5 Syarat Disebut ‘Mampu’ Tunaikan Ibadah Haji

Avatar of PortalMadura.com
5 Syarat Disebut 'Mampu' Tunaikan Ibadah Haji
ilustrasi (detik.com)

PortalMadura.Com – Haji merupakan salah satu ibadah yang wajib dikerjakan oleh umat Islam yang mampu. Sebagaimana firman Allah SWT: “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang mampu mengadakan perjalanan ke Baitullah,” (QS Ali Imran 97).

Nah, jika berbicara mengenai kata ‘mampu’ seperti yang disebutkan dalam ayat di atas, ulama membaginya menjadi dua kategori. Pertama, mampu melaksanakan haji dengan dirinya sendiri. Kedua, mampu melaksanakan haji dengan digantikan orang lain, melansir dari laman okezone.com, Minggu (14/7/2019).

Baca Juga: 5 Pelajaran yang Bisa Dipetik dari Pelaksanaan Ibadah Haji

Untuk kategori yang pertama, seseorang bisa dikatakan mampu mengerjakan ibadah haji dengan dirinya sendiri bila bisa memenuhi lima syarat berikut ini:

Kesehatan Jasmani

Haji termasul dalam ibadah yang membutuhkan tenaga ekstra, sehingga kondisi tubuh harus benar-benar sehat dan memungkinkan untuk melaksanakan rangkaian ibadah tersebut

Adapun orang yang memiliki penyakit permanen atau tua renta yang dimungkinkan tidak kuat dalam menjalani aktivitas manasik dan menempuh perjalanan jauh, maka tidak dikategorikan orang yang mampu menjalankan haji dengan dirinya sendiri, begitu pula dengan orang yang lumpuh.

Akan tetapi, hal ini hukumnya menyesuaikan kemampuan finansial yang dimiliki. Bila mereka memiliki dana yang cukup untuk menyewa orang lain agar menggantikan hajinya, maka wajib dilakukan.

Syekh Sa’id bin Muhammad Ba’asyin berkata: “Syarat wajib kelima adalah orang yang berhaji dapat menetap di kendaraan dengan tanpa kepayahan yang sangat, andai tidak seperti itu maka tidak wajib untuk melaksanakan haji dengan dirinya sendiri.Akan tetapi ia adalah orang lumpuh dan akan ada penjelasannya nanti” (Al-Syekh Sa’id bin Muhammad Ba’asyan, Busyra am-Karim, juz 2, hal. 88).

Sarana Transportasi yang Memadai

Jika jarak rumah orang yang berhaji ke tanah suci sekitar 2 marhalah atau lebih, maka kewajiban haji baginya disyaratkan adanya sarana transportasi yang layak untuk bisa digunakan pergi haji, baik dengan menyewa atau memilikinya sendiri. Ketentuan ini juga berlaku bagi orang yang rumahnya dekat dengan tanah suci, namun tidak mampu menempuh perjalanan menuju tanah haram dengan berjalan kaki.

Syekh Zainuddin Abdul Aziz Al-Malibari berkata: “Dan adanya kendaraan atau ongkosnya ketika jarak antara ia dan Mekkah 2 marhalah atau dibawah 2 marhalah tetapi ia tidak mampu untuk berjalan” (Syekh Zainuddin Abdul Aziz Al-Malibari, Fathul Muin Hamisy Hasyiyah I’anah al-Thalibin, Al-Hidayah, juz 2, hal. 282).

Dalam konteks jemaah haji di Indonesia, syarat kedua ini bisa diartikan memiliki biaya sewa pesawat dan alat transportasi yang dibutuhkan selama menjalani manasik.

Seperti dilansir dari laman NU Online, sarana transportasi yang dimaksud di atas disyaratkan melebihi kebutuhan sandang pangan, bagi dirinya dan keluarga yang wajib ditanggung nafkahnya, terhitung sejak keberangkatan sampai pulang menunaikan ibadah haji.

Begitu pula, disyaratkan melebihi dari utangnya serta harta yang wajib ditunaikan untuk membantu fakir miskin yang mengalami darurat sandang pangan. Dalam fiqih, membantu mereka hukumnya fardu kifayah (wajib kolektif). Dengan demikian, orang yang keluarganya terkatung-katung, tetangganya kelaparan atau utangnya menumpuk, tidak berkewajiban berangkat haji.

Maka dari itu, perlu banyak kesadaran dari umat Islam bahwa agama hanya mewajibkan haji bagi orang yang mempunyai ongkos pembiayaan haji setelah nafkah wajib dan tanggungan kepada orang lain terpenuhi, sehingga tidak berdampak mengorbankan hak-hak orang lain yang wajib ditunaikan.

Syekh Abdullah bin Husain Thohir bin Muhammad bin Hasyim Ba’alawi berkata: “Wajib haji dan umrah seumur hidup sekali bagi muslim, merdeka, mukallaf dan mampu terhadap hal yang dapat mengantarkan dan memulangkannya ke tanah airnya, yang melebihi utangnya, tempat tinggalnya, sandangnya yang layak dan dari biaya orang yang wajib dibiayai selama pergi dan pulang haji,”(Syekh Abdullah bin Husain Thahir bin Muhammad bin Hasyim Ba’alawi, Sullam Al-Taufiq, Kediri, Maktabah Al-Salam, hal. 60-61).

Syekh Sayyid Abu Bakr bin Sayyid Muhammad Syatha Al-Dimyati berkata: “Yang dikehendaki dari orang yang wajib dinafkahi adalah istri, kerabat, budak yang dimilikinya yang dibutuhkan untuk melayaninya, dan orang-orang Islam yang sangat membutuhkan walaupun bukan kerabatnya karena alasan yang disebutkan dalam bab Al-Sair (jihad) bahwa membantu orang-orang Islam yang sangat membutuhkan dengan cara memberi makan orang yang kelaparan, memberi pakaian orang-orang yang telanjang (tidak punya pakaian) dan selainnya merupakan kewajiban bagi orang yang memiliki lebih dari kecukupan satu tahun. Mayoritas orang acuh terhadap hal ini, bahkan orang yang disebut-sebut saleh sekalipun” (Syekh Sayyid Abu Bakr bin Sayyid Muhammad Syatha Ad-Dimyati, I’anah At-Tholibin, al-Hidayah, juz 2, hal 282).

Ketentuan di atas berdasarkan sabda Rasulullah ketika beliau menjelaskan ayat “Man Istatha’a Ilaihi Sabila”. Disebutkan dalam sebuah riwayat beliau bersabda: “Diriwayatkan dari Anas bin Malik R.A beliau berkata: “Ditanyakan kepada Rasulullah, wahai Rasulullah apa makna Al-Sabil dalam ayat ini?. Beliau menjawab; bekal dan kendaraan” (H.R Al-Hakim, hadis sahih yang memenuhi standar kualifikasi versi al-Bukhari dan Muslim).

Aman

Syarat ketiga yaitu aman, maksudnya adalah terjaminnya keselamatan nyawa, harta dan harga diri seorang Muslim selama perjalanan dan pelaksanaan ibadah haji, sehingga andai saja terjadi beberapa hal yang dikhawatirkan mengancam keamanan seperti peperangan, perampokan atau cuaca buruk yang menghambat perjalanan menuju tanah suci, maka tidak wajib melaksanakan haji.

Saat ini terjaminnya keamanan calon jemaah haji sudah sangat baik dengan pengawasan maksimal oleh pihak-pihak yang bertugas. Demikian pula dengan proses perjalanan menuju Mekkah-Madinah, sudah sedemikian canggih dengan servis pelayanan yang menjamin keselamatan jemaah haji. Maka hampir dipastikan tidak ada kendala yang signifikan untuk masalah ini.

Syekh Zainuddin Al-Malibari berkata: “Dan disyaratkan bagi wajibnya haji, amannya jalan bagi diri sendiri dan harta walaupun dari perampok, walaupun hanya sedikit yang diambil. Serta dugaan kuat keselamatan bagi orang yang menaiki perahu, maka bila kemungkinan besar terjadi kematian karena dahsyatnya ombak di sebagian keadaan atau persentasenya sama, maka tidak wajib, bahkan haram melaksanakan perjalanan jalur laut bagi dirinya dan orang lain” (Syekh Zainuddin Abdul Aziz Al-Malibari, Fathul Muin Hamisy Hasyiyah Ianah at-Thalibin, juz 2, hal. 282 Al-Hidayah).

Perginya Perempuan dengan Suami, Mahram, atau Beberapa Perempuan yang dapat Dipercaya

Syari’at memberikan perhatian khusus bagi jemaah haji wanita. Islam memerintahkan untuk kaum perempuan yang akan melaksanakan haji harus didampingi suami, mahram atau sekelompok wanita yang bisa dipercaya. Hal ini tidak lain karena adanya larangan bagi wanita menempuh perjalanan dengan sendirian (terlebih perjalanan jauh seperti haji), sehingga sangat mengkhawatirkan keselamatan nyawa, harga diri dan hartanya.

Untuk itu, bila tidak ada suami, mahram atau beberapa perempuan yang bisa dipercaya yang menemaninya, seorang wanita tidak wajib haji. Syekh Abu Zakariya Yahya bin Syaraf Al-Nawawi berkata: “Dan bagi perempuan dia harus keluar bersamaan dengan suami, mahram atau beberapa perempuan yang dapat dipercaya” (Al-Imam Abu Zakariya Yahya bin Syaraf Al-Nawawi, Minhaj Al-Thalibin Hamisy Hasyiyah Qalyubi dan Umairah, Al-Hidayah, juz 2, hal. 113).

Rentang Waktu yang Memungkinkan untuk Menempuh Perjalanan Haji

Pelaksanaan ibadah haji yang terbatas dibandingkan umrah yang waktunya lebih leluasa, sehingga dalam syarat wajib haji, harus ada waktu yang memungkinkan untuk menempuh perjalanan dari tanah air menuju Mekkah.

Syekh Muhammad Nawawi bin Umar bin Ali Al-Jawi berkata: “Syarat wajib haji selanjutnya adalah adanya waktu yang mencukupi untuk perjalanan haji dari negaranya ke Mekkah,” (Syekh Abu Abdil Mu’thi Muhammad Nawawi bin Umar bin Ali Al-Jawi, Nihayah Al-Zain, Al-Haramain, hal. 202). Wallahu A’lam.

DAPATKAN UPDATE BERITA LAINNYA DI

google news icon

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.