Perjuangan Anak-anak Suriah Bersekolah di Tengah Konflik

Avatar of PortalMadura.com
Perjuangan anak-anak Suriah bersekolah di tengah konflik
Iman Mustafa Zaydan, seorang guru kelas di sekolah itu, mengajar murid-muridnya di kamp pengungsi Shuhada Miskan di wilayah Azaz, Suriah pada 8 April 2019. (Foto file - Anadolu Agency)

PortalMadura.Com, – Saat perang Suriah memasuki Tahun kesembilan, generasi yang lahir dan besar dalam konflik terus menjalani pendidikan meski dalam kondisi sulit.

Saat konflik meletus, pengungsi dan kekerasan menjadi bagian sehari-hari di Suriah.

Namun anak-anak tetap memupuk harapan untuk masa depan yang lebih cerah di sekolah Shuhada Miskan di kamp pengungsi Yazi Bagh, barat laut Suriah, Azaz.

Berbicara kepada Anadolu Agency, seorang guru bernama Iman Mustafa Zaydan mengatakan murid-muridnya menikmati pendidikan meski banyak kesulitan.

Sekolah tersebut memberikan pendidikan bagi 350 pelajar hingga kelas enam dari dalam tenda.

“Meskipun sangat panas dan berdebu di musim panas, dingin dan berlumpur di musim dingin,” ujar Zaydan. dilaporkan Anadolu Agency, Selasa (16/4/2019).

“Tidak ada infrastruktur di sekolah dan siswa dipaksa berjalan melalui lumpur untuk mencapai sekolah. Mereka tidak memiliki ruang untuk bermain di sini,” kata Zaydan.

Maryam, gadis berusia 9 Tahun, mengaku suka menghabiskan waktu di sekolah.

“Meskipun sekolahnya sangat berlumpur, saya sangat menikmati sekolah dan saya mencintai guru,” urai Maryam.

Di kelas yang berisi 27 pelajar itu, Maryam mengatakan sang guru adalah idolanya.

“Aku ingin menjadi guru ketika besar nanti,” kata dia dengan seutas senyum di wajahnya.

Pendidikan terbatas pada ruang kelas

Zaydan juga menyampaikan sejumlah hambatan lainnya bagi para pelajar di sekolah.

Zaydan mengaku para pelajar tidak dapat belajar di luar jam kelas.

“Alasannya mereka tidak memiliki ruang pribadi di kamp-kamp yang mereka tempati […],” kata dia.

“Sementara keluarga berusaha memenuhi kebutuhan dasar, anak-anak dibiarkan sendiri menjalani pendidikan mereka,” tambah guru itu.

Zaydan mengatakan anak-anak Suriah juga kekurangan alat pendidikan seperti buku, pena, tas atau kebutuhan lainnya yang diperlukan untuk menunjang Pendidikan.

Masalah lainnya adalah perbedaan usia antara siswa di kelas.

Zaydan mencontohkan di kelas dua rentang usia siswa mulai dari 8 hingga 12 Tahun.

“Ini menunjukkan banyak anak-anak tidak mendapatkan pendidikan dalam waktu lama, atau bahkan tidak mendapatkan pendidikan sama sekali sebelum mereka tiba di kamp,” tambah dia.

Kerinduan untuk masa depan yang lebih cerah

Zaydan mengatakan murid-muridnya memiliki harapan tinggi untuk masa depan mereka.

“Beberapa pelajar sangat cerdas, tetapi mereka tidak memiliki dukungan yang diperlukan untuk memastikan pendidikan dan masa depan yang lebih cerah,” ujar Zaydan.

Fatima, pelajar berusia delapan Tahun, mengaku pergi ke kamp pengungsian bersama keluarganya sejak lima Tahun.

Mereka mengungsi dari wilayah Jukhah, yang terletak di tenggara Aleppo.

“Saya sangat mencintai sekolah saya,” kata Fatima yang mengaku sangat menikmati pembelajaran di kelas.

“Saya ingin menjadi guru bahasa Inggris ketika besar nanti. Saya sudah belajar huruf dan angka,” katanya.

“Alasan mengapa saya suka bahasa Inggris adalah guruku, Ahmed. Semua hal yang saya pelajari diajarkan olehnya. Saya tidak tahu di mana dia sekarang, saya tidak melihatnya lagi,” tambah dia.

Suriah telah dirundung konflik sejak perang sipil meletus pada Maret 2011, ketika rezim Bashar al-Assad menyerang aksi demonstrasi kelompok pro-demokrasi dengan brutal.

Menurut pejabat PBB, konflik tersebut telah menewaskan ratusan ribu jiwa dan mengakibatkan 10 juta warga terlantar.

Sementara anak-anak terus menanggung beban paling berat dari konflik tersebut.

Arus pengungsi yang terus-menerus terjadi memberikan dampak serius bagi kehidupan anak-anak, khususnya akses mereka terhadap pendidikan.

Persoalan

Berbicara kepada Anadolu Agency, Ramadhan Abdallah Taame, yang menghabiskan 40 tahun hidupnya sebagai guru, mengatakan anak-anak tetap “jauh dari pendidikan” sejak awal perang.

“Kami berusaha mengajar anak-anak sebanyak mungkin karena anak-anak ini adalah masa depan kami, tetapi mereka melanjutkan pendidikan dalam kondisi sulit,” kata dia.

“Keluarga mereka tidak bisa berbuat banyak, tetapi mereka masih melanjutkan pendidikan dengan sumber daya yang sangat terbatas,” kata dia.

Taame mengatakan tidak ada komunikasi yang baik antara keluarga dan sekolah.

“Guna mencari pekerjaan untuk mendapatkan roti dan mentega agar dapat bertahan hidup, orang tua sering mengabaikan pendidikan anak-anak mereka,” katanya.

“Para ibu mengalami kesulitan paling besar di kamp pengungsian untuk menjaga agar tubuh anak-anak tetap hangat, bersih, dan menyediakan makanan untuk mencegah penyakit,” katanya, seraya menambahkan para ibu tidak memiliki waktu memperhatikan kondisi pendidikan anak-anak mereka.

“Beban orang tua yang hidup dalam kondisi sulit di kamp mempengaruhi masa depan anak-anak mereka,” tambah Taame.

DAPATKAN UPDATE BERITA LAINNYA DI

google news icon

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.