Pakar: PPKM Mikro Tidak Relevan, Indonesia Perlu PSBB Hadapi Lonjakan Covid-19

Avatar of PortalMadura.com
Pakar-PPKM-Mikro-Tidak-Relevan,-Indonesia-Perlu-PSBB-Hadapi-Lonjakan-Covid-19
Ilustrasi (Foto file - Anadolu Agency)

PortalMadura.Com – Pakar epidemiologi dari Universitas Airlangga Windhu Purnomo mendesak pemerintah menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk menghadapi lonjakan kasus di Indonesia saat ini.

Menurut Windhu, kebijakan pemerintah memperketat pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) berskala mikro tidak cukup untuk mengatasi situasi penularan yang sudah sangat mengkhawatirkan.

Apabila PSBB tidak segera dilaksanakan, dia memprediksi fasilitas kesehatan akan kolaps dan tidak mampu lagi menangani pasien Covid-19.

Namun dia menekankan pelaksanaan PSBB harus dibarengi dengan pertanggungjawaban pemerintah terhadap masyarakat yang akan terdampak ekonominya.

“Ini sudah lampu merah. Kritis. Jangan menunggu dua minggu untuk mengevaluasi kebijakan, segera revisi kebijakan kalau mau melindungi masyarakat,” ujar Windhu kepada Anadolu Agency, Selasa (23/6/2021).

Indonesia telah melaporkan lebih dari 2 juta kasus Covid-19 hingga Selasa, dengan angka kematian mencapai lebih dari 55 ribu.

Dalam kurun satu bulan, angka kasus melonjak tajam di sejumlah daerah di Pulau Jawa seperti Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Yogyakarta.

Pemerintah mengatakan lonjakan kasus Covid-19 dipicu oleh tingginya mobilitas masyarakat pada saat libur Lebaran, kemudian diperburuk oleh munculnya varian virus yang menjadi perhatian (variant of concern).

Lonjakan pasien juga terjadi di rumah sakit, sebanyak 57 ribu tempat tidur khusus Covid-19 telah terisi hingga Senin.

Rumah sakit di Jakarta telah terisi lebih dari 90 persen meski pemerintah terus menambah kapasitas. Hal serupa juga terjadi di Bandung, Yogyakarta, dan daerah lainnya di Pulau Jawa.

Pemerintah sejauh ini merespons situasi dengan menerapkan PPKM mikro hingga 5 Juli 2021 dan terus menambah kapasitas tempat tidur di rumah sakit.

Persoalannya, kata Windhu, kapasitas fasilitas kesehatan tidak akan pernah mencukupi meski terus ditambah apabila tidak ada pembatasan aktivitas dalam skala yang lebih besar.

PPKM mikro juga mewajibkan aktivitas perkantoran dan sosial ekonomi dikurangi sebesar 75 persen hingga 100 persen di zona merah, namun Windhu mengatakan penetapan status zona merah ini sering kali tidak merepresentasikan data dan risiko penularan yang sesungguhnya.

Oleh sebab itu, dia memandang PPKM mikro tidak lagi relevan dengan situasi saat ini demi mencegah dampak yang lebih buruk bagi masyarakat dan fasilitas kesehatan.

“Situasi saat ini sudah sangat mengkhawatirkan, meskipun belum separah seperti yang pernah terjadi di India tapi trennya bisa ke sana kalau pemerintah tidak menangani dengan tepat,” kata Windhu

“Setidaknya berlakukan PSBB pada skala kabupaten atau kota, bukan lagi PPKM mikro,” lanjut dia.

Menurut Windhu, kenaikan kasus masih akan terus bertambah dalam beberapa waktu ke depan mengingat ‘variant of concern' telah menyebar di Indonesia.

Berdasarkan data whole genome sequencing hingga pekan lalu, telah ditemukan 145 kasus dengan varian Aplha (B.1.17), varian Delta (B.1.167), dan varian Beta (B.1.135).

Mayoritas di antaranya merupakan varian Delta —varian yang pertama kali terdeteksi di India— dengan karakter yang lebih mudah menular dibanding varian Alpha.

Windhu mengatakan angka infeksi dari ‘variants of concern' tersebut bisa jadi lebih banyak dan sudah menyebar dibandingkan yang terdeteksi, mengingat kapasitas pemeriksaan genome di Indonesia juga sangat terbatas.

“Kalau kita terus membiarkan mobilitas, varian ini akan terus menyebar dan berpotensi mendominasi kasus-kasus infeksi di Indonesia,” kata dia.

Angka penularan bisa delapan kali lipat dari yang dilaporkan

Salah satu persoalan yang masih belum tuntas dalam kurun 1,5 tahun Indonesia menghadapi pandemi adalah data yang tidak cukup merepresentasikan situasi penularan yang sesungguhnya.

Windhu mengatakan hal ini disebabkan rendahnya upaya tes dan penelusuran kontak di berbagai daerah di Indonesia.

“Kalau dari hitungan saya, angka yang dilaporkan itu hanya seperdelapan dari kasus yang sesungguhnya, perhitungan oleh institusi lain bahkan lebih tinggi bisa sampai 20 kali lipat,” ujar dia.

Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi mengakui masih banyak kabupaten dan kota di Indonesia yang belum memenuhi standar minimal tes sebanyak 1 per 1.000 penduduk per minggu.

“Kita sudah koordinasikan untuk meningkatkan testing, alat tes rapid antigen dan reagen PCR juga telah didistribusikan oleh Kementerian Kesehatan,” kata Nadia kepada Anadolu Agency.

DAPATKAN UPDATE BERITA LAINNYA DI

google news icon

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.