PortalMadura.com – Di ruang sidang yang hening, pledoi bergaung bukan hanya sebagai pembelaan, melainkan juga sebagai doa terakhir. Ia adalah jendela bagi seorang terdakwa untuk menuntut kebenaran dari sistem yang sering kali tidak sempurna. Melalui kata-kata penuh harap atau kadang getir, seorang terdakwa berdiri di depan meja hijau, membacakan pembelaannya. Tetapi pada saat yang sama, di hadapannya duduk seorang hakim yang, dalam diamnya, menyaring, menganalisa, dan pada akhirnya menentukan takdir manusia lainnya. Di sinilah titik pertemuan antara pledoi dan keyakinan hakim, dua poros yang saling berkaitan namun sering kali berseberangan.
Apa itu keyakinan hakim? Apakah ia semata proses penalaran logis yang lurus tanpa cela, atau ada ruang bagi intuisi dan subjektivitas? Di mata beberapa orang, hakim dianggap sebagai penjaga keadilan yang obyektif, tanpa cela dan tanpa emosi. Tetapi realitasnya sering kali tak sesederhana itu. Dalam konteks hukum pidana di Indonesia, frasa “keyakinan hakim” memiliki kedudukan yang tinggi, seperti yang tertuang dalam Pasal 183 KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana): seorang hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali ada minimal dua alat bukti yang sah serta diperolehnya keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah pelakunya.
Dalam teori hukum, keyakinan hakim ini diakui sebagai landasan penting. Teori keyakinan subjektif atau “inner conviction” mendasari bahwa penilaian hakim bersifat personal dan intim, mengakar dalam pemikiran bahwa keadilan tidak selalu bisa dinilai hanya dengan angka atau bukti material. Meskipun teori ini terkesan mulia, ia juga rentan terhadap penyimpangan. Dalam sebuah sistem yang terkesan objektif, apakah keadilan sejatinya berada di tangan pribadi seorang hakim yang berpegang pada keyakinan pribadinya?
Hakim memiliki kebebasan untuk menafsirkan dan memahami fakta serta alat bukti yang disajikan di hadapannya, dengan tetap berpegang pada aturan dan batas yang telah ditentukan undang-undang. Namun, di balik kebebasan itu ada ruang bagi bias dan persepsi individu yang bisa menjadi lubang dalam jaring hukum. Dalam psikologi kognitif, dikenal adanya “bias konfirmasi,” yakni kecenderungan untuk memilih bukti yang mendukung hipotesis awal seseorang. Bukankah mungkin, bahwa seorang hakim yang telah memiliki asumsi awal cenderung mengabaikan bukti yang berlawanan? Di sinilah pledoi menjadi sebuah upaya untuk membuka perspektif baru, untuk membongkar asumsi-asumsi yang bisa jadi mengakar sejak awal kasus berlangsung.
Pada titik ini, pledoi menjadi lebih dari sekadar pernyataan pembelaan; ia adalah upaya untuk membangkitkan nurani, mengimbau empati, dan menggugah dimensi kemanusiaan seorang hakim. Sayangnya, dalam kenyataan sidang-sidang di ruang pengadilan, pledoi sering kali dipandang sebagai formalitas terakhir, sekadar pengulangan dari apa yang telah dikemukakan dalam pemeriksaan terdahulu. Sebuah studi dari Komisi Yudisial Indonesia menunjukkan bahwa sering kali hakim mengambil keputusan berdasarkan bukti dan kesimpulan awal yang disampaikan jaksa, dengan pledoi yang dianggap tidak memiliki bobot besar dalam mempengaruhi keyakinan hakim. Ini menunjukkan bagaimana keyakinan hakim kadang-kadang bisa menjadi “keyakinan yang cepat terbentuk,” suatu keputusan yang mungkin lebih didasarkan pada tekanan birokratis ketimbang pencarian kebenaran yang sejati.
Di balik seluruh debat dan argumen hukum, ada pertanyaan mendasar tentang peran hakim dalam memperjuangkan keadilan substantif ketimbang keadilan prosedural semata. Hakim yang hanya mematuhi peraturan hukum tanpa merenungkan dampak sosial dan moral dari keputusannya sebenarnya masih jauh dari apa yang diimpikan oleh para filsuf hukum seperti Gustav Radbruch. Radbruch pernah mengutarakan teori hukum tiga dimensi yang mencakup keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan sosial. Ketiganya tidak dapat berjalan sendiri-sendiri. Dalam idealisme Radbruch, hukum tidak hanya sekadar alat negara, tetapi sebagai alat untuk mencapai keadilan yang berperikemanusiaan.
Tetapi, bagaimana hukum bisa sepenuhnya manusiawi ketika sistem peradilan itu sendiri sering kali membungkam pledoi? Ketika suara pembelaan hanya sekadar catatan kecil dalam keputusan akhir, bukankah hal ini berarti bahwa yang dianggap suara terdakwa dan pembela hanyalah gema dari ruangan kosong?
Sebenarnya, pledoi memiliki tempat dalam budaya hukum yang lebih luas. Pledoi bukan hanya perkara hukum semata; ia adalah bagian dari peradaban manusia. Dalam sastra klasik, pembelaan dan keyakinan menjadi bagian dari narasi besar dalam karya-karya filsuf dan penyair, mulai dari Socrates hingga Shakespeare. Socrates, dalam pembelaannya di hadapan para hakim Athena, tidak sekadar berargumen untuk kebebasan dirinya, tetapi untuk nilai-nilai kebebasan berpikir, sebuah pledoi yang hidup sampai sekarang. Shakespeare, melalui tokoh-tokoh seperti Portia dalam *The Merchant of Venice*, menyelipkan tema tentang keadilan dan belas kasih yang sering kali luput dalam peradilan formal. “The quality of mercy is not strained,” kata Portia, menunjukkan bahwa dalam ruang peradilan, kemanusiaan tidak bisa sepenuhnya hilang.
Namun, dalam dinamika sosial dan politik modern, ruang bagi kemanusiaan dalam hukum sering kali terabaikan oleh tekanan politis, korupsi, atau keinginan untuk mempertahankan stabilitas. Hakim dituntut untuk menyajikan keadilan, tetapi pada saat yang sama mereka menjadi bagian dari institusi yang dibebani dengan berbagai kepentingan. Dalam konteks ini, pledoi bisa diibaratkan sebagai pengingat terakhir bahwa di balik setiap kasus ada manusia dengan kisah hidup, dengan kepedihan, dan mungkin dengan penyesalan.
Pentingnya pledoi dalam budaya hukum Indonesia juga mengingatkan kita pada sebuah pergeseran yang kini terjadi dalam dunia hukum, yaitu tren restorative justice atau keadilan restoratif. Restorative justice berfokus pada perbaikan hubungan sosial dan rekonsiliasi daripada sekadar menghukum. Pada praktiknya, ini melibatkan pelaku, korban, dan komunitas untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang lebih manusiawi. Di sinilah pledoi dapat memainkan peran penting, sebagai bentuk pengakuan dan permintaan maaf yang tulus dari terdakwa, serta sebagai upaya mencari jalan damai. Dalam model keadilan yang lebih restoratif ini, keyakinan hakim tidak hanya menjadi proses legalistik, tetapi juga moral dan sosial.
Namun, seberapa jauh keadilan restoratif bisa diterapkan di Indonesia? Di sini, keyakinan hakim masih dikungkung oleh prinsip legalistik yang kaku, yang sering kali membatasi empati dan belas kasih. Lagi pula, negara dengan sistem hukum yang berorientasi pada kepastian hukum mungkin merasa sulit untuk membuka ruang bagi penyelesaian yang lebih cair dan berbasis kemanusiaan. Akhirnya, pledoi pun sering kali tetap berada di pinggiran, sebagai fragmen suara dalam sistem yang tak acuh.
Dalam renungan ini, kita melihat bahwa pledoi dan keyakinan hakim bukanlah sekadar bagian dari mekanisme peradilan, melainkan bagian dari sejarah moral manusia. Pledoi bukan sekadar argumen di ruang sidang; ia adalah perlawanan terhadap sistem yang sering kali gagal menangkap esensi dari keadilan. Pledoi menjadi penanda, bahwa ada individu yang ingin didengar, ingin dipahami, dan pada akhirnya ingin diperlakukan dengan hormat sebagai manusia. Dan bagi seorang hakim, keyakinannya seharusnya tidak hanya didasari oleh bukti formal dan legalitas semata, tetapi juga oleh kesadaran bahwa di tangan mereka terletak kehidupan orang lain, bukan sekadar angka dalam statistik penanganan kasus.
Pledoi adalah suara kecil yang mengingatkan bahwa hukum, pada akhirnya, adalah tentang manusia. Di balik tiap pledoi yang dilontarkan dengan harapan, ada seorang terdakwa yang ingin meyakinkan bahwa ia layak didengar, bukan hanya oleh para saksi atau jaksa, tapi juga oleh seseorang yang memiliki kendali atas nasibnya. Maka ketika hakim mengambil keputusan, ada suatu tanggung jawab moral yang tak terkatakan—bahwa ia bukan hanya mengadili perbuatan, tetapi juga menghargai kompleksitas hidup manusia di balik keputusan tersebut.
Hakim, dalam banyak kasus, berhadapan dengan dilema yang pelik. Hukum memang harus berlandaskan pada kepastian, namun bagaimana mungkin sebuah norma yang digeneralisasi dapat selalu berlaku untuk manusia yang begitu beragam? Inilah titik di mana teori keadilan distributif dari Aristoteles menjadi relevan. Aristoteles memandang bahwa keadilan bukan hanya soal memberikan sesuatu sesuai peraturan, tetapi juga soal memberikan sesuatu yang sesuai dengan kebutuhan dan situasi individu tersebut. Keadilan bukanlah konsep hitam-putih; ia adalah spektrum yang harus dicermati dengan hati-hati, yang menuntut empati dan pemahaman konteks.
Namun, konteks ini sering kali terdistorsi oleh tekanan eksternal, baik itu dari opini publik, media, atau kekuatan politis yang diam-diam menyusup ke ruang sidang. Dalam buku *Discipline and Punish*, Foucault menyingkapkan bagaimana peradilan tidak sekadar bertugas menegakkan hukum, tetapi juga menjadi alat kontrol sosial. Di sini, pledoi dan keyakinan hakim dapat ditarik ke dalam permainan kekuasaan. Hukum yang seharusnya adil dan imparsial malah bisa menjadi sekadar instrumen yang digunakan untuk kepentingan tertentu. Terdakwa, lewat pledoinya, berupaya melawan tak hanya tuntutan jaksa, tetapi juga arus besar yang berusaha mengendalikannya, yang mungkin lebih berkuasa dan tidak terlihat.
Di Indonesia, kita sering mendengar kasus di mana keyakinan hakim tampak mengikuti narasi besar yang dikendalikan oleh pihak-pihak di luar ruang sidang. Dalam kasus korupsi misalnya, sering muncul anggapan bahwa hukuman yang diberikan kepada figur kecil lebih berat dibandingkan dengan pelaku besar yang memiliki jaringan politik atau ekonomi yang kuat. Sebaliknya, terdakwa dari kalangan masyarakat miskin atau minoritas, yang tidak memiliki jaringan perlindungan atau pengaruh, sering kali berakhir dengan putusan yang berat. Maka pledoi menjadi satu-satunya medium bagi mereka untuk bersuara di dalam sistem yang tampak menindas.
Pentingnya pledoi dalam melawan dominasi sistem ini sebenarnya selaras dengan pemikiran dari filsuf Jürgen Habermas tentang komunikasi dan demokrasi. Dalam konsepnya tentang “teori tindakan komunikatif,” Habermas mengusulkan bahwa masyarakat yang adil adalah masyarakat di mana tiap individu dapat menyampaikan pendapatnya tanpa represi dan mendapatkan hak untuk didengar. Dalam konteks ruang sidang, pledoi adalah bentuk ekspresi terdakwa untuk menyampaikan kisah hidup, konteks pribadi, dan kadang-kadang, sebuah pengakuan atau penyangkalan yang lebih dalam dari sekadar kata-kata. Ketika hakim memutuskan tanpa menimbang pledoi secara serius, maka sesungguhnya ia mengabaikan satu prinsip dasar dari keadilan yang partisipatif: mendengar dan memahami.
Akan tetapi, pledoi juga bisa menjadi jebakan jika sistem peradilan justru menilai kesungguhan terdakwa dari cara ia menyampaikan pembelaannya. Di banyak negara, termasuk Indonesia, pledoi bisa menjadi “pertunjukan” di mana terdakwa diharapkan untuk terlihat menyesal atau menunjukkan kesungguhan yang sesuai dengan ekspektasi budaya. Ironisnya, hal ini malah berpotensi menodai prinsip obyektivitas yang selama ini diagungkan dalam hukum. Apakah seorang terdakwa yang memiliki kemampuan oratoris lebih baik akan lebih didengar daripada yang tidak pandai berbicara? Lalu, di mana letak keadilan yang sesungguhnya?
Di sinilah peran penting pendidikan hakim dalam memahami psikologi dan sosiologi hukum. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh American Judicature Society menunjukkan bahwa hakim yang dilatih dalam memahami konteks sosial-budaya terdakwa cenderung mengambil keputusan yang lebih inklusif dan berimbang. Dengan pemahaman yang lebih dalam tentang kondisi psikologis dan sosial terdakwa, hakim tidak hanya berpaku pada hukum yang kaku, tetapi juga mampu mengintegrasikan perspektif kemanusiaan dalam proses pengambilan keputusan. Dengan kata lain, pledoi yang mungkin tampak sepele bisa memberikan pencerahan baru yang esensial bagi hakim dalam membentuk keyakinannya.
Sayangnya, dalam kenyataan, pledoi lebih sering dilihat sebagai penghalang ketimbang jembatan. Birokrasi peradilan yang sering terburu-buru untuk menyelesaikan kasus, tekanan untuk memenuhi angka-angka penyelesaian perkara, serta hambatan-hambatan institusional lainnya membuat pledoi hanya menjadi formalitas belaka. Dalam situasi seperti ini, keyakinan hakim pun dapat menjadi sesuatu yang mekanistik, semata-mata berdasarkan bukti formal tanpa mempertimbangkan nuansa kemanusiaan di dalamnya.
Di sisi lain, pledoi juga memberi ruang bagi kita, sebagai masyarakat, untuk berefleksi mengenai apa yang kita harapkan dari sistem peradilan kita. Di balik pledoi yang penuh rasa harap, terdapat realitas yang kontras di mana sistem hukum modern sering kali menjauhkan keadilan dari nurani masyarakat. Ada ironi yang terpendam di sini—sebuah sistem yang dibangun untuk melindungi dan menegakkan hak asasi justru sering kali menjadi instrumen yang mengabaikan realitas terdalam manusia.
Apakah hukum sejatinya hanyalah sebatas teks dan aturan? Atau haruskah ia menjadi cerminan nilai-nilai yang tumbuh dari masyarakatnya? Ini bukan sekadar persoalan prosedural, melainkan persoalan eksistensial yang mengingatkan kita pada cita-cita keadilan yang hakiki. Di titik ini, pledoi yang disampaikan seorang terdakwa menjadi seruan yang beresonansi dengan siapa pun yang pernah mempertanyakan keadilan, bukan hanya sebagai hak, tetapi sebagai kondisi yang seharusnya dapat dirasakan oleh semua orang.
Jika kita ingin membayangkan sebuah sistem peradilan yang benar-benar adil, maka pledoi harus dilihat sebagai momen reflektif yang layak dipertimbangkan, di mana setiap terdakwa, melalui suara yang sering kali terpinggirkan, memiliki kesempatan untuk menyentuh nurani para hakim, untuk menuntut rasa kemanusiaan yang lebih besar daripada sekadar aturan hukum. Mungkin, dalam pledoi itulah kita bisa menemukan kembali makna sejati dari keadilan—sebuah keadilan yang bukan sekadar hasil dari keyakinan yang terburu-buru, tetapi lahir dari pemahaman yang mendalam dan empati yang tulus.
Dalam akhir catatan ini, kita diingatkan bahwa pledoi bukanlah akhir dari sebuah proses hukum, melainkan cerminan dari perjuangan yang lebih besar. Seperti kata Albert Camus, “Hakim yang baik adalah hakim yang mau memahami bahwa hukuman itu tidak menyelesaikan penderitaan, tetapi mungkin bisa mengurangi ketidakadilan.” Maka dalam pledoi dan keyakinan hakim, terletak janji akan sebuah dunia yang lebih adil—jika kita, sebagai manusia, memilih untuk mendengar.***