Opini  

‘Oreng Dalem’ Budaya dan Perspektif Mengenai CPNS

Avatar of PortalMadura.Com
'Oreng Dalem' Budaya dan Perspektif Mengenai CPNS
Awal Dharmawan

Penulis : Awal Dharmawan*

Dalam sehari-hati kita tentu pernah mengobrol santai di warung-warung kopi bersama teman-teman untuk membicarakan sesuatu hal yang penting atau hanya sekedar nongkrong menikmati kebersamaan sembari menyeruput hangatnya kopi yang eksotis.

Desas-desus, kasak-kusuk tentang topik yang lagi hangat diperbincangkan di kalangan masyarakat menjadi tema utama dalam obrolan santai sembari diselipkan pelesetan humor untuk mencairkan suasana. Berbagai kalangan masyarakat mulai dari tukang becak, buruh, petani, pedagang, guru, mahasiswa saling menuangkan ide dan gagasan mereka secara bebas tanpa ada paksaan dan tekanan dari pihak lain, semua seakan mengalir dengan penuh suka cita. Pandangan masyarakat tentang pemerintahah, pendidikan, politik, olahraga, dan kesenian dibahas dengan santai di warung kopi.

Obrolan-obrolan di warung kopi merupakan sebuah gambaran tentang permasalahan dari fenomena sosial yang masih belum bisa dipastikan kebenarannya, namun akan menjadi sebuah hal yang menarik untuk dikaji lebih dalam ketika berbicara tentang hal yang sifatnya krusial.

Masyarakat mampu memandang problematika yang hadir dalam setiap aspek kehidupan walaupun dalam sudut pandang atau hanya sebatas obrolan di warung kopi. Sudut pandang masyarakat mengenai problematika yang ada bukan berarti dianggap hal yang sepeleh. Masyarakat mencoba menyuguhkan beberapa hipotesa dari pengalaman-pengalaman yang dimiliki baik itu pengalaman pribadi atau dari orang lain yang dianggap cocok untuk diangkat menjadi sebuah obrolan dan bahan saling tukar pikiran. Dari itulah muncul dugaan-dugaan baru yang harus diteliti lebih lanjut untuk membuktikan kebenaran dan fakta yang ada di masyarakat itu sendiri.

Inspirasi terkadang muncul ketika berdiskusi di warung kopi mengenai permasalah yang ada di tengah-tengah masyarakat bawah. Aspirasi masyarakat bahkan muncul dalam dialog yang terjadi di warung kopi walau terkesan santai namun mempunyai bobot untuk diangkat ke ruang aspirasi publik.

Salah satunya mengenai kekhawatiran masyarakat tentang isu kecurangan dalam penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) yang diselenggarakan mulai bulan September. Masyarakat masih mencurigai adanya “Oreng Dalem” dalam praktik penerimaan CPNS di tingkat kabupaten.

Istilah “Oreng Dalem” apakah sebuah budaya?

Tentu kita orang Madura tidak asing lagi dengan kata “Oreng Dalem,” lalu apa yang hadir dalam benak kita ketika mendengar kata tersebut? Sebuah indikasi yang menjurus ke tindakan nepotisme dengan latar belakang kekerabatan ataukah hal tersebut merupakan sebuah produk dari budaya Madura yang menjunjung tinggi solidaritas dan kekerabatan yang dikenal sangat kental itu. Sehingga saudara dan kerabat dekat diprioritaskan terlebih dahulu untuk masuk di suatu bidang pekerjaan dengan cara tertentu walaupun kurang berkompeten dalam bidang tersebut.

Tetapi perlu diingat bahwa semua tindakan yang berbau nepotisme tidak pernah dibenarkan secara hukum walaupun sekalipun dilatarbelakangi oleh budaya persaudaraan dan kekerabatan. Hal ini menjadi sebuah perspektif di masyarakat yang perlu diluruskan agar tidak terjadi kesalahpahaman, keresahan, dan rasa pesimis untuk mengikuti seleksi penerimaan pegawai karena sebagian masyarakat mengeluh tidak punya “Oreng Dalem,” mereka mempunyai pandangan bahwa tidak akan lolos ketika mengikuti seleksi penerimaan calon pegawai baik di lingkup negeri (CPNS) ataupun pegawai di lingkup swasta kalau tidak punya “Oreng Dalem“.

Inilah sebuah kesalahpahaman atau bahkan menjadi sebuah traumatis pada masyarakat yang mungkin mempunyai pengalaman kurang enak ketika hendak mendaftar pekerjaan namun tidak lolos seleksi walau sudah yakin lolos dengan usaha yang maksimal. Di sisi lain melihat orang yang dianggap kurang mempunyai keterampilan tetapi lolos seleksi dan kebetulan ada kerabat yang membantunya.

Kembali lagi ini merupakan kasak-kusuk yang belum dipastikan kebenarannya namun diyakini oleh masyarakat sebagai budaya dalam melamar pekerjaan agar lancar meskipun dengan cara membayar sejumlah uang pelicin kepada oknum yang dikenal atau tidak dikenal sekalipun oleh kerabatnya.

Selain kata “Oreng Dalem,” kita juga tidak asing lagi dengan kata “Lebat Budi,” bahkan sudah bukan lagi menjadi rahasia umum, semua telah mengetahuinya dan seakan mengiyakan praktek tersebut memang benar-benar ada dan diyakini menjadi senjata utama untuk melamar pekerjaan atau ketika membuat surat-surat penting dengan tujuan ingin prosesnya segera dipercepat dan diprioritaskan.

Hal yang mendasar tersebut sudah pasti akan berujung kepada tindakan yang kurang pantas dicontoh oleh masyarakat awam, dan yang lebih disayangkan ketika masyarakat sudah menyadari kalau hal tersebut merupakan tindakan yang tidak dibenarkan tetapi masih tetap menjalankan praktek dengan cara terus menerus sehingga menjadi sebuah budaya yang kurang pantas dibudidayakan.

Pandangan-pandangan mengenai fenomena tersebut memang didasari oleh budaya kekerabatan, siapa sih yang tidak ingin kerabatnya mempunyai pekerjaan yang didambakan oleh banyak orang. Tentunya semua ingin melihat kerabatnya bekerja di instansi pemerintahan negeri yang hidupnya dijamin dan difasilitasi oleh Negara.

Berbeda lagi ketika kita berbicara tentang hakikat orang Madura yang pekerja keras dan tidak mengenal lelah sebagai fighter. Pandangan masyarakat Madura mulai bergeser ketika terobsesi untuk menjadi pegawai negeri. Kita melihat pengusaha sukses dari Madura dengan cara berdagang, bertani, menjadi nelayan dan pengepul ikan, semuanya pekerjaan ketika ditekuni akan membuahkan hasil yang maksimal walaupun tidak harus menjadi pegawai negeri.

Budaya “Oreng Dalem” masih menyisakan banyak pertanyaan yang belum terjawab. Bermula dari eratnya rasa solidaritas yang tinggi, kekerabatan dan persaudaraan yang menjadi poin utama dalam masyarakat Madura. Nilai positif yang bisa diambil dari budaya tersebut adalah rasa kekeluargaannya yang memang tidak dipungkiri lagi bahwa mereka masih memegang teguh rasa kepedulian dan empati.

Namun di sisi lain menjadi sebuah peristiwa yang absurd ketika harus mencari cara agar kerabatnya masuk di bidang pekerjaan tertentu serta tidak mempedulikan bagaimana prosesnya sesuai dengan prosedur yang ada.

Perspektif masyarakat mengenai CPNS

Pegawai Negeri Sipil (PNS) salah satu pekerjaan yang didambakan oleh banyak kalangan masyarakat Madura terutama di daerah perkotaan. Ketika menjadi Abdi Negara dinilai akan dipandang lebih terhormat, mungkin karena mengabdikan diri kepada negara dengan bekerja di lingkungan pemerintahan atau karena status sosial yang dipandang lebih tinggi ketika sudah menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Teringat kepada pandangan hidup orang Madura yang memegang prinsip harus menghormati “Bhapa’, Bhabu’, Ghuru, Rato.” Wajib hukumnya menghormati dan mentaati kedua orang tua (ibu dan bapak), menghormati guru, dan menghormati pemimpin. Sebuah prinsip yang menanamkan nilai kebaikan dan mengedukasi kepada yang lebih muda untuk saling menghormati dan menjaga sopan santun.

Lalu apa jadinya ketika prinsip itu bermuara untuk mendambakan kedudukan di pemerintahan dengan menjadi PNS untuk lebih dihormati orang lain dan juga mempertimbangkan segi finansial yang berkecukupan dengan gaji yang standar Upah Minimum Regional (UMR) (tergantung kategori dan pangkat).

Istilahnya seperti ini, semakin tinggi jabatan akan semakin tinggi pula dihormati oleh orang lain. Istilah klasik itu masih melekat di masyarakat Madura yang berbudaya. Perspektif masyarakat mengenai Pegawai Negeri Sipil sebagai aktualisasi diri dan peningkatan harkat martabat merupakan hal yang positif dan patut ditiru.

Akan tetapi kegelisahan sebagaian masyarakat tentang kecurangan yang terjadi saat proses penerimaan calon pegawai negeri sipil menjadikan mindset masyarakat pesimis walaupun kabar itu masih kabar burung mengingat tahun 2018 ini penerimaan CPNS lebih diperketat lagi dengan sistem pendaftaran online dan sistem ujian yang lebih teratur dengan diberlakukannya sistem CAT (Computer Assisted Test) yang semuanya dilakukan dengan menggunakan perangkat komputer, ini merupakan upaya pencegahan pemerintah dalam meminimalisir kecurangan yang akan terjadi di penerimaan CPNS.

Mengenai penerimaan CPNS 2018 pemerintah lebih terbuka dan transparan dengan membuka pendaftaran online langsung dalam satu portal website yaitu www.sscn.bkn.go.id tanpa harus mendaftarkan diri di kabupaten/kota. Bisa saja sistem ini akan sedikit merubah mindset masyarakat tentang adanya “Oreng Dalem” dan masyarakat akan diharapkan lebih antusias dalam mendaftar CPNS baik yang berijazah SMA, D III, S1 dan S2. Dalam penerimaan CPNS 2018 ini peserta akan bersaing secara sportif tanpa adanya unsur kecurangan dengan mengutamakan skill, ilmu pengetahuan (knowledge), dan wawasan kebangsaan yang luas.

Jadi intinya segala proses yang berbau nepotisme tidak akan pernah dibenarkan walaupun dengan alasan apapun itu. Masayarakat Madura yang menjunjung tinggi kekeluargaan dan mempunyai budaya kultur kedaerahan yang masih kental menjadikan keluarga nomer satu di atas segalanya, ini merupakan poin penting yang harus dijaga untuk keberlangsungan harmonisasi kehidupan berbangsa dan bernegara.(**)

*Mahasiswa Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatika Surabaya

DAPATKAN UPDATE BERITA LAINNYA DI

google news icon

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.