[ANALISIS] Wajah Politik Dinasti Indonesia dalam Pilkada Serentak 2020

Avatar of PortalMadura.com
Pilkada Sumenep 2020
Ilustrasi @portalmadura.com

PortalMadura.Com – Wajah politik dinasti di Indonesia semakin kentara dalam pemilihan umum kepala daerah (Pilkada) serentak 2020 yang akan digelar 9 Desember.

Sejumlah calon kepala daerah yang diusung partai politik memiliki hubungan keluarga dan kerabat dengan petinggi partai politik di tingkat pusat.

Partai politik pengusung calon kepala daerah tidak segan mendukung calon kepala daerah dari partai penguasa, meski di tingkat pusat partai tersebut sering terlihat kontra dengan pemerintah.

Sebagai contoh, dari jejeran calon kepala daerah di Tangerang Selatan, Banten, terselip nama anak Wakil Presiden KH Ma'ruf Amin, yakni Siti Nur Azizah, yang mendapat dukungan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

Selama ini PKS dikenal kontra dengan pemerintahan Presiden Joko Widodo, namun dapat mendukung Wakil Presiden Ma'ruf Amin. Nur Azizah sendiri adalah pengurus pusat Partai Demokrat, yang saat ini tidak masuk dalam pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Di Tangerang Selatan pula, Partai Nur Azizah diperkirakan akan berhadapan dengan partai pendukung Presiden Joko Widodo, yakni PDI Perjuangan. Partai pemenang suara terbanyak pada pemilu anggota DPR RI itu mengusung keponakan Menteri Pertahanan yang juga Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, Rahayu Saraswati Djojohadikusumo sebagai calon wakil walikota.

Sedang calon wali kota Tangerang Selatan yang diusung PDI Perjuangan adalah Muhammad yang saat ini menjabat Sekretaris Daerah Kota Tangerang Selatan.

Sorotan lainnya mengarah kepada keluarga dan kerabat Presiden Joko Widodo sendiri.

Pada pengumuman resmi calon kepala daerah gelombang ketiga pada Selasa, PDI Perjuangan esmi mencalonkan menantu Presiden Joko Widodo Bobby Nasution menjadi calon wali kota Medan dalam Pilkada 2020.

Bobby Nasution masuk dalam daftar 75 calon kepala daerah yang diumumkan Ketua DPP PDI Perjuangan Bidang Politik Puan Maharani.

Ketua DPP PDI P Bidang Politik Puan Maharani mengatakan, Bobby Nasution sebagai calon wali kota akan berpasangan dengan Aulia Rahman dalam Pilkada 2020.

“Selamat bergabung Mas Bobby,” kata Puan saat mengumumkan 75 calon kepala daerah pada Selasa.

Selain menantu, pada pengumuman sebelumnya, 17 Juli lalu, PDI Perjuangan mengusung anak kandung Presiden Joko Widodo yakni Gibran Rakabuming untuk menjadi calon walikota Solo pada Pilkada 2020.

Gibran pun langsung mengucapkan terima kasih kepada Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri yang telah merekomendasikan dirinya maju dalam Pilkada.

“Saya akan segera melakukan komunikasi intensif, konsolidasi internal, anak cabang hingga tingkat ranting di PDIP Kota Surakarta mengikuti arahan Ketua DPC Bapak FX Hadi Rudyatmo,” kata Gibran dalam sambutannya.

Gibran lebih dipilih Megawati Soekarnoputri dibandingkan Wakil Walikota Solo Achmad Purnomo yang sebelumnya juga digadang-gadang untuk maju dalam pemilihan walikota pada Desember 2020.

Gibran pun disebut-sebut mendapat dukungan hampir seluruh partai di Solo, diperkirakan akan menjadi calon walikota tunggal.

Lawan Gibran hanya merupakan calon independen yang tengah mengumpulkan dukungan KTP warga.

Mengenai tudingan terkait politik dinasti, Gibran pada 27 Juli lalu melalui diskusi virtual mengatakan bahwa dirinya bisa kalah dalam Pilwakot Solo 2020.

Dia pun tidak mewajibkan masyarakat untuk memilih dirinya karena Pilwakot merupakan kontestasi politik.

“Jadi, tidak ada kewajiban untuk mencoblos saya, ini kan kontestasi bukan penunjukkan. Jadi, kalau yang namanya dinasti politik, di mana dinasti politiknya? Saya juga bingung kalau orang bertanya seperti itu,” kata Gibran.

Dia mengklaim masyarakat di Solo pun mengerti dan menerima dengan dinasti politik.

“Warga menerima saya dengan tangan terbuka. Kalau yang masih meributkan politik dinasti itu kan ya dari, ya kita tahu orang orangnya siapa, dan yang diributkan itu itu saja,” pungkas dia.

Kegagalan Partai

Tidak hanya keluarga Presiden Joko Widodo, anak dari Menteri Sekretaris Kabinet Pramono Anung, Hanindhito Himawan Pramono juga resmi diusung oleh partai pemenang Pemilu 2019 itu maju dalam pemilihan calon bupati Kediri.

Dhito sapaan akrab Hanindhito Himawan Pramono juga dituding merupakan calon tunggal dalam Pilkada 2020 mendatang dan dipastikan menang.

Mengenai tudingan Gibran dan Dhito yang akan melawan kotak kosong, Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto mengakui hal tersebut.

Menurut dia melawan kotak kosong menunjukkan bahwa basis legitimasi yang dimiliki keduanya sangat kuat.

Dan kotak kosong juga bagian dari demokrasi yang sehat, jelas dia.

“Mahkamah Konstitusi telah mengatur, ketika ada kecenderungan orang menjadi calon tunggal karena basis legitimasinya cukup kuat, maka tetap masyarakat diberikan opsi kotak kosong. Jadi itu juga sebuah proses demokrasi yang sehat,” kata Hasto pada 24 Juli lalu dalam diskusi virtual.

Mengenai tudingan politik dinasti, Hasto menilai tuduhan tersebut tidak berdasar.

Sebab kata dia, masyarakat yang nantinya menentukan keterpilihan sosok berdasarkan kinerja, pengalaman dan kepemimpinannya.

“Masyarakat pada akhirnya melihat rasional. Yang dilihat adalah aspek kepemimpinan, aspek kinerja, aspek terhadap berbagai program yang ditawarkan oleh calon pemimpin, itu yang tetap menjadi dominan, dan menjadi referensi dari masyarakat untuk memilih,” kata Hasto.

Hasto menganggap tudingan politik dinasti itu hanya menjadi bagian dari dialektika politik yang menyempurnakan seluruh rasionalitas publik.

Menanggapi hal tersebut, Pengamat Politik Hendri Satrio menilai politik dinasti di Indonesia tidak mungkin dihindari karena merupakan hak di dalam demokrasi.

Dia pun menyatakan dengan sistem demokrasi Indonesia, tidak menutup kemungkinan adanya orang-orang yang dekat ataupun kerabat yang sedang menjabat maju dalam pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah.

“Itu memang konsekuensi dari demokrasi,” kata Hendri kepada.

Pengamat politik Universitas Al Azhar Indonesia Ujang Komaruddin menyampaikan majunya Gibran dan Bobby sudah dapat dikategorikan politik dinasti.

“Karena yang didorong dari keluarga sendiri. Apalagi anak kandung dan anak mantu,” ujar Ujang.

Ujang mengatakan negara lain juga memiliki rekam jejak dinasti politik.

Namun, kata dia, politik dinasti di Indonesia terlalu dipaksakan dan tidak mengukur kualitas kandidat dalam pemilu.

Selain itu, lanjut Ujang, kandidat tersebut tidak memiliki pengalaman memimpin pemerintahan dan dipaksakan untuk jadi walikota di daerahnya masing-masing.

Ujang masih ingat Jokowi pernah berkata bahwa keluarganya tidak berminat masuk ke gelanggang politik. “Tapi itulah politik di Indonesia,” ucap dia.

Ujang menyampaikan langkah politik dinasti juga bisa dibaca sebagai upaya PDI Perjuangan untuk tetap bercokol pada pemilu 2024.

“Karena kita tahu, PDIP di 2024 juga tidak ada capres yang menonjol,” terang Ujang.

Ujang menyampaikan situasi ini tidak menggembirakan bagi proses demokratisasi di Indonesia yang telah bergulir pasca reformasi.

“Selama 22 tahun reformasi, bukan demokrasi yang terkonsolidasi. Tapi oligarki dan dinasti politik. Tentu ini langkah mundur,” ucap dia.

Sedangkan Hendri Satrio menilai politik dinasti muncul karena kegagalan partai politik memberikan sosialisasi sehingga tidak memiliki kedekatan dengan publik dibandingkan nama besar keluarga atau individu.

“Partai politik kan pragmatis saja yang dikejar kekuasaan, kalau nama keluarga lebh besar dari partai politik ya sudah nama keluarga itu yang dipilih.,” kata dia.

Dia pun menilai penggunaan nama Presiden Joko Widodo dalam Pilkada 2020 nanti merupakan salah satu strategi PDI Perjuangan untuk menang di daerah untuk kepentingan pemilu 2024 mendatang.(*)

DAPATKAN UPDATE BERITA LAINNYA DI

google news icon

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.