Dilema Mudik di Tengah Pandemi Covid-19, Orang Susah Makin Susah

Avatar of PortalMadura.com
Dilema Mudik di Tengah Pandemi Covid-19, Orang Susah Makin Susah
ilustrasi (AA)

PortalMadura.Com – Belasan ribu orang telah meninggalkan ibu kota Jakarta dan kembali ke kampung halaman mereka di tengah pandemi () di Indonesia.

Kekhawatiran terhadap gelombang pemudik membuat sejumlah daerah membatasi pergerakan orang di wilayahnya masing-masing secara parsial, seperti Kota Tegal, Jawa Tengah dan Kota Payakumbuh, Sumatera Barat.

Beberapa kampung dan desa juga menerapkan karantina wilayah meski pemerintah daerah maupun pemerintah pusat tidak menerapkan kebijakan ini.

Desa Karangtalun, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah, merupakan salah satu yang menerapkan karantina wilayah sejak 27 Maret 2020.

Kepala Desa Karangtalun, Heru Catur Wibowo mengatakan, desanya telah membatasi akses dan melarang masuk pendatang yang tidak memiliki keperluan khusus.

“Masyarakat kami latar belakangnya banyak perantau, mereka pulang, sering kali setiap hari orang datang ke rumah saya minta antisipasi hal ini,” kata Heru, laporan Anadolu Agency.

Menurut dia, beberapa kasus positif di Kabupaten Purbalingga merupakan pemudik yang baru pulang dari Jakarta.

Dia tidak ingin hal serupa terjadi di Desa Karangtalun mengingat mereka tidak memiliki fasilitas kesehatan yang memadai untuk menangani kasus dari gelombang pemudik.

Sejak situasi Jakarta memburuk akibat penularan Covid-19, beberapa pemudik telah kembali ke Desa Karangtalun dari Jakarta, Bandung, Semarang, dan beberapa daerah lainnya, termasuk ke Madura.

Ada 96 orang yang berstatus sebagai Orang Dalam Pemantauan (ODP) di Karangtalun dan menurut Heru, sebagian besar adalah pemudik.

Pemudik yang terlanjur pulang itu diminta melapor dan mengkarantina diri selama 14 hari.

Sayangnya, efektivitas karantina wilayah terkendala karena Kabupaten Purbalingga tidak menerapkan hal serupa.

Banyak warga Desa Karangtalun yang bekerja sebagai buruh pabrik di wilayah kabupaten dan tetap harus bekerja.

“Pabrik tidak diliburkan jadi mau tidak mau mereka tetap keluar masuk. Kami tidak izinkan, tapi kalau mereka memaksakan diri itu risiko mereka,” ujar dia.

Sebagai konsekuensi, pemerintah desa akan membantu memenuhi kebutuhan dasar warga selama masa karantina berlangsung melalui dana darurat yang ada serta donasi dari sesama warga.

Bantuan itu berupa kebutuhan pokok serta uang tunai untuk masyarakat miskin yang terdampak dan tidak berpenghasilan akibat karantina wilayah.

Presiden Joko Widodo pada Senin mengatakan ada 14 ribu orang yang meninggalkan Jakarta menggunakan ratusan bus antarprovinsi selama satu pekan terakhir.

Jumlah itu belum termasuk orang-orang yang lebih awal menggunakan moda transportasi lainnya seperti pesawat dan kereta.

Jokowi -sapaan akrab presiden – mengkhawatirkan mobilitas orang-orang yang mudik berisiko memperluas penyebaran Covid-19.

Dalam kebijakan yang diumumkan pada Selasa, Jokowi mengumumkan situasi darurat kesehatan dan memilih melakukan pembatasan sosial berskala besar sebagai opsi menghadapi pandemi.

Namun, pemerintah belum menyinggung terkait pembatasan perpindahan orang antar-wilayah yang dikhawatirkan akan terus terjadi mengingat musim mudik lebaran segera tiba.

Jokowi meminta pemerintah daerah berpegang pada kebijakan ini dan “tidak membuat kebijakan sendiri”.

Tidak ada pemasukan

Sejak karantina wilayah di Desa Karangtalun berlaku, Heru menuturkan masih ada beberapa perantau yang pulang dan mereka tidak kuasa menolaknya.

Sebab, perantau tersebut merupakan buruh-buruh bangunan dari Jakarta yang tidak lagi memiliki pekerjaan dan tempat tinggal di ibu kota.

“Pekerjaan mereka di Jakarta diberhentikan semua, upah juga habis untuk makan dan kos saja, jadi mereka mau tidak mau pulang,” kata Heru.

Situasi serupa juga terjadi pada Andri Dwi Sandi (27) yang memilih pulang kampung dari Jakarta ke Batusangkar, Sumatra Barat sejak Minggu karena tidak memiliki penghasilan beberapa waktu belakangan.

Pada hari-hari normal, Andri menjual gamis dan kebaya secara online melalui salah satu aplikasi e-commerce. Barang dagangan ia dapat dari Pasar Tanah Abang yang merupakan pusat grosir tekstil terbesar di Asia Tenggara.

Sejak 27 Maret 2020, pengelola menutup sementara Pasar Tanah Abang untuk mencegah penyebaran Covid-19.

“Otomatis toko online saya ikut libur. Pemasukan enggak ada, tapi pengeluaran jalan terus,” kata Andri.

“Orang tua saya juga panik, khawatir bagaimana kalau saya enggak bisa makan dengan keadaan seperti itu. Saya diminta untuk pulang saja,” lanjut dia.

Pertimbangan lainnya ialah rencana Andri untuk menikah sebelum Hari Raya Idul Fitri tahun ini.

Isu karantina wilayah membuat dia khawatir tidak bisa pulang untuk mengurus rencana pernikahannya.

Pernikahan itu rencananya digelar tanpa resepsi sesuai anjuran pemerintah, namun dia berencana tetap melangsungkan akad nikah di kampung halaman.

Perjalanan pulang Andri ke kampung halaman pun berbeda dari biasanya. Dia harus melalui ruang disinfektan di bandara.

Data Andri juga telah tercatat oleh pemerintah daerah sebagai pemudik. Dia diberi health alert card begitu tiba di Bandara International Minangkabau, Sumatra Barat.

“Katanya kalau saya mengalami gejala bisa bawa kartu itu ke puskesmas. Tapi sejauh ini saya merasa sehat-sehat saja,” ujar dia.

Begitu sampai di rumah, Andri juga diminta melapor ke otoritas kesehatan di kampungnya sebagai pemudik yang baru tiba dari zona merah penularan Covid-19. Selain itu, dia juga mengkarantina diri selama 14 hari.

“Orang-orang di kampung juga enggak mau salaman, sudah sama-sama tahu. Siapa tahu di perjalanan bawa penyakit. Jadi saya terima saja dan tetap jaga jarak selama 14 hari,” tutur dia.

Pemerintah perlu tegas batasi mobilitas warga

Ahli Epidemologi dan Biostatistik dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Pandu Riono mendesak pemerintah membatasi pergerakan orang antar-wilayah untuk mengontrol penyebaran Covid-19.

“Mobilitas orang-orang harus segera dibatasi, karena membawa virus itu orang sehingga tidak cukup dengan himbauan menjaga jarak atau menggunakan masker,” kata Pandu.

Menurut dia, 1.528 kasus positif yang telah dikonfirmasi hingga Selasa belum menunjukkan gambaran penularan yang terjadi sesungguhnya.

Pandu menuturkan masih mungkin ada kasus-kasus yang belum terdeteksi mengingat Indonesia baru satu pekan belakangan melakukan tes cepat (rapid test).

“Ibaratnya, kita masih mendaki gunung, puncaknya belum tercapai. Karena mobilitas orang-orang sudah membantu virus itu berpindah sehingga mungkin terjadi penumpukan kasus,” jelas dia.

Jika pemerintah tidak mengambil langkah tegas, Pandu mengkhawatirkan jumlah kasus positif Covid-19 akan terus meningkat dan fasilitas kesehatan bisa kewalahan menanganinya.

“Pelayanan kesehatan di daerah terbatas, sehingga kalau pemudik benar-benar membawa virus itu ke kampung halaman mereka maka bisa berakibat buruk,” ujar Pandu.

Pandu menilai kebijakan pemerintah semestinya lebih dari sekedar melakukan pembatasan sosial.

Sebab pada daerah seperti Jakarta yang menjadi episentrum wabah di Indonesia, pembatasan semacam itu telah dilakukan sejak beberapa pekan lalu.

Dia meminta pemerintah melakukan intervensi yang lebih masif untuk mencegah penularan lebih luas wabah ini.

“Oke lah kalau mau pakai istilah pembatasan sosial berskala bersar, tapi saya harap dilakukan seperti lockdown. Yang penting kegiatannya mengarah ke pencegahan penyebaran dan jangan biarkan penduduk kelaparan,” kata Pandu.

Berdasarkan data pemerintah hingga Selasa, ada 1.528 kasus positif Covid-19 dimana 136 orang di antaranya meninggal dan 81 orang dinyatakan sembuh.(*)

DAPATKAN UPDATE BERITA LAINNYA DI

google news icon

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.