PortalMadura.Com – Dataran Tinggi Dieng merupakan sebuah kompleks gunung api tua yang berada di Jawa Tengah. Di sana terkenal dengan pemandangannya yang sangat indah dan menawan lantaran lokasinya yang hijau sehingga membuat mata yang memandang merasa betah.
Selain itu, di sana juga memiliki kecantikan Telaga Warna, sunrise yang indah, bocah rambut gimbal serta kelezatan carica dan kentangnya. Tapi siapa sangka, dibalik semua keindahan itu, ternyata Dieng menyimpan potensi bahaya.
Konon, ada kisah mistis Dusun Dieng yang lenyap dalam semalam. Benarkah itu, mengapa bisa demikian?. Nah, jika Anda ingin tahu seperti apa kisahnya, alangkah baiknya mengetahui tentang silsilah Dieng.
Dieng menjadi dataran tertinggi kedua di dunia, kurang lebih 2.000 meter di atas permukaan laut setelah Nepal, berlokasi di sisi Barat Gunung Sindoro dan Sumbing. Selain kompleks volkano, dataran itu juga merupakan kawasan candi peninggalan Hindu.
Kawasan itu telah menjadi daya tersendiri setelah ditemukan pada 1814 oleh tentara Inggris. Kala itu, tentara Inggris tidak sengaja menemukan reruntuhan candi di tengah danau.
Karena merupakan kawasan volkano, Dieng bak menyimpan ‘bom waktu’ yang sewaktu-waktu dapat meledak kapan saja. Tanah di kawasan itu labil.
Menurut ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia, Rovicky Dwi Putrohari, Gunung api Dieng merupakan kompleks gunung api yang memiliki banyak kawah. Kawah-kawah itu kerap mengalami erupsi, yang biasanya diikuti dengan gempa.
Banyak insiden erupsi yang merenggut nyawa manusia. Peristiwa paling mengerikan terjadi pada 20 Februari 1979. Saat itu, salah satu kaldera Dieng, Kawah Sinila meletus melepaskan gas CO2 dan 149 orang tewas saat itu.
Selain gas beracun, ada juga peristiwa horor yang terjadi di Dieng. Insiden itu disebut-sebut mengingatkan pada sejarah Pompeii di masa lalu. Kala itu, pada 24 Agustus 79 Masehi, Gunung Vesuvius meletus dahsyat. Awan panas yang disemburkan hingga ketinggian 30 kilometer akhirnya mengguyur dan mengubur sejumlah kota, termasuk Herculaneum dan Pompeii.
Dua kota tersebut terkubur abu tebal dan terlupakan selama hampir 1.500 tahun. Keberadaannya baru terkuak pada 1738, dan baru pada 1863 arkeolog Italia, Guiseppe Fiorelli melakukan ekskavasi.
Lewat ekskavasi, terkuak puing-puing Pompeii. Fiorelli kemudian menyadari bahwa abu lunak di situs Pompeii adalah jejak kematian para penghuninya yang tragisnya terawetkan oleh abu. Jumlahnya ada sekitar 1.150 kerangka manusia.
Di Dieng, peristiwa sejenis pernah terjadi. Dusun Legetang, yang hanya berjarak 3 kilometer dari Kawah Sileri, tertimbun longsoran Gunung Pengamun-amun pada tahun 1955. Sebanyak 332 warga dan 19 penduduk dusun tetangga tewas.
“Tahun itu 1955, segala peralatan masih terbatas, jadi sangat sulit untuk mengevakuasi penduduk yang terkubur. Dan pemerintah lokal saat itu membiarkan desa itu terkubur,” ujar Alif Fauzi, Ketua Panitia Penyelenggara Dieng Festival.
Hingga saat ini, penanda dari bencana itu hanyalah berupa prasasti. Dulunya pasca kejadian longsor Gunung Pengamun-amun yang menghilangkan Dusun Legetang, pemerintah selain membangun tugu beton juga memasang prasasti terbuat dari bahan besi.
Prasasti tersebut kemudian ditempelkan di dinding beton bertuliskan huruf kapital dengan ejaan lama, yaitu “TUGU PERINGATAN ATAS TEWASNJA 332 ORANG PENDUDUK DUKUH LEGETANG SERTA 19 ORANG TAMU DARI LAIN-LAIN DESA SEBAGAI AKIBAT LONGSORNJA GUNUNG PENGAMUN-AMUN PADA TG. 16/17-4-1955”.
Seperti halnya Pompeii yang desas-desus bencana dijatuhkan karena tindak-tanduk orangnya, demikian pula dengan Legetang. Banyak warga lokal mengatakan bahwa tertimbunnya Legetang karena penduduknnya yang tidak tahu diri. Diberi kesuburan tanah, tapi berperilaku kurang baik.
(liputan6.com/Putri)