Bagaimana Cara Menciptakan Sorga

Disda
Bagaimana Cara Menciptakan Sorga

PortalMadura.com – Di dunia yang fana ini, konsep sorga sering kali dibicarakan, dipertanyakan, dan dirindukan. Sorga, dengan segala imajinasi religius maupun filosofisnya, adalah tujuan akhir yang indah, sebuah keadaan yang sempurna di mana segala penderitaan lenyap dan keadilan abadi ditemukan.

Namun, bagaimanakah cara menciptakan sorga? Pertanyaan ini mengusik, menggugah rasa ingin tahu kita sebagai manusia, karena di dalam pertanyaan tersebut terkandung berbagai kontradiksi dan harapan yang tak tersampaikan.

Apakah sorga hanya sebuah ruang imaji yang hadir di luar kehidupan, atau dapatkah kita menciptakannya di bumi ini, di dalam kehidupan nyata?

Dalam menggali pertanyaan ini, saya ingin memulai dengan sebuah refleksi: Mengapa manusia begitu tertarik dengan konsep sorga? Apakah karena kita sadar bahwa kehidupan ini tidak pernah sempurna, dipenuhi ketidakadilan, penderitaan, dan kebingungan yang tak terjelaskan? Atau mungkin karena keinginan akan kesempurnaan, sesuatu yang secara inheren manusiawi, yang membuat kita selalu mengharapkan kondisi di mana kita dapat hidup dalam damai, harmonis, dan tanpa rasa takut.

Menciptakan sorga, dalam pengertian ini, bukan lagi sekadar tentang kehidupan setelah mati, tetapi tentang upaya manusia untuk mewujudkan kondisi ideal dalam kehidupan yang dijalaninya sekarang.

Dalam karya-karya sastra besar, seperti Divine Comedy karya Dante Alighieri, perjalanan manusia menuju sorga digambarkan sebagai perjalanan spiritual yang kompleks, penuh dengan cobaan dan introspeksi. Dante membayangkan sorga sebagai suatu tempat yang tidak hanya ditempati oleh kebahagiaan, tetapi juga oleh kebijaksanaan dan pemahaman yang dalam tentang hakikat kebaikan dan kejahatan.

Namun, dalam konteks sosial dan politik, perjalanan menuju sorga tidak hanya bersifat individu, tetapi juga kolektif. Ini adalah perjuangan sosial di mana komunitas berusaha menciptakan dunia yang lebih baik melalui penghapusan ketidakadilan, kekerasan, dan eksploitasi. Di sinilah muncul pertanyaan filosofis: dapatkah sorga diwujudkan melalui upaya politik dan sosial?

Filsuf Prancis, Jean-Paul Sartre, pernah berkata bahwa “neraka adalah orang lain.” Pernyataan ini menggambarkan pandangan eksistensialis tentang hubungan antar-manusia yang sering kali dipenuhi dengan konflik, salah paham, dan kekerasan. Dalam konteks ini, menciptakan sorga tidak hanya tentang menciptakan keadaan yang bebas dari penderitaan, tetapi juga tentang bagaimana kita berhubungan dengan orang lain, bagaimana kita hidup bersama dalam masyarakat yang sering kali kacau dan tidak adil.

Sorga, jika dilihat dari sudut pandang ini, mungkin dapat diciptakan melalui pemahaman yang lebih dalam tentang tanggung jawab kita terhadap orang lain, melalui upaya untuk mengurangi penderitaan bersama, dan melalui penghargaan terhadap martabat manusia yang tak tergantikan.

Namun, sejarah manusia dipenuhi dengan kisah-kisah tragis di mana upaya untuk menciptakan sorga justru berujung pada terciptanya neraka di bumi. Revolusi besar, dari Revolusi Prancis hingga Revolusi Bolshevik, semua dimulai dengan impian tentang masyarakat yang adil dan setara, sebuah visi tentang sorga di bumi. Tetapi, seperti yang kita ketahui, revolusi-revolusi ini sering kali berakhir dengan kekerasan, penindasan, dan tirani baru. Hal ini menimbulkan pertanyaan yang tak terelakkan: apakah sorga hanya bisa diciptakan melalui kekerasan, atau adakah cara lain untuk mewujudkannya? Apakah manusia mampu menciptakan sorga tanpa harus terlebih dahulu melewati neraka?

Dalam sejarah, ideologi politik sering kali menjadi alat untuk menjanjikan sorga kepada rakyat. Sosialisme, komunisme, kapitalisme, demokrasi liberal—semua ideologi ini menawarkan visi tentang masyarakat yang ideal di mana kebahagiaan, kesejahteraan, dan keadilan dapat terwujud. Namun, seperti yang dikemukakan oleh filsuf Jerman, Theodor Adorno, dalam bukunya Negative Dialectics, setiap janji tentang sorga di bumi selalu membawa serta bayangan kelamnya sendiri. Adorno mengingatkan kita bahwa dalam setiap proyek untuk menciptakan masyarakat yang ideal, ada bahaya bahwa kita akan mengorbankan individualitas, kebebasan, dan keberagaman atas nama keseragaman dan kontrol. Dengan kata lain, upaya untuk menciptakan sorga bisa berubah menjadi distopia jika kita tidak waspada terhadap kekuatan totalitarianisme yang mengintai di balik janji-janji kesempurnaan.

Dalam konteks budaya, pencarian akan sorga sering kali berakar pada tradisi-tradisi spiritual dan agama yang ada di setiap peradaban. Dalam tradisi Hindu, misalnya, konsep moksha menggambarkan kebebasan dari siklus kelahiran kembali sebagai jalan menuju sorga. Dalam tradisi Buddha, Nirvana adalah keadaan di mana semua keinginan dan penderitaan dihentikan, membawa pencerahan dan kedamaian abadi. Di dunia Barat, Kekristenan dan Islam berbicara tentang sorga sebagai tempat akhir bagi jiwa-jiwa yang telah menjalani kehidupan yang benar.

Tetapi, di luar konsep-konsep teologis ini, ada satu benang merah yang menghubungkan semua upaya manusia untuk menciptakan sorga: keinginan untuk mengakhiri penderitaan dan mencapai kebahagiaan yang abadi.

Dalam Utopia karya Thomas More, kita melihat salah satu representasi paling awal tentang bagaimana masyarakat ideal bisa diwujudkan di bumi. Namun, bahkan dalam Utopia More, ada ironi yang jelas: masyarakat ideal yang ia gambarkan ternyata penuh dengan aturan-aturan ketat, di mana kebebasan individu dibatasi demi kepentingan bersama. Di sinilah terletak paradoks besar dari upaya manusia untuk menciptakan sorga: bagaimana kita bisa menciptakan masyarakat yang ideal tanpa harus mengorbankan kebebasan, individualitas, dan keragaman yang membuat hidup ini bermakna?

Pertanyaan ini juga muncul dalam konteks globalisasi modern. Dengan berkembangnya teknologi, ekonomi global, dan pergerakan massal manusia lintas batas, kita kini hidup dalam dunia yang semakin terhubung.

Banyak yang berharap bahwa globalisasi akan membawa sorga baru, sebuah dunia di mana kemiskinan dapat dihilangkan, ketidakadilan diperbaiki, dan akses terhadap kesejahteraan menjadi lebih merata. Namun, kenyataannya, globalisasi juga menciptakan ketimpangan baru, memperdalam jurang antara kaya dan miskin, serta menciptakan krisis identitas dan kehancuran lingkungan yang mengancam keberlanjutan hidup di bumi. Apakah kita sedang menciptakan sorga atau neraka baru melalui globalisasi?

Dalam The Human Condition, Hannah Arendt menyatakan bahwa kondisi manusia di dunia ini adalah kondisi pluralitas. Kita tidak dapat hidup sendirian, kita selalu hidup bersama orang lain, dan dalam kebersamaan itulah terletak potensi untuk menciptakan sorga atau neraka. Arendt menekankan pentingnya tindakan politik yang didasarkan pada kebebasan, partisipasi, dan solidaritas untuk menciptakan ruang di mana manusia dapat menjalani kehidupan yang bermakna. Sorga, menurut Arendt, bukanlah tempat yang statis, tetapi sebuah proses yang terus-menerus, sebuah perjuangan tanpa akhir untuk menciptakan kondisi di mana kebebasan dan keadilan dapat berkembang.

Dalam esai ini, saya tidak berusaha menawarkan jawaban definitif tentang bagaimana cara menciptakan sorga. Sebaliknya, saya ingin mengajak pembaca untuk merenungkan bahwa upaya manusia untuk menciptakan sorga selalu diiringi oleh ketegangan antara harapan dan realitas, antara keinginan untuk mencapai kesempurnaan dan keterbatasan manusia itu sendiri.

Seperti yang dikatakan Albert Camus, hidup adalah pemberontakan yang tidak pernah berakhir melawan absurditas dunia ini. Dalam pemberontakan itu, mungkin kita dapat menemukan secercah cahaya, secercah harapan, bahwa sorga bukanlah tujuan akhir yang harus dicapai, tetapi sebuah proses yang harus dijalani.

Sorga, dengan segala kerumitan dan kontradiksinya, mungkin terletak dalam perjalanan kita untuk terus mencari kebaikan, keadilan, dan kebahagiaan di tengah dunia yang tidak pernah sempurna ini.

Bagaimanakah cara menciptakan sorga? Mungkin jawabannya tidak pernah tunggal, tetapi terletak dalam usaha kita untuk memahami dan menghadapi kompleksitas hidup ini dengan kebijaksanaan, kasih sayang, dan keberanian.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.