemasan sebagai bagian dari keberadaan kita, dan untuk menemukan makna dalam momen-momen yang tampaknya kosong itu. Seperti halnya Vladimir dan Estragon dalam Waiting for Godot, kita mungkin tidak pernah tahu apakah “Godot” kita akan datang, tetapi di tengah menunggu, kita menemukan siapa diri kita sebenarnya—dalam kecemasan, dalam harapan, dalam imajinasi, dan dalam kesabaran.
Dan mungkin, itulah makna sejati dari menunggu. Tidak selalu tentang mencapai tujuan akhir, tetapi tentang perjalanan batin yang terjadi di antara momen awal dan akhir. Menunggu adalah cermin yang memaksa kita melihat ke dalam, untuk menghadapi kecemasan kita dengan keberanian, dan untuk menemukan makna di balik ketidakpastian yang selalu menyertai kehidupan.***