Para Istri Harus Tahu, Kedudukan Suami Lebih Tinggi dari Keluarganya

Avatar of PortalMadura.com
Para Istri Harus Tahu, Kedudukan Suami Lebih Tinggi dari Keluarganya
Ilustrasi (islampos.com)

PortalMadura.Com  – Para Solehah harus tahu bagaimana cara menghormati dan keluarganya. Masih banyak perempuan yang sudah bersuami yang mendahulukan keluarganya dibanding suaminya. Padahal, sesuai hukum Islam, setelah menikah, perempuan itu harus menghormati suaminya, baru keluarganya.

Sebagaimana dilansir PortalMadura.Com dari laman Orami.co.id, hukum istri lebih mementingkan keluarganya daripada suami akan tergambar dalam ketaatan istri kepada suami. Sebab, setelah wali istri menyerahkan kepada suami, maka kewajiban taat kepada suami menjadi hak tertinggi yang harus dipenuhi, setelah ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya.

Sebagaimana sabda Rasulullah SAW: “Seandainya aku boleh menyuruh seorang sujud kepada seseorang, maka aku akan perintahkan seorang perempuan sujud kepada suaminya,. (HR Tirmidzi no 1159, dinilai oleh al Albani sebagai hadits hasan shahih).

Sujud merupakan bentuk ketundukan, sehingga hadis tersebut mengandung makna bahwa suami mendapatkan hak terbesar atas ketaatan istri. Sedangkan kata: “Seandainya aku boleh…,” menunjukkan bahwa sujud kepada manusia tidak boleh (dilarang) dan hukumnya haram.

Istri harus taat kepada suaminya dalam hal-hal ma'ruf atau yang mengandung kebaikan dalam agama. Misalnya ketika diajak untuk bersetubuh, diperintahkan untuk salat, berpuasa, sedekah, dan bentuk-bentuk perintah lainnya sepanjang tidak bertentangan dengan syariat.

Saat taat pada suami, istri juga akan diberi pahala surga. Rasulullah SAW bersabda: “Apabila seorang isteri mengerjakan salat yang lima waktu, berpuasa di bulan Ramadan, menjaga kemaluannya (menjaga kehormatannya), dan taat kepada suaminya, niscaya ia akan masuk Surga dari pintu mana saja yang dikehendakinya”.

Dalam Islam, istri bahkan dilarang berpuasa sunah kecuali dengan izin suaminya, apabila suami berada di rumahnya. Ini menunjukkan bahwa apapun yang dilakukan istri, harus mendapatkan izin dari suami.
Hal ini berdasarkan hadis Rasulullah SAW: “Tidak boleh seorang perempuan puasa (sunah) sedangkan suaminya ada (tidak safar) kecuali dengan izinnya. Tidak boleh ia mengizinkan seseorang memasuki rumahnya kecuali dengan izinnya dan apabila ia menginfakkan harta dari usaha suaminya tanpa perintahnya, maka separuh ganjarannya adalah untuk suaminya”.

Dalam hadis ini seorang istri dilarang puasa sunah tanpa izin dari suami dan sifatnya haram dilakukan. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullaah mengatakan: “Dalam hadis ini terdapat petunjuk bahwa hak suami lebih utama dari amalan sunah, karena hak suami merupakan kewajiban bagi istri. Melaksanakan kewajiban harus didahulukan daripada melaksanakan amalan sunah,”

Sebagaimana hadis Rassulullah SAW tentang keutamaan suami di atas, maka seorang istri yang lebih mementingkan keluarganya daripada suami tidak dibolehkan dan hukumnya menjadi haram.

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan: “Seorang perempuan jika telah menikah, maka suami lebih berhak terhadap dirinya dibandingkan kedua orang tuanya dan mentaati suami itu lebih wajib dari pada taat .” (Majmu' Fatawa 32/261).

Bahkan, dalam sebuah riwayat dari Anas bin Malik RA meski sebagian ahli hadis menyebut sanadnya lemah menjelaskan saat para sahabat bepergian untuk berjihad, ia meminta istrinya agar tidak keluar rumah sampai ia pulang. Di saat bersamaan, ayah istri sedang sakit.

Karena telah berjanji untuk taat kepada suami, istri tidak berani menjenguk ayahnya. Namun karena merasa khawatir, ia pun mengutus seseorang untuk menanyakan hal itu kepada Rasulullah SAW. Beliau menjawab, “Taatilah suami kamu.”

Sampai ayahnya meninggal dan dimakamkan, istri tersebut belum berani berkunjung. Untuk kali kedua, bertanya ke Rasulullah SAW. Jawaban pun ia dapatkan.

Selang berapa lama, Rasulullah SAW mengutus utusan kepada istri tersebut agar memberitahukan bahwa Allah telah mengampuni dosa ayahnya berkat ketaatannya pada suami.

Kisah dari at-Thabrani itu setidaknya menggambarkan tentang bagaimana sikap seorang istri. Manakah hak yang lebih didahulukan antara hak orang tua dan hak suami, tatkala perempuan sudah menikah, dan menjadi jawaban atas pertanyaan bagaimana hukum istri lebih mementingkan keluarganya daripada suami.

Syekh Kamil Muhammad ‘Uwaidah dalam buku Al Jami' fi Fiqh An Nisaa' mengatakan, seorang perempuan sebagaimana laki-laki, mempunyai kewajiban sama berbakti terhadap orang tua. Penghormatan terhadap ibu dan ayah sangat ditekankan oleh Rasulullah SAW.

Namun, menurut Syekh Yusuf al-Qaradhawi dalam kumpulan fatwanya yang terangkum di Fatawa Mu'ashirah menerangkan bahwa kewajiban tersebut dibatasi selama yang bersangkutan belum menikah. Bila sudah berkeluarga, seorang istri diharuskan lebih mengutamakan taat kepada suami.

Meski begitu, kewajiban menaati suami bukan berarti harus memutus tali silaturahim kepada orang tua atau memutuskan tali silaturahmi kepada keluarganya yang lain. Seorang suami dituntut mampu menjaga hubungan baik antara istri dan keluarganya.

Dengan kemajuan teknologi saat ini, jika suami istri berada jauh dari orang tuanya bisa dilakukan dengan cara yang amat mudah. Ikhtiar tersebut bisa diupayakan dengan menggunakan telepon, misalnya. Atau sesekali mengajak menjenguk orang tuanya.

Sebab, Al-Qaradhawi menambahkan, di antara hikmah kemandirian dalam sebuah rumah tangga ialah meneruskan garis keturunan. Artinya, keluarga dibentuk sebagai satu kesatuan yang utuh tanpa ada intervensi pihak luar, yang juga bisa datang dari orang tua ataupun saudara yang lain.

Bila ada campur tangan pihak lain, biasanya akan ada hambatan dalam menjalankan rumah tangga. Allah SWT berfirman: “Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air lalu dia jadikan manusia itu (punya) keturunan dan mushaharah dan adalah Tuhanmu Mahakuasa.” (QS Al-Furqan: 54).

Ada juga beberapa hadis lain yang menguatkan tentang pentingnya mendahulukan ketaatan istri kepada suami dibandingkan orang tua. Di antara hadis tersebut, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh al-Hakim dan ditashih oleh al-Bazzar.

Dalam hadis tersebut, Aisyah pernah bertanya kepada Rasulullah, hak siapakah yang harus diutamakan oleh istri? Rasulullah menjawab, “(Hak) Suaminya.” Lalu, Aisyah kembali bertanya, sedangkan bagi suami hak siapakah yang lebih utama? Beliau menjawab, “(Hak) Ibunya,” (HR Al-Hakim).

Jadi, karena hukum istri lebih mementingkan keluarganya daripada suami adalah hal yang terlarang, ada baiknya bagi istri untuk lebih sering berdiskusi dengan suami, agar suami ridho dan mengizinkan apapun yang akan dilakukan istri, termasuk yang berhubungan dengan keluarganya.

DAPATKAN UPDATE BERITA LAINNYA DI

google news icon

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.