Pajak Baru Transaksi Elektronik Mirip Cukai

Avatar of PortalMadura.com
Pajak Baru Transaksi Elektronik Mirip Cukai
Ilustrasi

PortalMadura.Com – Undang-Undang nomor 2/2020 yang mengesahkan Perppu No. 1/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi COVID-19 akan menghadirkan baru yang dikenakan terhadap transaksi elektronik.

“Disebut pajak baru karena bentuknya bukan Pajak Penghasilan (PPh) atau Pajak Pertambahan Nilai (PPN), tetapi mirip cukai,” kata Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI) Prianto Budi Saptono dalam keterangan tertulis, Minggu (20/12/22020).

Menurut Prianto, pajak ekonomi digital, dalam UU No.2/2020, didefinisikan sebagai pengenaan pajak terhadap kegiatan perdagangan yang transaksinya dilakukan melalui serangkaian perangkat dan prosedur elektronik.

Secara sederhana, kegiatan tersebut oleh undang-undang disingkat PMSE (Perdagangan Melalui Sistem Elektronik). Untuk pengenaan perpajakannya sendiri, ada dua pilihan.

Pertama, PMSE ditetapkan sebagai objek PPh. Jika PMSE dilakukan oleh subjek pajak luar negeri (SPLN), berdasarkan ketentuan “kehadiran ekonomi signifikan” atau “Significant Economic Presence” (SEP), SPLN tersebut ditetapkan sebagai Wajib Pajak badan berupa Bentuk Usaha Tetap (BUT) yang harus membayar PPh atas laba usaha dari PMSE.

Ketentuan SEP ini merupakan konsep baru dalam UU pajak di Indonesia sebagai konsekuensi dari era ekonomi digital. Selain konsep SEP, untuk memajaki penghasilan yang bersumber dari Indonesia, ada konsep “kehadiran fisik” atau “physical presence” (PP).

Saat ini, konsep PP diterapkan oleh UU PPh dan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) atau tax treaty antara Indonesia dengan negara-negara lain.

Problemnya, saat ini konsep PP sebagai dasar memajaki penghasilan SPLN yang bersumber dari Indonesia menjadi kurang relevan. Dengan PMSE, SPLN tidak memerlukan kehadiran fisik di suatu negara, termasuk Indonesia.

Untuk memajaki PMSE dari SPLN yang negaranya punya P3B dengan Indonesia, rujukan aturannya adalah P3B. Kedudukan P3B ini lebih spesifik dari UU PPh sehingga P3B harus diutamakan.

“Karena P3B hanya mengatur konsep PP untuk memajaki PMSE dari SPLN, Indonesia harus merevisi seluruh P3B dulu agar konsep tersebut dapat diganti dengan SEP”, kata pengajar adminitrasi fiskal UI ini. Tanpa revisi konsep PP menjadi SEP di P3B, ketentuan PPh PMSE menurut UU No. 2/2020 menjadi tidak dapat diterapkan.

Kedua, PMSE ditetapkan sebagai objek (PTE). Sesuai Pasal 6 ayat (8) UU No.2/2020, jika memenuhi konsep SEP, tapi tidak dapat ditetapkan sebagai BUT karena ada tax treaty, SPLN tersebut akan dikenakan PTE. Menurut alumni doktor dari FISIP UI ini,

“Pemerintah sampai saat ini belum merilis ketentuan lebih lanjut (Peraturan Pemerintah) terkait dengan besaran tarif, dasar pengenaan, dan format pengenaan PTE ini,” katanya.

Konsep PTE ini merujuk pada salah satu rekomendasi OECD (Organization for Economic Cooperation & Development) ke anggota G-20. Saran OECD tersebut ada di Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) Action Plan 1 tentang Addressing the Tax Challenges of the Digital Economy (2015).

Model PTE tersebut, menurut naskah akademik RUU Omnibus Law Pajak, mengacu pada konsep “equalization levy” atau “retribusi keseteraaan”. Dasar pertimbangannya adalah perlu ada perlakuan yang sama antara SPDN dan SPDN (Subjek Pajak Dalam Negeri).

India menjadi contoh negara yang menerapkan konsep PTE sebagai pendekatan di luar PPh agar keterbatasan P3B dapat diatasi.

Terminologi pemerataan (equalization) di dalam equalization levy merupakan konsep pemajakan yang netral di antara model bisnis yang diterapkan oleh SPDN dan SPLN. Bentuk pemajakannya seperti cukai yang dipungut atas PMSE oleh SPLN terkait barang digital atau jasa yang dijual kepada konsumen dalam negeri.

Untuk menghindari beban yang tidak perlu bagi usaha kecil dan menengah, OECD menyarankan PTE hanya diterapkan untuk SPLN yang memenuhi kriteria kehadiran ekonomi signifikan.

Masalah yang akan muncul dari penerapan kebijakan PTE adalah satu penghasilan akan dikenai dua jenis pajak (PPh dan PTE). Di satu sisi, SPLN PMSE akan dikenai PTE di negara sumber penghasilan (Indonesia).

Di sisi lain, dia juga harus membayar PPh di negaranya sesuai prinsip residen (residence principle). Karena itu, OECD di dalam BEPS Action Plan 1 mengusulkan agar tarif PTE dibuat sangat rendah.(*)

DAPATKAN UPDATE BERITA LAINNYA DI

google news icon

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.