PortalMadura.Com – Budaya Indonesia saat mendekati Hari Raya Idul Fitri adalah mudik. Mudik atau pulang ke kampung halaman adalah momen berharga bagi mereka yang merantau untuk menikmati suasana lebaran di tanah kelahiran mereka. Biasanya, orang bepergian atau mudik dilakukan pada H-7 sampai H-1 lebaran. Dalam islam seseorang yang melakukan perjalanan disebut musafir.
Musafir sendiri berasal dari kata kerja arab yakni safara yang berarti berpergian. Sehingga pengertian secara luas, musafir berarti orang yang melakukan perjalanan. Kata safarin sendiri berarti perjalanan. Sebagaimana disebutkan dalam Alquran:
“Dan jika kalian dalam perjalanan, dan tidak menjumpai seorang penulis, maka hendaklah hendaklah ada jaminan (yang bisa dipegang).”
Pada zaman Rasulullah perjalanan selama menjadi Musafir ini merupakan bagian dari bentuk dakwah. Allah SWT menganjurkan kepada manusia untuk berpergian ke seluruh penjuru muka bumi ini. Sebagaimana dalam firman-Nya sebagai berikut:
Dialah yang menjadikan bumi bagi kamu mudah digunakan, maka berjalanlah merata-rata ceruk rantaunya, serta makanlah dari rezeki yang dikurniakan Allah; dan kepada Allah jualah (kamu) dibangkitkan hidup semula. [QS. Al-Mulk : 15].
Melakukan perjalan saat puasa tentu tidaklah muda, maka dari itu seorang musafir atau mereka yang sedang dalam perjalanan mendapatkan keringanan dalam beribadah, seperti diringankan dalam melaksanakan kewajiban salat dan puasa sebagaimana hukum puasa ganti seminggu sebelum Ramadan. Tentu hal tersebut berdasar atas hukum dan ketentuan yang jelas serta mereka tetap memiliki kewajiban mengganti puasa di hari lain sebagaimana niat puasa ganti Ramadan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (Qs. al-Baqarah: 185).
Berdasarkan firman Allah SWT diatas, seorang Musafir diberikan keringanan dalam menjalankan ibadah puasa Ramadan seperti dalam keistimewaan Ramadan.
Keringanan tersebut diberikan mengingat lama perjalanan dapat memakan waktu hingga berjam-jam. Sehingga ditakutkan, jika menjalankan ibadah puasa Ramadan dapat membahayakan perjalanan yang dilakukan. Apalagi jika seorang tersebut memiliki tugas misalnya menyopir kendaraan, maka dikhawatirkan jika tetap berpuasa maka dapat menghilangkan konsentrasinya sehingga dapat membahayakan diri dan penumpang dalam puasa Ramadan dan pelaksanannya.
Para sahabat yang keluar dalam perjalanan bersama Nabi shallallahu alaihi wa sallam, di antara mereka ada yang berbuka dan ada yang berpuasa, sedangkan Nabi sendiri berpuasa dalam perjalanan,
“Dan dibolehkan meninggalkan berpuasa bagi seorang musafir dengan perjalan yang jauh dan diperbolehkan (mubah). Bila dengan berpuasa seorang musafir mengalami mudarat maka berbuka lebih utama, bila tidak maka berpuasa lebih utama sebagaimana telah lewat penjelasannya pada bab salatnya musafir. Bila pada pagi hari seorang yang bermukim berpuasa kemudian ia sakit maka ia diperbolehkan berbuka karena adanya alasan yang membolehkannya berbuka. Namun bila orang yang mukim itu melakukan perjalanan maka ia tidak dibolehkan berbuka dengan memenangkan hukum bagi orang yang tidak bepergian. Dikatakan juga ia boleh berbuka dengan memenangkan hukum bagi orang yang bepergian. Bila seorang musafir (orang sudah dalam keadaan pergi) dan orang yang sakit pada pagi hari berpuasa kemudian menghendaki untuk berbuka maka dibolehkan bagi keduanya untuk berbuka karena berlanjutnya alasan keduanya untuk tidak berpuasa. Bila seorang musafir telah bermukim dan seorang yang sakit telah sembuh maka haram bagi keduanya berbuka menurut pendapat yang sahih karena telah hilangnya alasan untuk tidak berpuasa. Pendapat kedua membolehkan keduanya berbuka dengan mempertimbangkan keadaan di awal hari.” (Jalaludin Al-Mahali, Kanzur Raghibin Syarh Minhajut Thalibin [Kairo: Darul Hadis, 2014], juz 2, hal. 161)
Penjelasan serupa juga disampaikan oleh Syekh Muhammad Khatib As-Syarbini dalam kitabnya Mughnil Muhtaj. Hanya saja beliau menambahkan penjelasan:
“Bila seseorang berniat puasa dan melakukan perjalanan pada malam hari, bila sebelum terbitnya fajar ia telah melewati batasan yang ditetapkan dalam bab salatnya musafir maka ia boleh berbuka, bila tidak maka tidak boleh berbuka.” (Muhammad Khatib As-Syarbini, Mughnil Muhtaj [Beirut: Darul Fikr, 2009], juz 1, hal. 589).
Dapat disimpulkan bahwa Hukum Puasa Ramadhan Bagi Musafir didasarkan atas tiga kondisi dibawah ini yakni :
1. Jika Berat Untuk Berpuasa maka Dianjurkan untuk Tidak Berpuasa
Dalil dari hal ini dapat kita lihat dalam hadits Jabir bin ‘Abdillah. Jabir mengatakan,
“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ketika bersafar melihat orang yang berdesak-desakan. Lalu ada seseorang yang diberi naungan. Lalu Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengatakan, “Siapa ini?” Orang-orang pun mengatakan, “Ini adalah orang yang sedang berpuasa.” Kemudian Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Bukanlah suatu yang baik jika seseorang berpuasa ketika dia bersafar”.
Di sini dikatakan tidak baik berpuasa ketika safar karena ketika itu adalah kondisi yang menyulitkan.
2. Jika Tidak Memberatkan maka Diperbolehkan Berpuasa
Dari Abu Darda’, beliau berkata,
“Kami pernah keluar bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di beberapa safarnya pada hari yang cukup terik. Sehingga ketika itu orang-orang meletakkan tangannya di kepalanya karena cuaca yang begitu panas. Di antara kami tidak ada yang berpuasa. Hanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja dan Ibnu Rowahah yang berpuasa ketika itu.”
Apabila tidak terlalu menyulitkan ketika safar, maka puasa itu lebih baik karena lebih cepat terlepasnya kewajiban. Begitu pula hal ini lebih mudah dilakukan karena berpuasa dengan orang banyak itu lebih menyenangkan daripada mengqada puasa sendiri sedangkan orang-orang tidak berpuasa.
3. Jika berpuasa akan mendapati kesulitan yang berat bahkan dapat mengantarkan pada kematian, maka pada saat ini wajib tidak berpuasa dan diharamkan untuk berpuasa
Dari Jabir bin ‘Abdillah, beliau berkata,
“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam keluar pada tahun Fathul Makkah (8 H) menuju Makkah di bulan Ramadhan. Beliau ketika itu berpuasa. Kemudian ketika sampai di Kuroo’ Al Ghomim (suatu lembah antara Mekkah dan Madinah), orang-0rang ketika itu masih berpuasa. Kemudian beliau meminta diambilkan segelas air. Lalu beliau mengangkatnya dan orang-orang pun memperhatikan beliau. Lantas beliau pun meminum air tersebut. Setelah beliau melakukan hal tadi, ada yang mengatakan, “Sesungguhnya sebagian orang ada yang tetap berpuasa.” Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pun mengatakan, “Mereka itu adalah orang yang durhaka. Mereka itu adalah orang yang durhaka”. Nabi shallallahu alaihi wa sallam mencela keras karena berpuasa dalam kondisi sangat-sangat sulit seperti ini adalah sesuatu yang tercela.
Demikian hukum puasa Ramadhan bagi musafir. Semoga dapat menjadi sumber dan referensi dalam memaknai Ramadan sebagaimana syarat sah puasa Ramadan, bulan Ramadan dan fadillahnya, serta rukun puasa Ramadan, sehingga dapat lebih khusyuk dalam menjalankannya. Semoga Bermanfaat. (dalamislam.com/Nanik)