Pendar Tuhan dalam Sukma Petani Madura

Avatar of PortalMadura.com
Pendar Tuhan dalam Sukma Petani Madura
Ilustrasi (photo by @wdynrhmc)

Oleh: Syarifah Isnaini*

Pajjhar lagghu arena pon nyonara
bapa' tani se tedung pon jaga'a
ngala' are' so landu' tor capenga

Adalah sesosok guru Sekolah Dasar saya yang mengakrabkan awal baris lagu berbahasa Madura di atas kepada saya. Di depan papan hitam yang penuh coretan kapur putih, guru sarat jasa yang rela menempuh perjalanan berkilo meter tersebut tegap berdiri.

Beliau dengan kesabaran dan gaya kebapakan melagukan lirik yang seyogyanya menegaskan identitas etnis saya sebagai bagian dari masyarakat agraris.

Sebagai penegasan jati diri, lagu di atas menggambarkan kondisi pagi hari pulau Madura yang dibuka salah satunya oleh sosok-sosok petani perkasa yang sedari terjaga telah bersiap menggarap tegal dan hasil tanaman mereka.

Berkaca dari lirik lagu pada awal tulisan ini, tidak dapat disanggah bahwa satu dari sekian profesi mayoritas masyarakat Madura ialah petani.

Identitas tersebut berlangsung lestari bertahun lamanya sebagaimana diungkapkan Kuntowijoyo dalam penelitiannya pada warsa 1990.

Ia menyebutkan jumlah tegalan tetap manusia Madura mencapai 67,4% dengan persentase sisanya mencakup tegal tidak tetap, sawah tadah hujan dan irigasi.

Menariknya, masyarakat Madura dengan ekologi tegalnya memahami betul bahwa harapan terhadap hasil semestinya berbanding lurus dengan pengabdian pada Dzat Yang Maha Kaya.

Hal ini menjadikan manusia Madura tidak hanya dikenal dari hasil kerjanya akan tetapi juga dari kerekatannya dengan Sang Pencipta serta mewujud dalam bentuk masyarakat Islami.

Penyebutan Gusti Pangeran sebagai representasi dari Sang Khalikuljabbar pada budaya spiritual orang Madura bukan lagi menjadi hal asing.

Penghambaan akan Tuhan oleh petani Madura ditemukan pula pada sebentuk pola pemukiman mereka yakni taneyan lanjheng.

Istilah yang berarti halaman panjang ini menempatkan bangunan sentral yang pasti ada pada tiap pemukiman warga Madura.

Bangunan tersebut tidak lain berupa tempat peribadatan dengan nama kobhung atau masyarakat perkotaan biasa menamainya musholla.

Di kobhung inilah para petani Madura menenun harap pada Sang Kuasa atas berbagai perkara hidup meliputi pertanian yang menjadi sarana kehidupan mereka.

Dalil lain yang menunjukkan dominannya sisi ketuhanan di kalangan petani Madura dapat dilihat dari respon mereka terhadap fenomena alam seperti hujan.

Saya yang notabene lahir dan bertumbuh di tengah-tangah masyarakat agraria beberapa kali mendapati para petani yang tetap bersyukur atas kondisi alam bagaimanapun beratnya.

Sebagai amsal, pada musim tembakau ketika cuaca yang diharapkan cerah namun yang terjadi justru sebaliknya para petani tembakau biasanya berucap: ènga' bede'eh paparèng ojen.

Kalimat ènga' bede'eh paparèng ojen yang kurang lebih jika dibahasakan menjadi ‘sepertinya akan ada karunia hujan' sungguh menjadi pengingat bahwa keadaan paling tidak diharapkan sekalipun tetaplah sebaik-baik anugerah.

Sekaligus juga menegaskan bahwa tidak ada satupun yang kuasa atas hasil panen selain Sang Khalik, setidak-tidaknya bagi petani Madura sendiri. Ungkapan do the best and let God do the rest yang secara bahasa bukan gagasan orang Madura seyogyanya telah merasuk kuat pada diri petani di daerah timur laut pulau Jawa tersebut.

Sisi agamis petani Madura juga dapat dinilai dari disiplin waktu penggarapan tanah tegalan dan pertanian mereka.

Sebagaimana diungkapkan oleh awal lirik lagu di atas, geliat etos kerja petani Madura dimulai sejak pagi buta selepas menunaikan kewajiban salat subuh.

Kesibukan tersebut akan berlanjut dan mencapai ujungnya pada saat tengah hari tatkala azan duhur berkumandang dari segala penjuru masjid kampung. Begitupula dengan asar, rerata petani Madura akan memperhitungkan waktu-waktu sembahyang di tengah kesibukan ikhtiar akan palawija mereka.

Walaupun terlihat sangat pribadi, kehidupan sebagai anak petani kampung tanah garam cukup memberikan saya gambaran betapa kentaranya pendar Tuhan pada sukma petani Madura.

Saya kerap menyaksikan bapak saya selaku petani merapal beberapa kalimat berbahasa arab yang diawali basmalah pada sebagian perilaku sederhana seperti menyiapkan pupuk bagi tanaman di ladang.

Dari proses penyiapan pupuk yang menjadi penyubur tanaman, sanggup dipahami bahwa telah ada unsur ketuhanan menyertai rangkaian ritual pertanian, bahkan dimulai semenjak tahap paling dini. Maka bukan tidak mungkin beberapa petani akan menggarap tanah mereka sembari berdoa dan membawa spirit Sang Kuasa di tengah hijaunya tanaman sawah mereka.

Acapkali beberapa alasan seseorang beragama tidak selalu benar. Sebagaimana Friedrich Nietzsche yang meyakini bahwa salah satu motif beragama seseorang satu di antaranya untuk mengontrol orang lain demi berbagai kepentingan.

Sosok petani perkasa Madura membuktikan bahwa alih-alih mengontrol orang lain, justru mereka memotret nilai ketuhanan untuk mengontrol perilaku mereka sendiri. Mereka menggunakan agama untuk memastikan bahwa tidak ada satupun hasil panen yang berubah menjelma daging, tanpa mengenal terlebih dahulu siapa pengubahnya.(**)

*Penulis merupakan mahasiswi Program Pascasarjana Interdisciplinary Islamic Studies di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga. Dalam rangka proses purna studi, saat ini penulis berdomisili di Yogyakarta. Sosial media @syarifahitsnaini (instagram) dan Syarifah Itsnaini (facebook).

DAPATKAN UPDATE BERITA LAINNYA DI

google news icon

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.