Belajar Berbicara

Disda
Belajar Berbicara

PortalMadura.com – Kata-kata adalah senjata paling purba yang dimiliki manusia. Dari bisikan lirih di gua-gua purba hingga pidato monumental di hadapan ribuan orang, kemampuan berbicara menjadi penentu jalannya peradaban. Kita, manusia, terpisah dari spesies lain bukan karena tangan kita yang bisa menggenggam, bukan pula karena kemampuan kita menciptakan alat, melainkan karena kita mampu berbahasa. Bahasa—terutama lisan—adalah alat yang digunakan untuk mengatur, merusak, dan membangun dunia. Namun, belajar berbicara bukan sekadar persoalan teknis atau biologis semata. Ia adalah sebuah proses sosial, politik, dan budaya yang melibatkan lebih dari sekadar mulut yang mengeluarkan suara.

Proses “belajar berbicara” tidaklah sesederhana bayi yang mulai merangkai kata pertama mereka. Di balik itu, terdapat lapisan-lapisan norma, struktur kekuasaan, sejarah, dan filosofi yang membentuk setiap kata yang kita ucapkan. Dalam konteks sosial-politik Indonesia, berbicara bisa menjadi tindakan yang amat kompleks—berbicara untuk menyuarakan kebenaran, berbicara untuk membela diri, atau berbicara sekadar untuk dipahami.

Bahasa dan Kekuasaan

Michel Foucault, seorang filsuf asal Prancis, pernah mengatakan bahwa “kekuasaan bukan hanya sesuatu yang dimiliki, melainkan sesuatu yang dihasilkan dan diatur melalui praktik-praktik sosial.” Dalam praktik tersebut, bahasa memiliki peran sentral. Ia tidak hanya digunakan untuk mengomunikasikan makna, tetapi juga untuk mengatur dan menata kekuasaan. Di Indonesia, kita melihat betapa bahasa digunakan untuk melegitimasi kekuasaan. Contoh paling jelas adalah pada masa Orde Baru, ketika bahasa dijadikan alat untuk mengontrol narasi sejarah dan wacana politik. Pidato-pidato Soeharto, dengan kalimat-kalimatnya yang pendek dan sering kali datar, tidak sekadar mencerminkan gaya berbicara seorang presiden, tetapi juga menggambarkan cara kekuasaan itu bekerja—penuh kendali, tanpa ruang untuk diskusi.

Berbicara dalam konteks ini menjadi suatu keistimewaan yang tidak dimiliki semua orang. Mereka yang berada di luar lingkar kekuasaan akan sulit mendapatkan ruang untuk berbicara. Jika pun mereka berbicara, kata-kata mereka bisa saja diredam, disalahartikan, atau bahkan dibungkam. Kita bisa melihat contoh kasus seperti Marsinah, seorang buruh pabrik yang dibunuh karena berani berbicara membela hak-hak buruh. Suaranya yang mencoba melawan ketidakadilan pada akhirnya harus dibungkam secara brutal.

Namun, di sisi lain, kita juga harus memahami bahwa kekuasaan yang bekerja melalui bahasa tidak melulu negatif. Ia juga bisa digunakan untuk melawan dan meruntuhkan struktur kekuasaan itu sendiri. Gerakan Reformasi 1998 adalah salah satu contoh bagaimana berbicara, dalam bentuk demonstrasi dan penyampaian pendapat, bisa mengubah tatanan politik. Kata-kata yang diucapkan oleh mahasiswa di jalanan, yang pada awalnya dianggap angin lalu, perlahan-lahan membesar dan menjadi kekuatan yang tak terbendung. Di sini, kita melihat bahwa berbicara bukan hanya sebuah keterampilan teknis, tetapi juga sebuah kekuatan politik.

Bahasa dan Identitas

Bahasa juga tidak bisa dilepaskan dari identitas. Dalam bukunya “Imagined Communities,” Benedict Anderson menjelaskan bagaimana bahasa menjadi salah satu elemen utama dalam membentuk identitas nasional. Di Indonesia, bahasa Indonesia adalah alat pemersatu yang sangat kuat. Namun, di balik itu, ada kompleksitas yang tidak bisa diabaikan. Sebagai negara dengan ribuan bahasa daerah, Indonesia harus berjuang untuk mempertahankan kesatuan tanpa menghilangkan identitas lokal. Dalam konteks ini, belajar berbicara bukan hanya berarti belajar bahasa Indonesia, tetapi juga belajar bagaimana menavigasi identitas dalam keragaman.

Kita bisa melihat bagaimana bahasa daerah masih bertahan di berbagai wilayah Indonesia, meskipun dominasi bahasa Indonesia semakin kuat. Di Jawa, misalnya, bahasa Jawa masih digunakan dalam berbagai konteks formal dan informal. Namun, di balik itu, ada lapisan kompleksitas sosial yang perlu dipahami. Bahasa Jawa memiliki tingkatan-tingkatan (ngoko, krama, dan krama inggil) yang mencerminkan hirarki sosial. Belajar berbicara dalam bahasa Jawa tidak hanya berarti belajar kata-kata, tetapi juga memahami kapan dan kepada siapa kita harus menggunakan tingkatan bahasa tertentu.

Hal ini mengingatkan kita pada teori “habitus” dari Pierre Bourdieu, yang menjelaskan bahwa tindakan sosial kita, termasuk cara kita berbicara, sangat dipengaruhi oleh struktur sosial tempat kita berada. Dalam masyarakat yang sangat hierarkis seperti di Jawa, berbicara menjadi sebuah tindakan yang sarat makna sosial. Berbicara dengan bahasa yang salah pada orang yang salah bisa dianggap sebagai pelanggaran terhadap norma sosial.

Apakah Berbicara itu Bebas?

Jika kita merenungkan lebih jauh, berbicara bukanlah tindakan yang sepenuhnya bebas. Dalam banyak hal, kita terikat oleh norma-norma sosial, budaya, dan politik yang membatasi apa yang bisa dan tidak bisa kita katakan. Ludwig Wittgenstein, dalam “Tractatus Logico-Philosophicus,” mengatakan bahwa “batas-batas bahasa saya adalah batas-batas dunia saya.” Artinya, apa yang bisa kita katakan sangat ditentukan oleh struktur bahasa yang kita miliki. Bahasa bukanlah cermin yang netral dari realitas, tetapi ia membentuk realitas itu sendiri.

Namun, apakah ini berarti kita sepenuhnya terjebak dalam bahasa? Tidak juga. Di sinilah letak keindahan dari bahasa: meskipun ia membatasi, ia juga memberikan ruang untuk berkreasi. Penyair, misalnya, menggunakan bahasa untuk menciptakan dunia baru yang sebelumnya tidak ada. Begitu juga dengan para aktivis dan pembela hak asasi manusia, mereka menggunakan bahasa untuk menggoyang struktur kekuasaan yang mapan. Dalam konteks ini, belajar berbicara juga berarti belajar untuk membebaskan diri dari belenggu-belenggu yang ada dalam bahasa itu sendiri.

Berbicara dalam Konteks Digital

Dalam beberapa dekade terakhir, cara kita berbicara telah berubah secara drastis dengan hadirnya teknologi digital. Media sosial, blog, podcast, dan platform lainnya memberikan ruang bagi siapa saja untuk berbicara. Ini adalah perkembangan yang menggembirakan, tetapi juga mengkhawatirkan. Di satu sisi, teknologi digital telah mendemokratisasi akses terhadap ruang publik, memberikan kesempatan bagi orang-orang yang sebelumnya tidak memiliki suara untuk berbicara. Di sisi lain, munculnya algoritma dan kecenderungan “bubble” dalam media sosial telah menciptakan ruang-ruang yang terfragmentasi, di mana kita hanya mendengar apa yang ingin kita dengar.

Fenomena ini mengingatkan kita pada konsep “linguistic relativity” atau hipotesis Sapir-Whorf, yang menyatakan bahwa bahasa membentuk cara kita melihat dunia. Dalam dunia digital, kita semakin terperangkap dalam “bahasa” yang diciptakan oleh algoritma. Algoritma ini memfilter apa yang kita lihat dan dengar, sehingga membatasi perspektif kita terhadap dunia. Akibatnya, kita tidak benar-benar “berbicara” satu sama lain, melainkan berbicara dalam gelembung-gelembung yang terisolasi.

Apakah Kita Diajar untuk Benar-benar Berbicara?

Pendidikan formal sering kali memandang berbicara sebagai keterampilan teknis. Kita diajari bagaimana mengucapkan kata-kata dengan jelas, bagaimana menyusun kalimat yang baik, dan bagaimana berbicara di depan umum dengan percaya diri. Namun, apakah itu cukup? Dalam esensi yang lebih dalam, belajar berbicara seharusnya juga mencakup belajar mendengarkan. Karena pada dasarnya, berbicara yang baik adalah berbicara yang lahir dari pemahaman yang mendalam tentang apa yang didengar.

Socrates, filsuf Yunani kuno, terkenal dengan metode dialektika-nya, yang melibatkan tanya jawab sebagai cara untuk mencapai kebenaran. Dalam dialog-dialog Socrates, kita melihat bahwa berbicara bukanlah sekadar mengeluarkan pendapat, tetapi juga melibatkan proses mendengarkan dan merespons secara kritis. Namun, di dunia modern yang serba cepat ini, kita sering kali tidak punya waktu untuk mendengarkan. Kita terlalu sibuk untuk berbicara, berdebat, dan menyampaikan pendapat kita sendiri.

Dalam konteks pendidikan di Indonesia, misalnya, kemampuan berbicara sering kali diukur dari seberapa baik kita bisa menghafal pidato atau menyampaikan argumen. Namun, jarang sekali kita diajari bagaimana mendengarkan secara kritis dan reflektif. Padahal, belajar berbicara seharusnya dimulai dengan belajar mendengarkan. Seperti yang dikatakan oleh Paulo Freire dalam “Pedagogy of the Oppressed,” pendidikan yang baik adalah pendidikan yang dialogis, di mana terjadi komunikasi dua arah antara guru dan murid. Berbicara tanpa mendengarkan adalah monolog, dan monolog tidak akan pernah membawa perubahan sosial.

Belajar berbicara, dalam konteks sosial, politik, dan budaya, bukanlah hal yang sederhana. Ia melibatkan lebih dari sekadar keterampilan teknis. Berbicara adalah tindakan sosial yang dipengaruhi oleh kekuasaan, identitas, dan norma-norma yang mengelilinginya. Ia adalah sebuah perjalanan yang melibatkan perlawanan, kreativitas, dan juga keterbatasan. Berbicara bukan hanya sekadar mengeluarkan suara, melainkan juga memahami konteks, struktur sosial, dan dampak dari apa yang kita ucapkan.

Dalam perjalanan panjang manusia, berbicara selalu menjadi bagian penting dari setiap peradaban. Dari forum-forum terbuka di zaman Yunani Kuno hingga ruang-ruang diskusi modern yang sering kali berpindah ke dunia digital, kata-kata menjadi kendaraan ide dan gagasan yang bisa mengubah arah sejarah. Namun, dalam dinamika sosial dan politik kontemporer, apakah kita benar-benar masih mengerti apa artinya berbicara?

Kita hidup di zaman yang sangat berbeda dengan era Foucault, di mana kekuasaan yang dulu tampak kokoh kini tersebar dalam jaringan yang lebih halus. Negara tidak lagi menjadi satu-satunya penguasa narasi. Kekuasaan sekarang tersebar ke dalam korporasi, media, dan teknologi, yang masing-masing memiliki kepentingan sendiri dalam mengendalikan bahasa dan percakapan kita. Dalam situasi ini, berbicara tidak lagi hanya berarti menyampaikan pendapat, tetapi juga berarti berhadapan dengan algoritma, sensor, dan ekonomi perhatian.

Algoritma, Ekonomi Perhatian, dan Ruang Bicara yang Terfragmentasi

Internet dan media sosial telah membuka peluang baru bagi banyak orang untuk berbicara. Namun, pada saat yang sama, platform-platform ini juga membatasi kita dalam gelembung algoritma yang dirancang untuk menahan perhatian kita. Berbicara di media sosial bukanlah semata-mata tentang menyampaikan gagasan, tetapi juga tentang bagaimana menyelaraskan diri dengan apa yang “trending” atau diterima oleh komunitas digital tempat kita berada.

Menurut data yang dihasilkan oleh Pew Research Center, sekitar 69% orang dewasa di Amerika Serikat menggunakan media sosial untuk mendapatkan berita mereka, angka yang menunjukkan betapa besarnya pengaruh platform ini dalam membentuk opini publik. Di Indonesia, jumlah pengguna media sosial mencapai lebih dari 191 juta, dengan mayoritas pengguna mengakses berita dan informasi melalui Facebook, Twitter, Instagram, dan WhatsApp. Namun, ironisnya, di tengah keterbukaan informasi ini, kita justru semakin sering terjebak dalam “echo chamber” — ruang di mana kita hanya mendengar dan berbicara dengan orang-orang yang sependapat dengan kita. Algoritma yang dirancang oleh perusahaan teknologi besar seperti Google, Facebook, dan Twitter mengontrol apa yang kita lihat dan baca, sehingga membatasi cakrawala percakapan kita.

Dalam kondisi ini, apakah kita masih benar-benar berbicara, atau kita hanya mengulangi apa yang sudah kita dengar? Berbicara seharusnya menjadi sarana untuk bertukar gagasan dan mencari kebenaran, bukan sekadar memperkuat keyakinan yang sudah kita miliki. Namun, ruang-ruang digital ini telah membuat percakapan menjadi terfragmentasi. Kita berbicara dalam lingkup kecil, terisolasi dari mereka yang berbeda pendapat dengan kita.

Antara Kebebasan dan Tanggung Jawab

Dalam konteks politik, berbicara adalah salah satu hak asasi yang paling mendasar dalam demokrasi. Di negara-negara demokratis, kebebasan berbicara dilindungi sebagai fondasi dari kebebasan individu. Namun, apakah berbicara dalam demokrasi benar-benar bebas? Apakah setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk berbicara, atau hanya mereka yang memiliki akses ke kekuasaan dan media yang bisa didengar?

Demokrasi tidak hanya memberikan kebebasan berbicara, tetapi juga mengharuskan adanya tanggung jawab dalam berbicara. Kebebasan berbicara tanpa batas akan mengarah pada anarki, di mana setiap orang bisa mengatakan apa saja tanpa memikirkan konsekuensi dari perkataan mereka. Kita bisa melihat contohnya pada fenomena disinformasi dan hoaks yang merajalela di media sosial. Di Indonesia, penyebaran berita palsu dan ujaran kebencian kerap kali digunakan sebagai alat politik untuk memperburuk polarisasi masyarakat. Data dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menunjukkan bahwa pada tahun 2019, ada lebih dari 1.000 kasus hoaks yang teridentifikasi, dan jumlah ini terus meningkat setiap tahunnya.

Berbicara dalam konteks ini menjadi tindakan yang berbahaya jika tidak disertai dengan tanggung jawab. Di satu sisi, kita ingin mempertahankan kebebasan berbicara sebagai hak dasar, tetapi di sisi lain, kita juga harus memahami bahwa setiap kata yang kita ucapkan memiliki dampak. Jean-Paul Sartre, filsuf eksistensialis asal Prancis, pernah mengatakan bahwa “kebebasan itu membawa beban tanggung jawab.” Dalam hal ini, kebebasan berbicara juga membawa tanggung jawab untuk memastikan bahwa apa yang kita katakan tidak merugikan orang lain atau memperburuk situasi sosial-politik yang sudah rapuh.

Seni Berbicara, Antara Retorika dan Etika

Di dunia klasik, berbicara dianggap sebagai seni. Retorika, atau seni berbicara dengan meyakinkan, diajarkan di sekolah-sekolah Yunani dan Romawi sebagai keterampilan yang sangat penting bagi setiap warga negara. Namun, retorika juga memiliki sisi gelap: ia bisa digunakan untuk memanipulasi dan menipu. Dalam politik modern, kita sering melihat bagaimana pemimpin-pemimpin menggunakan retorika untuk memengaruhi opini publik, meskipun apa yang mereka katakan sering kali jauh dari kebenaran. Donald Trump, misalnya, dikenal sebagai sosok yang sangat ahli dalam menggunakan retorika populis untuk meraih dukungan politik. Ia mampu berbicara dengan gaya yang mudah dipahami oleh rakyat, tetapi pada saat yang sama, ia juga kerap kali menyebarkan informasi yang tidak akurat atau bahkan bohong.

Di Indonesia, kita juga tidak kekurangan contoh penggunaan retorika dalam politik. Pidato-pidato yang menggebu-gebu, janji-janji manis, dan klaim-klaim bombastis sering kali kita dengar menjelang pemilu. Namun, di balik semua kata-kata itu, apakah ada substansi yang benar-benar bisa kita pegang? Atau kita hanya dipermainkan oleh kemampuan seseorang untuk berbicara dengan baik?

Dalam situasi ini, berbicara seharusnya tidak hanya dipandang sebagai keterampilan retorika, tetapi juga sebagai tindakan etis. Kita harus bertanya pada diri kita sendiri: apa tujuan dari berbicara? Apakah kita berbicara untuk menyampaikan kebenaran, atau hanya untuk mempengaruhi orang lain demi keuntungan kita sendiri? Di sini, kita kembali pada ajaran-ajaran filsafat klasik, seperti yang diajarkan oleh Plato dan Aristoteles, bahwa berbicara harus selalu diarahkan pada pencarian kebenaran dan kebaikan bersama.

Dialog dan Nilai-Nilai Dasar

Dalam dunia yang semakin terpecah dan penuh dengan kebisingan, mungkin kita perlu kembali pada nilai-nilai dasar dalam berbicara: dialog. Dialog bukanlah monolog; ia bukan tentang siapa yang paling keras suaranya atau siapa yang paling pandai berbicara. Dialog adalah tentang mendengarkan dan merespons dengan baik, tentang membangun jembatan antara perbedaan-perbedaan kita. Paulo Freire, seorang pendidik dan filsuf asal Brasil, menekankan pentingnya dialog dalam proses pendidikan. Bagi Freire, pendidikan sejati adalah pendidikan yang melibatkan dialog antara guru dan murid, di mana keduanya sama-sama belajar dari satu sama lain.

Dalam konteks sosial-politik, dialog juga bisa menjadi jalan keluar dari polarisasi yang semakin mendalam. Kita harus belajar untuk berbicara dengan orang-orang yang berbeda pandangan dengan kita, bukan untuk memaksakan pendapat kita, tetapi untuk mencari titik temu. Di era media sosial, di mana perbedaan sering kali diperburuk oleh algoritma dan disinformasi, dialog menjadi semakin penting. Kita harus belajar untuk keluar dari gelembung-gelembung kita dan benar-benar mendengarkan apa yang dikatakan oleh orang lain.

Belajar Berbicara adalah Belajar Menjadi Manusia

Pada akhirnya, belajar berbicara adalah bagian dari proses kita belajar menjadi manusia. Ia adalah bagian dari perjalanan kita untuk memahami dunia, memahami diri kita sendiri, dan memahami orang lain. Dalam setiap kata yang kita ucapkan, terkandung sejarah, budaya, dan nilai-nilai yang membentuk kita. Berbicara bukan hanya tentang menyampaikan pendapat, tetapi juga tentang membangun hubungan, mencari kebenaran, dan menciptakan perubahan.

Di dunia yang semakin bising ini, di mana setiap orang seolah-olah ingin berbicara lebih banyak, mungkin kita perlu berhenti sejenak dan merenungkan apa artinya berbicara. Apakah kita benar-benar berbicara untuk didengar, atau hanya untuk mengisi kebisingan itu sendiri? Dan yang lebih penting, apakah kita masih bisa mendengarkan di tengah kebisingan tersebut?

Belajar berbicara, dalam esensinya, adalah belajar untuk mendengarkan—mendengarkan dunia di sekitar kita, mendengarkan orang lain, dan mendengarkan suara hati kita sendiri. Hanya dengan mendengarkan, kita bisa benar-benar berbicara.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.