Sinergi Pemuda dan Masyarakat Petani Dalam Mengawal Demokrasi Menuju Pemilih Berdaulat, Negara Kuat

Avatar of PortalMadura.Com
Sinergi Pemuda dan Masyarakat Petani Dalam Mengawal Demokrasi Menuju Pemilih Berdaulat, Negara Kuat
Abdur Rahem

bukan sekadar mengenai prosedur tetapi juga mengenai kekuasaan politik yang setara menyangkut urusan publik. Perjuangan kesetaraan warga negara, rule of law dan penegakan keadilan, kebebasan dan hak-hak, serta perluasan pendidikan adalah berupa bagian dari demokrasi itu sendiri.

Mengenai rule of law bisa terangkum dalam gagasannya Samuel Huntington tentang perlunya rule of law, lembaga-lembaga kenegaraan yang kuat, serta “politik ketertiban” mendahului kedaulatan rakyat (Huntington 1965).

Berdaulat adalah mempunyai kekuasaan tertinggi atas suatu pemerintahan bernegara atau daerah (KBBI). Secara personal berdaulat artinya mempunyai kekuasaan penuh terhadap hak-hak yang dimiliki secara asasi dengan terjaminnya suatu kebebasan, termasuk kebebasan dalam menentukan pilihan politik saat pemilu.

Terwujudnya pemilih berdaulat dan negara kuat hingga saat ini masih menjadi cita-cita dalam pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Meski dalam perjalanannya, proses demokrasi di negeri ini terus melakukan pembenahan untuk menemukan ciri khasnya semenjak pelaksanaan Pemilu secara langsung pada tahun 2004 lalu.

Dalam hal regulasi untuk menentukan wakil rakyat di parlemen misalnya, regulasi yang diterapkan tidak statis. Mulai dari penerapan sistem nomor urut pada awal pelaksanaan Pemilu yang kemudian diganti dengan jumlah suara partai terbanyak.

Namun demikian, eksistensi Indonesia sebagai negara yang menganut system demokrasi diakui atau tidak sudah mendapat pengakuan dari dunia internasional.

Hal itu dibuktikan dengan keberhasilan bangsa ini melaksanakan pemilihan secara langsung, baik pemilihan umum, Pilpres dan Pilkada, dengan aman dan tertib.

Pengalaman dalam melaksanakan beberapa pemilihan ini seharusnya dapat meningkatkan kualitas demokrasi yang sedang di jalankan. Namun faktanya, hingga satu dasawarsa berlalu sejak pelaksanaan pemilu secara langsung, terwujudnya pemilih berdaulat dan negara kuat ternyata masih jauh panggang dari api.

Duel kontestasi politik tidak begitu bermutu. Ide atau gagasan cemerlang di kalahkan oleh hiruk pikuk ejekan dan saling caci dan tidak lagi mempertontonkan semangat visioner. Segala jenis keramaian hanya berupa sensasi dengan mengabaikan esensi.

Rasa gagah memenuhi dada ketika ejekan disambut gempita oleh sesama pendukung. Sahut menyahut di dunia maya melambungkan kebanggaan kubu. Semacam ketagihan massal, ejekan menjadi obat perangsang politik.

Kepuasan tersebut seolah menyampaikan pesan bahwa “Aku mengejek, maka aku ada“.

Pemikiran yang demikian bukan hanya sekadar pandangan kosong belaka. Hal ini dapat dilihat dari minimnya antusiasme masyarakat dalam melaksanakan pemilu untuk memilih wakilnya dalam lembaga pemerintahan.

Setiap regulasi yang dirumuskan terlalu fokus terhadap pelaksanaan dan hasil demokrasi tanpa memikirkan kematangan berdemokrasi masyarakat.

Di lain hal kita harus sadar bahwa negeri ini didirikan dengan pikiran yang kuat bahwa kemerdekaan harus di isi pengetahuan. Kemerdekaan adalah hasil siasat intelektual, olah pikir, dan olah rasa, oleh yang berbahasa maupun yang bersenjata.

Beberapa elemen yang menjadi “korban” dalam situasi ini di antaranya yakni para pemuda dan masyarakat petani yang tersebar di seluruh negeri.

Dua pihak ini cenderung hanya dijadikan sebagai lumbung suara yang kemudian diabaikan tatkala keinginan politik sudah tercapai. Keberadaan mereka hanya dimanfaatkan oleh kebanyakan oknum elit untuk mewujudkan hasrat politik yang didambakan.

Masyarakat Indonesia (Pemuda dan Petani) kita saat ini kebanyakan masih berpikir konservatif dengan menganggap bahwa ukuran sukses dalam hidup adalah banyaknya materi yang dimiliki (rumah, mobil, uang, dan harta lain).

Passion (rasa cinta terhadap sesuatu) kurang di hargai. Akibatnya sebuah kreatifitas kalah popular dengan profesi dokter, lawyer, dan sejenisnya yang dianggap bisa lebih cepat menjadikan seseorang untuk memiliki kekayaan banyak (Prof. Ng Aik Kwang, University of Queensland “Why Asians Are Less Creative Than Westerners's 2001).

Banyaknya kekayaan yang di miliki lebih dihargai dari pada cara memperoleh kekayaan tersebut. Tidak heran jika masyarakat Indonesia (pemuda dan petani) lebih banyak yang menyukai cerita, novel, sinetron atau film yang bertema orang miskin jadi kaya raya mendadak karena menemukan harta karun, atau di jadikan istri oleh seorang pangeran. Juga tidak heran jika prilaku koruptif pun di tolelir/ di terima sebagai sesuatu yang wajar.

Seringkali juga kita kiasi dan kiasu (takut salah dan takut kalah). Akibatnya sifat ekspoloratif sebagai upaya memenuhi rasa penasaran dan keberanian untuk mengambil resiko kurang di hargai dan tidak mendapat tempat.

Kondisi demikian semakin diperparah dengan tidak adanya perhatian dan sinergi dari para pemuda (baca: kaum terpelajar) untuk memberikan pemahaman konprehensif dan kesadaran politik kepada masyarakat petani yang kebanyakan dari mereka merupakan masyarakat awam.

Hal tersebut jelas akan semakin mempersulit terwujudnya pemilih berdaulat yang menggunakan hak pilihnya tidak berdasarkan terhadap pertimbangan praktis. Apalagi sistem pendidikan kita saat ini masih menganut metode hapalan berbasis kunci jawaban dengan di jejali sebanyak mungkin pelajaran, bukan pada pengertian. Akibatnya ia menjadi tahu sedikit-sedikit tentang banyak hal tapi tidak menguasai apapun.

Untuk menciptakan pemilih berdaulat, disinilah sesungguhnya diperlukan sinergi antara pemuda dan masyarakat petani. Singkatnya gerakan demokrasi yang berupa kedaulatan harus memiliki kesatuan ideologis maupun koordinasi yang ditanamkan di setiap level, setiap kasta, dan setiap kelas sosial.

Sejauh ini kebanyakan dari para actor demokrasi hanya berhubungan dengan bagian-bagian khusus penduduk. Para aktivis hanya bergulat di lokalitas lokalitas khusus, sedikit terlibat secara langsung dengan para petani.

Perestasi besarnya ialah mengumpulkan dan menyebarkan informasi, berkiprah dalam kegiatan kegiatan lobi dan sebagai kelompok penekan. Otoritas dan legitimasi mereka berkaitan erat dengan privilese pengetahuan mereka. Mereka tidak memiliki koneksi yang bagus dengan gerakan sosial dan kerakyatan yang lebih membumi seperti ‘kaum tani'. Jika ada suatu kegiatan, itupun terkadang hanya di laksanakan di saat momentum momentum khusus, musiman.

Jika mengacu pada data Badan Pusat Statistik tahun 2013, jumlah petani di Indonesia mencapai 14,1 juta rupiah. Angka ini cukup besar untuk memberikan perubahan dalam wajah demokrasi bangsa. Apalagi, masyarakat petani selalu dipandang sebelah mata karena masih keawaman-nya dalam urusan politik untuk meraih suara dalam pemilihan umum.

Pemilihan Umum merupakan mekanisme terpenting untuk memfasilitasi kompetisi politik secara damai dan tertib dalam rangka menghasilkan pemerintahan yang memiliki legitimasi. Hal ini karena pemilu merupakan instrument politik paling spesifik yang dapat dibentuk dan dimodifikasi untuk mencapai tujuan tersebut.

Dengan kata lain, pemilu dapat direncanakan sedemikian rupa untuk mencapai tujuan tertentu, sehingga dapat memberikan ganjaran bagi tipe tindakan- tindakan tertentu dan mengekang tindakan-tindakan lainnya.

Pelaksanaan pemilu demokratis beserta prosedur-prosedur yang digunakannya, dan termasuk desain kelembagaan yang terlibat di dalamnya, menjadi instrument dasar yang diharapkan dapat membangun konsensus dan budaya politik warga negara. Sistem pemilu, perangkat hukum dan perundang-undangan, serta kelembagaan penyelenggara dapat didesain sedemikian rupa sesuai dengan konteks yang ada.

Penyelenggaraan Pemilihan Umum merupakan upaya penataan politik dan pemerintahan melalui proses politik yang dirancang guna memberi ruang bagi kekuatan politik dan masyarakat untuk terlibat dalam menentukan pemimpin daerah. Bersamaan dengan restrukturisasi ruang publik tersebut, suatu kesadaran baru muncul akan pentingnya menegakkan kedaulatan rakyat dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum. Hal ini merupakan tantangan besar untuk mampu mengejawantahkan penegakan kedaulatan rakyat dalam pemungutan suara.

Pemilu merupakan sebuah instrumen demokrasi dalam rangka menjalankan siklus pergantian elit. Pemilu tersebut merupakan manajemen konflik untuk mengatasi perputaran/pergantian elit politik. Dengan pemilu tersebut diharapkan proses pergantian elit politik di sebuah daerah dapat berjalan dengan aman dan damai tanpa adanya pertumpahan darah.

Untuk menjamin pergantian elit yang aman dan damai tersebut, maka diperlukan sebuah pemilu yang jujur, adil dan demokratis. Hal ini sangat diperlukan agar pihak-pihak yang berkompetisi dalam pemilu tersebut merasa puas karena tidak dicurangi. Dengan demikian, pihak yang kalah dalam pemilu akan dapat menerima hasil pemilu tersebut dan mendukung sang pemenang.

Harus dipahami pula, Pemilihan Umum wajib dilaksanakan dengan berpedoman pada dua asas. Pertama adalah asas penyelenggara dari pelaksana penyelenggaraan pemilu, dan kedua adalah asas penyelenggaraan pemilu itu sendiri. Pada asas penyelenggaraan, Pemilu harus dilaksanakan secara efektif dan efisien berdasar asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil, yaitu :

Langsung
Berarti pemilih diharuskan memberikan suaranya secara langsung dan tidak boleh diwakilkan.

Umum
Berarti pemilihan umum dapat diikuti seluruh warga negara yang sudah memiliki hak menggunakan suara.

Bebas
Berarti pemilih diharuskan memberikan suaranya tanpa ada paksaan daripihak manapun.

Rahasia
Berarti suara yang diberikan oleh pemilih bersifat rahasia hanya diketahui oleh sipemilih itu sendiri.

Jurdil
Yang merupakan singkatan dari “Jujur dan Adil”. Asas jujur mengandung arti bahwa pemilihan umum harus dilaksanakan sesuai dengan aturan untuk memastikan bahwa setiap warga negara yang memiliki hak dapat memilih sesuai dengan kehendaknya.

Asas adil adalah perlakuan yang sama terhadap peserta pemilu dan pemilih, tanpa ada pengistimewaan ataupun diskriminasi terhadap peserta atau pemilih tertentu.

Asas jujur dan adil mengikat tidak hanya kepada pemilih ataupun peserta pemilu, tetapi juga penyelenggara pemilu.

Sementara pada asas penyelenggara atau pelaksana, penyelenggaraan pemilu harus berpedoman pada asas: mandiri, jujur, adil, kepastian hukum, tertib, kepentingan umum, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas, akuntabilitas, efisiensi, dan efektivitas.

Sebagaimana amanat Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengisyaratkan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang.

Pemilihan Umum adalah salah satu sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayah berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 untuk memilih, sesuai dengan tuntutan dan perkembangan dinamika masyarakat, Pemilihan Umum, diselenggarakn untuk memilih pemimpin yang mampu meningkatan kesejahteraan dan taraf hidup masyarakat yang ada pada masing-masing daerah.

Sebagai bagian dari elemen masyarakat, pemuda dan masyarakat petani sepatutnya bersinergi, sebab ia memiliki peran sentral untuk ikut serta mendorong bagi berlangsungnya proses demokrasi melalui pemilu yang adil, karena elemen ini memiliki legalitas sbagai warga Negara untuk menciptakan pemilu yang berintegritas dan berkeadilan.

Partisipasi ini, yaitu kesediaan dan keberanian mereka untuk terlibat aktif partisipatif dalam meningkatkan kualitas pelaksanaan pemilu.

Undang-undang telah memberikan kewenangan besar kepada masyarakat dalam rangka melibatkan diri waktu pelaksanaan pemilu demi terwujudnya pemilu demokratis, mulai dari tahapan pendaftaran pemilih, penetapan peserta pemilu, kampanye, pemungutan dan penghitungan suara, maupun dalam tahapan rekapitulasi hasil penghitunga nsuara.

Pemuda dan masyarakat petani haruslah juga terlibat dalam mencegah terjadinya pelanggaran-pelanggaran pemilu, baik administrasi, pidana, sengketa.

Pelanggaran tersebut meliputi: manipulasi data pemilih; pemalsuan identitas pemilih; manipulasi syarat dukungan peserta pemilu, manipulasi kantor dan kepengurusan peserta pemilu; kampanye diluar jadwal; pemanfaatan fasilitas Negara untuk kepentingan kampanye; money politik; penyimpangan dana kampanye; penggunaan hak pilih lebih dari satu kali; penghilangan hak pilih; manipulasi hasil penghitungan suara; dan lain-lain.

Akhirnya, sinergitas antara pemuda dan masyarakat petani dalam mengawasi dan mengawal demokrasi menjadi sesuatu yang niscaya untuk mewujudkan pemilih yang berdaulat, agar negara menjadi kuat.(*)

Penulis : Abdur Rahem
(Panwaslu Kecamatan Lenteng, )

DAPATKAN UPDATE BERITA LAINNYA DI

google news icon

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.