Manusia Modern dan Tingkah Laku Kuno

Disda
Manusia Modern dan Tingkah Laku Kuno

PortalMadura.id – Di zaman yang serba canggih ini, kita hidup dengan segala bentuk kemajuan teknologi yang tak pernah terbayangkan oleh para leluhur kita. Kita bisa berkomunikasi dalam sekejap mata dengan orang di benua lain, memesan makanan hanya dengan sentuhan jari, dan menjelajahi dunia maya seolah-olah itu adalah wilayah baru yang tanpa batas. Namun, meskipun semua pencapaian teknologi dan perkembangan ilmu pengetahuan telah membawa kita ke era modern, ada hal-hal dalam diri manusia yang tetap kuno, seolah tertanam jauh di dalam sanubari kita, mengakar begitu dalam hingga sulit tercabut.

Ironisnya, di balik segala modernitas ini, manusia modern ternyata tetaplah makhluk yang terikat oleh naluri dan perilaku yang sudah ada sejak ribuan tahun silam. Kita melihat peradaban yang terus maju, tetapi pada saat yang sama, kita juga melihat bagaimana sikap dan tingkah laku manusia modern tak jarang mencerminkan pola kuno yang seakan tak bisa dihindari. Apa yang sebenarnya sedang terjadi? Apakah manusia modern benar-benar sudah berkembang sepenuhnya, ataukah kita sekadar mengenakan topeng baru untuk menyembunyikan sisi primitif yang masih bercokol di dalam diri kita?

Dualitas Manusia

Sejarah evolusi manusia memberi kita pemahaman bahwa kita, Homo sapiens, adalah produk dari jutaan tahun perkembangan. Dari nenek moyang yang berjalan tegak hingga manusia yang kini menciptakan kecerdasan buatan, jejak peradaban manusia adalah kisah panjang perjuangan dan penyesuaian terhadap lingkungan. Namun, meskipun evolusi biologis kita berlangsung begitu lama, banyak sifat dan naluri dasar yang diwariskan dari masa-masa awal itu tetap ada.

Filsuf seperti Friedrich Nietzsche pernah mencatat bahwa dalam diri manusia, terdapat dorongan purba yang sulit dihapus. Dia menyebutnya sebagai will to power—dorongan untuk berkuasa, mendominasi, dan mengontrol. Nietzsche tidak salah. Di tengah masyarakat modern yang tampak beradab dan penuh aturan, kita masih melihat tanda-tanda primitif itu dalam kehidupan sehari-hari: hasrat untuk bersaing, keinginan untuk mendominasi, bahkan kegembiraan dalam memanipulasi orang lain demi keuntungan pribadi.

Di sisi lain, perkembangan kebudayaan telah membentuk manusia modern dengan berbagai aturan sosial, moral, dan hukum yang seharusnya menahan naluri primitif ini. Kita, sebagai spesies, telah belajar untuk membangun masyarakat berdasarkan norma-norma yang memungkinkan kita hidup bersama secara damai. Tetapi apakah kebudayaan benar-benar berhasil menjinakkan dorongan-dorongan dasar ini? Ataukah, sebagaimana dikatakan oleh Sigmund Freud, kebudayaan hanyalah selubung tipis yang menyembunyikan konflik-konflik internal antara dorongan primitif dan tuntutan moral?

Seorang ahli antropologi, Claude Lévi-Strauss, mengajukan teori bahwa di balik setiap kebudayaan, selalu ada pola-pola dasar yang sama, yang dia sebut sebagai structures. Pola ini adalah elemen dasar dari perilaku manusia yang muncul di berbagai kebudayaan, terlepas dari tingkat peradaban mereka. Dalam konteks ini, kita bisa memahami bahwa tingkah laku manusia modern masih sangat dipengaruhi oleh struktur-struktur kuno yang diwariskan dari generasi ke generasi. Perilaku kuno itu tetap hidup dalam cara kita berinteraksi satu sama lain, dalam cara kita membangun hubungan, dan bahkan dalam cara kita membangun institusi politik dan sosial.

Kekuasaan dan Politik

Tidak ada arena yang lebih jelas dalam memperlihatkan perilaku kuno manusia selain dalam politik. Meskipun kita hidup dalam demokrasi, di mana hak asasi manusia dan kebebasan individu diagungkan, politik modern sering kali memperlihatkan sifat-sifat dasar manusia yang tidak berbeda jauh dari cara-cara primitif kita bertahan hidup di masa lampau. Sejarah dunia politik adalah sejarah perebutan kekuasaan, penaklukan, pengkhianatan, dan manipulasi.

Mari kita ambil contoh politik kontemporer. Dalam pemilihan umum, misalnya, kita melihat bagaimana retorika yang digunakan oleh para calon sering kali tidak jauh berbeda dengan retorika tribal—”kita” melawan “mereka”, yang baik melawan yang jahat, yang kuat melawan yang lemah. Ide-ide tentang kebersamaan dan kolaborasi sering kali dikalahkan oleh narasi tentang konflik, musuh, dan ancaman eksternal. Bukankah ini mirip dengan cara suku-suku purba mengkonsolidasi kekuasaan dengan menakut-nakuti anggota kelompok mereka akan ancaman dari luar?

Peneliti seperti Yuval Noah Harari dalam bukunya Sapiens menyebut bahwa salah satu keunggulan manusia sebagai spesies adalah kemampuannya untuk berimajinasi secara kolektif. Inilah yang memungkinkan kita menciptakan mitos-mitos, agama, negara, dan institusi yang mampu menyatukan jutaan orang di bawah satu bendera. Namun, pada saat yang sama, mitos-mitos ini juga bisa menjadi alat untuk memperbudak dan menindas. Dalam banyak hal, politik modern adalah perwujudan dari mitos-mitos kolektif ini, di mana kelompok-kelompok yang berkuasa menggunakan narasi untuk mempertahankan dominasi mereka.

Di Amerika Serikat, misalnya, kita melihat bagaimana politik identitas dan populisme semakin mendominasi wacana publik. Meskipun bangsa itu mendasarkan dirinya pada prinsip-prinsip demokrasi dan kebebasan, retorika politik sering kali kembali ke narasi-narasi kuno tentang ras, agama, dan nasionalisme. Di Indonesia, politik juga tidak lepas dari dinamika ini. Meskipun reformasi telah membawa perubahan besar dalam struktur politik, kita masih melihat bagaimana politik identitas, korupsi, dan oligarki tetap bertahan. Semua ini menunjukkan bahwa di balik kemasan modernitas, ada pola-pola perilaku kuno yang terus hidup dan mendominasi.

Konsumerisme

Selain dalam politik, tingkah laku kuno manusia juga bisa dilihat dalam budaya konsumerisme yang mendominasi masyarakat modern. Kita hidup dalam dunia di mana segala sesuatu diukur berdasarkan konsumsi: semakin banyak kita membeli, semakin sukses kita dianggap. Konsumerisme, dalam banyak hal, adalah perpanjangan dari naluri dasar manusia untuk mengumpulkan sumber daya dan bertahan hidup. Namun, dalam dunia modern, naluri ini telah diperhalus dan diperdagangkan.

Di dunia kuno, manusia mengumpulkan makanan, air, dan sumber daya lain untuk memastikan kelangsungan hidup mereka. Dalam dunia modern, perilaku ini bermutasi menjadi keinginan untuk memiliki barang-barang mewah, gadget terbaru, dan status sosial yang tinggi. Di sinilah kita melihat bagaimana perilaku kuno manusia untuk “bertahan hidup” telah beradaptasi dengan struktur sosial-ekonomi baru yang didominasi oleh kapitalisme.

Jean Baudrillard, seorang filsuf Prancis, mengemukakan bahwa dalam masyarakat konsumeris, objek bukan lagi dihargai karena fungsinya, tetapi karena maknanya. Barang-barang yang kita beli adalah simbol dari status sosial kita, identitas kita, dan bahkan kebahagiaan kita. Dengan kata lain, konsumerisme bukan hanya soal kebutuhan material, tetapi juga soal kebutuhan psikologis dan sosial. Kita membeli barang untuk “menegaskan” siapa diri kita, atau setidaknya untuk memberikan ilusi kepada orang lain bahwa kita adalah seseorang yang lebih dari yang sebenarnya.

Namun, meskipun konsumerisme tampaknya menjadi fenomena modern, dorongan di baliknya tidaklah baru. Dalam kebudayaan kuno, simbol-simbol status dan kekayaan sudah menjadi bagian penting dari struktur sosial. Gelang emas, pakaian mewah, atau rumah besar adalah tanda-tanda kekuasaan dan status yang sudah ada sejak ribuan tahun lalu. Hanya saja, dalam masyarakat modern, simbol-simbol ini telah berubah menjadi barang-barang elektronik, mobil mewah, dan gaya hidup tertentu.

Naluri Tribal dalam Dunia Digital

Di era digital ini, kita melihat bagaimana teknologi telah mengubah cara manusia berinteraksi satu sama lain. Media sosial, yang seharusnya menjadi alat untuk mempererat hubungan, sering kali malah menjadi arena pertikaian dan perpecahan. Di platform seperti Twitter atau Facebook, kita melihat bagaimana manusia modern kembali kepada pola-pola perilaku tribal kuno: membentuk kelompok-kelompok berdasarkan identitas, memusuhi kelompok lain yang dianggap berbeda, dan saling serang dalam perang kata-kata.

Marshall McLuhan, seorang teoritikus media, pernah mengatakan bahwa teknologi tidak hanya mengubah cara kita berkomunikasi, tetapi juga mengubah cara kita berpikir dan berperilaku. Media sosial, misalnya, telah mempercepat cara kita menanggapi informasi, tetapi di sisi lain, ia juga mempersempit ruang refleksi dan pemikiran kritis. Dalam konteks ini, kita bisa melihat bagaimana manusia modern, meskipun hidup dalam era informasi, sering kali bertindak berdasarkan naluri-naluri dasar yang sama seperti nenek moyang mereka: cepat marah, mudah terprovokasi, dan cenderung memihak kelompoknya sendiri.

Hal ini tidak lepas dari apa yang disebut oleh Jonathan Haidt sebagai groupishness—naluri manusia untuk membentuk kelompok dan melindungi identitas kelompok tersebut dengan segala cara. Dalam media sosial, naluri ini sering kali termanifestasi dalam bentuk “perang budaya”, di mana orang-orang saling serang berdasarkan perbedaan politik, agama, ras, atau bahkan preferensi budaya. Meskipun teknologi modern memungkinkan kita untuk terhubung dengan lebih banyak orang, ia juga memperkuat naluri-naluri kuno yang membuat kita lebih mudah terpecah.

Modernitas yang Tidak Tuntas

Pada akhirnya, meskipun kita hidup dalam dunia yang tampaknya modern, banyak perilaku dan sikap manusia yang tetap mencerminkan pola-pola kuno yang diwariskan dari masa lampau. Dalam politik, kita melihat bagaimana naluri untuk berkuasa dan mendominasi masih sangat hidup. Dalam konsumerisme, kita melihat bagaimana naluri untuk mengumpulkan sumber daya dan status tetap menjadi pendorong utama perilaku manusia. Dan dalam kehidupan sosial, kita melihat bagaimana teknologi modern sering kali memperkuat pola-pola tribal yang sudah ada sejak zaman kuno.

Pertanyaannya adalah, apakah kita bisa benar-benar melepaskan diri dari tingkah laku kuno ini? Ataukah, seperti yang pernah dikatakan oleh Carl Jung, kita akan selalu dibayangi oleh “bayang-bayang” dari masa lalu kita, naluri-naluri dasar yang tak pernah benar-benar hilang?

Manusia modern mungkin bisa menciptakan teknologi canggih dan membangun peradaban yang tampak maju, tetapi di dalam diri kita, ada dorongan-dorongan primitif yang selalu mencari cara untuk mengekspresikan dirinya. Dalam banyak hal, kita adalah makhluk yang hidup di dua dunia: dunia modern yang penuh dengan kecanggihan, dan dunia kuno yang penuh dengan naluri dan hasrat dasar. Mungkin inilah dualitas yang akan selalu ada dalam diri manusia, sebuah paradoks yang tidak pernah bisa kita selesaikan.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.