PortalMadura.Com, Jakarta – Kasus kekerasan terhadap perempuan di wilayah Indonesia timur disebut terjadi merata di 12 provinsi kawasan tersebut dalam rentang waktu empat tahun terakhir.
Sepanjang tahun 2017, Komnas Perempuan mencatat ada 2796 kasus yang dilaporkan.
Bersama dua lembaga lainnya yang juga fokus pada upaya penegakkan HAM yakni Forum Pengada Layanan (FPL) dan Yayasan BAKTI, Komnas Perempuan kemudian mendapati catatan lain sebaran kasus kekerasan seksual di wilayah Indonesia Timur.
Untuk kasus perkawinan dini di wilayah tersebut, Makassar disebut menempati peringkat tertinggi.
Kemudian, perkara perdagangan manusia banyak terjadi di Nusa Tenggara Timur, meski sudah ada moratorium pengiriman tenaga kerja baik di Pemerintahan Kabupaten maupun Provinsi.
Meningkatnya catatan laporan kekerasan terhadap perempuan itu yang kemudian menginisiasi ketiga lembaga tersebut menggelar Konferensi Perempuan Timur (KPT) 2018. dilaporkan Anadolu Agency, Kamis (6/12/2018).
Sebelumnya, pertemuan ini telah digelar dua kali namun dengan nama Konferensi Perempuan Timor.
Ketua Panitia Bersama KPT 2018, Maria Filiana Tahu, mengatakan setelah digelarnya pertemuan pertama dan kedua antara Pemerintah dan Masyarakat serta sesama FPL ada tanggapan positif.
Karenanya, konferensi tersebut kemudian membuka diri lebih luas dengan harapan bisa membawa dampak yang lebih besar untuk kepentingan pemenuhan hak perempuan korban kekerasan.
“Maka kemudian disepakatilah untuk tahun 2018, ruangnya itu bukan Timor lagi, tetapi (Indonesia) Timur. yang melibatkan seluruh sahabat perempuan yang punya kepedulian yang sama di 12 provinsi di wilayah Indonesia Timur, yang bekerja untuk pemenuhan hak korban kekerasan,” kata Maria kepada Anadolu Agency, Kamis.
Jumlah kekerasan seksual yang menggeser catatan kasus kekerasan dalam rumah tangga yang sebelumnya berada di peringkat atas kasus di wilayah Indonesia Timur pun menjadi catatan yang akan dibahas lebih dalam saat KPT yang digelar pada 10 dan 11 Desember mendatang.
Maria menjelaskan, penurunan kasus KDRT terjadi karena adanya aktivitas-aktivitas yang menargetkan sosialisasi hingga ke lingkup rumah tangga.
“Tetapi kemudian akhir-akhir ini trennya muncul ke kekerasan seksual,” sebut dia.
Berdasarkan kajian CSO (Civil Society Organization), FPL dan pendampingan pada korban, kata Maria, terdapat banyak hal yang menjadi penyebab meningkatnya tren kekerasan seksual kawasan Timur Indonesia.
“Yang pertama itu kembali ke mental orang. Tapi karena saat ini banyak hal (menjadi penyebab). Misalnya akses terhadap media yang begitu luas, kemudian media dalam arti pornoaksi, pornografi, yang kemudian akhirnya sampai ke orang-orang di pelosok desa yang jauh yang tiba-tiba pegang handphone dan merasa bebas mengakses situs-situs,” papar Maria.
Lebih lanjut, dia menilai, krisis mental dan moral juga menjadi pemicu kenaikan jumlah kasus kekerasan seksual.
“Orang tidak lagi melihat ruangnya itu. Apakah itu ruang ilmu pengetahuan, misalnya seperti di sekolah atau di tempat orang memang menjajakan seks,” tutur dia.
Perempuan yang juga duduk sebagai Ketua Komisi III DPRD Timor Tengah Utara, NTT, ini mencontohkan seperti kasus kekerasan seksual yang terjadi pada siswa SMA, SMP atau bahkan SD yang dilakukan oleh guru sendiri.
Selain itu, kasus kekerasan seksual di Indonesia Timur juga terjadi karena kebebasan pacaran yang tak terkendali.
“Dalam salah satu kajian lembaga kami di wilayah timur, lebih dari 70 persen anak-anak remaja mengaku kalau membuktikan cinta itu dengan berhubungan seks. Dalam pacaran, kalau dia tidak menyerahkan itu dianggap tidak cinta,” sesal Maria.
Dengan begitu, imbuh dia, pengakuan tersebut dapat dijadikan sebagai tolok ukur penyebab kekerasan seksual yang kini menyebar di kalangan remaja, mulai dari anak usia SMP, SMA hingga perguruan tinggi.
Menunggu perhatian Pemerintah Pusat
Dengan sederet catatan kasus kekerasan pada perempuan yang dikantungi tersebut, gabungan lembaga-lembaga itu berharap kehadiran Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Yembise dalam KPT kali ini.
Sebelumnya, ujar Maria, tim KPT telah melakukan audiensi dengan Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko.
“Minimal ada pejabat Nasional hadir sebagai motivasi gerakan perempuan di Indonesia Timur untuk kemudian mendukung Pemerintah yang mencapai Pemerintahan yang baik, bersih dan berkeadilan gender, serta berpihak pada perempuan korban kekerasan,” harap dia.
Melalui konferensi ini juga diharapkan DPR RI dapat segera memberikan perhatian serius atas masalah kekerasan terhadap perempuan.
Dengan sinergi yang telah dibuat antara Masyarakat dan LSM serta FPL di wilayah Indonesia Timur, kata Maria, sudah seharusnya Pemerintah Pusat tak lagi menunjukkan egosektoralnya seperti sebelum dua periode konferensi yang lalu.
“Sebelum 2016 itu egosektoralnya masih ada. Jadi hanya Masyarakat dengan Masyarakat, LSM jalan dengan LSM. Inisiatif Pemerintah untuk kemudian memberikan ruang cukup untuk FPL bersuara terkait dengan capaian-capaian itu hanya sedikit, bahkan tidak ada sama sekali meski advokasi dilakukan,” tutur dia. (AA)