Naskah Khotbah dari Medsos Berbahaya

Avatar of PortalMadura.com
Naskah Khotbah dari Medsos Berbahaya
Direktorat Pencegahan Densus 88 Antiteror Mabes Polri melakukan silaturrahmi bersama Dai dan Khatib di Sumenep, Madura, Jawa Timur, Kamis (16/6/2022).

PortalMadura.Com, – Pada era digital, banyak Dai dan Khatib mengambil materi khotbah dari media sosial (medsos). Perilaku ini dinilai sangat berbahaya dan mengancam keselamatan umat muslim.

Dua nara sumber yakni KH. Dr. Nawawi Thabrani dan KH. A. Busyro Karim sependapat bahwa naskah khotbah yang bersumber dari media sosial sangat berbahaya.

Hal tersebut disampaikan pada silaturrahmi Dai dan Khatib bersama Direktorat Pencegahan Antiteror Mabes Polri di Sumenep, Kamis (16/6/2022), bertajuk Penguatan Islam Wasathiyah untuk Indonesia Damai.

Baca Juga : Densus 88 Antiteror Silaturrahmi bersama Dai dan Khatib di Sumenep

“Bersumber dari medsos (khotbah, red) isinya berbahaya,” tegas Pengasuh PP Al-Azhar Asembagus Situbondo, KH. Dr. Nawawi Thabrani.

Saat ini, kata dia, banyak terjadi kemungkaran. Ia mengklasifikasikan ada tiga kemungkaran yang terjadi, meliputi kemungkaran dalam syariah. “Misalnya tidak boleh bermadzhab,” katanya.

Selain itu, mongkaron fil aqidah (kemungkaran terhadap aqidah) yaitu kaun lainnya dianggap kafir dan kemungkaran dalam peradaban. “Semua itu paham radikalisme yang dibawa wahabi salafi. Itu pasti merusak dan harus dilawan,” tandasnya.

Ia mengungkapkan, sebuah ideologi yang masuk ke suatu tempat tidak akan berjalan dengan baik jika tidak ada dananya. Dan kelompok radikalisme itu masuk melalui tiga aspek.

“Yang dilakukan mereka itu, melalui aspek politik, aspek dakwah dan aspek gerakan. Itu yang terjadi saat ini,” tandasnya.

Sementara, KH. A. Busyro Karim menjelaskan, persoalan yang dihadapi pada era berkembangnya dunia digital justru media sosial menjadi sumber rujukan untuk ceramah atau khotbah.

“Saat akan mengisi ceramah, malah buka YouTube yang materinya belum tentu benar,” tegas pengasuh Pondok Pesantren Al-Karimiyah, Beraji Gapura, Sumenep.

Mantan Bupati Sumenep dua periode ini menyampaikan, hidup dengan berpedoman pada toleransi itu harus dilakukan. Urusan perbedaan itu tidak hanya terjadi hari ini. Namun, sejak zaman dulu.

“Urusan salat saja, ada perbedaan. Apalagi hubungan sosial, apalagi berbangsa dan bernegara. Ini pentingnya saling menghargai perbedaan,” katanya.

“Kalau tidak sama jangan mudah bilang kafir atau musyrik. Ini yang menyebabkan banyak perang antar negara atau konflik diberbagai negara,” sambungnya.

Ahlusuna Waljemaah, kata dia, harus dibangun dengan cara saling menghormati dan toleransi. “Persoalannya yang dimusuhi malah umat muslim sendiri. Apakah tidak ada istilah lain untuk tidak mengkafirkan orang lain,” ujarnya.

Ia mencontohkan pada kepemimpinan 4 sahabat Rasulullah. Pola kepemimpinannya tidak ada yang sama dan pengikutnya itu melalui proses baiat.

“Pertanyaannya apakah jika sekarang datang mencoblos ke tempat pemungutan suara (TPS) lalu mau dibilang tagut? kan tidak. Ini bentuk baiat sekarang untuk memilih pemimpin,” tandasnya.

Solusi yang ditawarkan Busyro Karim yakni kemampuan memadukan tekstual dan kontekstual sehingga akhirnya bisa berfikir lebih substansial.

“Kita kadang dihadapkan dengan nilai dan kultur bermacam-macam, tetapi nilai-nilai Alquran itu tetap selalu harus dibumikan. Lalu bagaimana ketika menghadapi masalah?,” kata Busyro Karim melempar pertanyaan mengajak audens ikut berfikir.

Pihaknya memberi contoh penggunaan siwak (miswak) untuk pembersih gigi yang hukumnya sunah. Bila diartikan tekstual, maka wujud siwak itu kayu (ranting pohon).

Namun, bila diartikan dalam makna luas (kontekstual) adalah membersihkan gigi. “Kalau konteksnya untuk bersih, ya bagaimana dengan sikat gigi,” ucapnya.

“Yang gak boleh itu jika distorsi pada penafsiran Alquran. Dan distorsi itu sudah ada sejak dulu. Ini pentingnya saling menghargai perbedaan,” katanya kembali mengingatkan.

Sedangkan pemateri ketiga, eks Deportan ISIS Ust. Febri Ramadhani banyak menceritakan perjalanan dirinya hingga ke Syria dan sempat menjadi korban kelompok ISIS. “Karena faktor situasi dan kondisi saat itu, sehingga saya menjadi korban ISIS,” katanya.

Untuk menggambarkan perjalanannya, ia pun menerbitkan buku berjudul “300 Hari di Bumi Syam”.(*)

DAPATKAN UPDATE BERITA LAINNYA DI

google news icon

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.