“Sebelum pindah ke Madura di tahun 1979, saya menjadi masinis di Surabaya dengan rute perjalanan Surabaya (Pasar Turi)-Babat-Lamongan-Bojonegoro-Cepu. Kepindahan saya dikarenakan di Madura kekurangan tenaga masinis. Kalau Rasid langsung penempatan di Madura,” ujar Syuhab.
Dalam keseharian, keduanya hidup bertetangga lantaran sama-sama menempati rumah dinas milik PT. KAI. Kediaman Syuhab bernomor 1, sedang Rasid nomor 6. Hanya saja, Syuhab juga menempati rumah lain yang lokasinya juga berada di Kamal.
Pengalaman saat pindah ke Surabaya, setelah kereta api di Madura tak lagi beroperasi di tahun 1980, terbilang sama. Keduanya bahkan menjalankan kereta api dan rute yang sama pula. Mulai kelas ekonomi, bisnis, hingga eksekutif. Juga sama-sama memulai perjalanan dari Stasiun Pasar Turi Surabaya hingga pergantian masinis di Pekalongan. Sedangkan nama-nama kereta api yang pernah dijalankan keduanya adalah Gaya Baru, Kertajaya, Jayabaya, Mutiara Utara, Argo Bromo, dan Argo Anggrek.
Dua Kali Perjalanan Pulang-Pergi
Diceritakan Rasidi, lokomotif yang digunakan saat itu telah berganti ke diesel, bukan lagi uap. Bahan bakar menggunakan solar tertentu, tak sama dengan solar kendaraan roda empat pada umumnya. Waktu tempuh menjadi lebih cepat, terlebih jika perjalanan jauh dari Kamal hingga Pamekasan.
Bahan bakar harus diambil dari Stasiun Sidotopo menggunakan truk yang berisi puluhan tong sebagai tempat penampungan. Pengambilan dilakukan sebulan sekali. Dengan kata lain persediaan bahan bakar berlaku untuk operasional kereta api selama sebulan.
“Dulu ada tiga lokomotif diesel yang selalu siap di depo dan digunakan secara bergantian. Oleh karena Kamal menjadi satu-satunya lokasi depo di Madura, pengecekan dan perawatan lokomotif dilakukan dengan teliti dan maksimal agar jadwal perjalanan kereta tak terganggu,” urainya.
Sebelum memulai … Selengkapnya