Cerpen  

Mengutuki Diri

Avatar of PortalMadura.com
Mengutuki Diri
Ilustrasi (pexels/Katerina Holmes)

Oleh: Luh Putu Ema Noviyanti*

“Saat kamu bilang akan pindah ke London, aku hampir kena serangan jantung.”

Kening Kevin berkerut.

“Bukannya kamu seharusnya senang? Jadi, tidak akan ada yang mengganggumu lagi.”

“Aku tidak suka diganggu orang lain selain kamu, Kev.”

Rasanya nyaris seperti menjejalkan kembali permen karet yang kubuang beberapa detik sebelumnya. Ditambah gengsiku yang mencapai langit, kurasa pernyataan konyol ini tidak akan menemui akhir. Daripada mengkhawatirkan reaksi Kevin setelah mendengar kalimatku barusan aku lebih memikirkan apakah aku sanggup menanggung malu. “Kirei kamu bodoh sekali!” Aku menggerutu dalam hati.

“Kalau tahu begitu, aku tidak perlu ikut pindah dengan keluargaku supaya bisa mengganggumu setiap hari.”

Kedua manik kami bertemu, seringai kecil muncul di wajahnya sedetik kemudian.

“Dasar bodoh! Mana bisa begitu.”

Percayalah, aku hanya manusia normal yang bisa grogi karena diberikan senyum manis oleh lawan jenis seperti itu. Kendati demikian, diupayakan agar aku tak terlihat salah tingkah di depan pemuda bermata sipit itu. Kulihat Kevin terkekeh ringan.

“Kirei, saat aku tidak ada, apa kamu merindukanku?”

Oke, aku kalah. Pemuda itu melakukannya lagi, membuat jantungku nyaris melorot dari tempatnya. Hendak mengangguk tapi logika mencegahku.

“Kita kan masih suka bertukar kabar. Aku juga masih bisa tahu kalau kamu makan dengan baik. Lihat postur tubuhmu sekarang, Kev” Aku memberi cubitan kecil di pipinya, lantas kami berdua tertawa bersama.

Aku menghabiskan beberapa teguk terakhir cappuccino yang sayangya sudah dingin.

“Bagaimana hubunganmu dengan Glen?” suara ceria, namun menyelipkan nada khawatir di celah-celah kosongnya.

Seharusnya Kevin tidak perlu menyelipkan topik ini di dalam pembicaraan. Jujur saja, aku sedang tidak ingin membahas orang lain, sekalipun tentan Glen yang bertitel kekasihku. Benakku masih menimbang-nimbang apakah harus menceritakan semuanya pada Kevin atau tidak. Detik selanjutnya ponselku berdering.

“Kamu mau menyusul ke sini? Hm, baiklah. Bye.”

Ada senyum kecil di akhir kalimat penutupnya, sepertinya semua masih baik-baik saja dibandingkan dengan jantungku yang masih saja bergemuruh kalau bersamanya. Aku tersenyum sesaat pandangan kami kembali bertemu.

“Glen?” Tanyaku memastikan.

Kirei mengangguk kecil sebagai jawaban.

“Dia ingin menyusul sepertinya Glen juga ingin bertemu denganmu.”

“Ah, dia mungkin cemburu karena kita berduaan seperti ini. Dia kan sangat mencintaimu.”

Kami tertawa, kutebak dia merasa senang dan memang seharusnya begitu. Sesaat aku menyadari ada rasa aneh yang menjalar, tidak begitu nyaman. Aku menarik nafas dalam-dalam mencoba untuk setenang mungkin.

“Jadi, seterusnya kamu akan tinggal di Jakarta?”

“Masih kupikirkan.”

“Apalagi yang harus dipikirkan? Kak Alex sudah menikah, Hellen sebentar lagi juga akan menikah, dan bukankah sekolahmu di London sudah selesai? Kurasa banyak perusahaan di Jakarta yang membutuhkan orang sepertimu.”

“Biar kunikmati liburanku dulu di sini, nanti baru kupikirkan.” Kirei mencermati jawabanku.

“Kita bisa bersama-sama lagi seperti dulu, kalau kau menetap.”

Kelebatan masa lalu berdatangan layaknya potongan-potongan Puzzle yang berusaha membuat kesatuan utuh, aku menepisnya. Kalimatnya bisa saja membuatku gila dan melompat ke pelukannya. Tapi, aku hanyalah Kevin bukan laki-laki bodoh dan konyol.

“Hai.”

Dua pasang mata serempak tertuju ke arah suara laki-laki yang sedikit mengagetkan kami. Dia adalah Glen.

“Apa kabarmu, Kev? How's London?” Tanya Glen saat duduk tepat di sebelah Kirei.

Not bad.” Jawab Kevin dengan membagi senyuman kecil.

Seulas senyum muncul dari Kirei. Kemudian Glen mengusap lembut puncak kepalanya. Pemandangan itu ditanggapi oleh Kevin. Ia segera mengalihkan pandangannya selagi menyeruput kopinya yang sedari tadi belum tersentuh.

“Oh iya, sudah kamu beri tahu belum?” Pertanyaan itu bukan untuk Kevin melainkan pada Kirei.

Kening gadis itu berkerut, namun sedetik kemudian Glen membuat gerakkan lucu dengan kedua alisnya. Kirei seakan memahami maksud di balik ekspresi pemuda itu.

“Be… belum.” Jawab Kirei yang nampak sedikit gugup.

Terdengar Glen menghela nafas kemudian berkata “Jadi begini Kev.” Jeda sejenak, Kevin mengamati Glen yang sedang berbicara serius.

“Kami akan menikah.”

Dia yang diajak bicara mengerjapkan mata tak percaya. Kevin menyunggingkan senyum sejenak. Namun, lekas-lekas dadanya terasa nyeri. Kevin melihat Kirei tersenyum bahagia.

“Wah selamat.” Ucap Kevin pelan.

Kevin mengingat jelas bagaimana rasanya. Dulu ia hanya seorang pemuda yang jatuh cinta pada kakak tingkatnya di SMA yang tak lain adalah Kirei. Tapi takdir berkata lain, alih-alih menyimpan rahasia tentang perasaannya. Glen sahabat sekaligus teman satu kelasnya malah menancap gas lebih dulu. Lantaran Glen yang mendapat posisi sebagai teman satu ekskul dengan Kirei. Perasaan kasih di antara mereka pun berkembang.

Kevin marah. Banyak pikiran berkecambuk, mulai bicara baik-baik hingga keinginan membunuh Glen. Oh, baiklah mungkin ini terdengar berlebihan. Namun, perasaan Kevin pada Kirei itu sungguh-sungguh. Puncaknya, kala Glen lebih dulu mengaku pada Kevin bahwa ia memiliki perasaan pada Kirei. Pemuda itu benar-benar paham bagaimana perasaan tulus Glen pada Kirei yang mungkin saja lebih besar dari yang ia miliki. Lagi pula, Kirei satu tahun lebih tua darinya. Ia tidak mungkin menyukai pemuda yang lebih muda darinya, itu adalah pendapat Kvin. Meskipun Glen juga lebih muda, entah mengapa Kirei terlihat nyaman berada di samping pemuda itu. Tidak sama dengan pemikiran Kevin, kenyataannya Kirei juga menyukai Kevin. Tanpa tersirat, dengan perlahan ia mencoba menunjukkan perasaanya.

Kebohongan itu pun dimulai ketika Kevin mencoba mengacuhkan perasaan Kirei. Menyakitinya, membiarkan gadis itu memperoleh keteduhan di pelukan Glen. Tak lama Kevin bertransformasi menjadi pria nakal. Membagi harapan manis kepada seluruh gadis hingga mencumbu bibir tepat di depan mata Kirei. Gadis itu menangis di hadapan Glen dan Kevin tahu itu, tidak lebih nyeri dari perasaannya sendiri.

Fakta diputar balikkan demi kebahagiaan Kirei dan Glen. Namun Kevin tak kuasa menyebutnya begitu. Faktanya, Kevin mencintai Kirei, dan Kirei mencintai Kevin sebelum dengan sengaja ia menyeretnya ke pelukan Glen. Seperti mengutuk diri sendiri, semua kenangan tipu muslihat itu tergulung selesai. Bibir Kevin tertarik membentuk senyuman sedetik setelah mengucapkan selamat kepada Kirei dan Glen.

“Datanglah minggu ini. Aku tidak menerima penolakkan.” Glen menepuk pelan lengan Kevin seraya tertawa.

Kedua manik hazel itu menatap Kevin. Pemuda itu seolah larut memasuki perasaan Kirei. Rasa bersalah yang teramat dalam. Sudah terlambat, Kevin akhirnya menyadari bahwa ia benar-benar sudah kehilangan Kirei selamanya. Selama Kirei mendapatkan kebahagiaannya, Kevin ikut bahagia.

“Baiklah, aku akan datang.”

Tamat.(**)

*Pengirim : Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Muhammadiyah Malang

DAPATKAN UPDATE BERITA LAINNYA DI

google news icon

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.